Mendadak semua orang terdiam. Hanya terdengar gumaman, “Wow..”
Pagi itu di atas Pagoda Shwesandaw ratusan orang seperti tersihir melihat bola raksasa jingga pelan-pelan merayap meninggalkan ufuk timur. Belasan balon melayang di latar depan matahari itu.
Pada saat yang sama, entah bagaimana caranya, burung-burung juga melintas di antara nuansa yang merona jingga pagi itu.
Seperti juga aku, semua orang sepertinya kehabisan kata-kata ketika melihat matahari terbit di Bagan, Myanmar bagian utara pada akhir Januari lalu. Speechless. Kami kehabisan kata-kata untuk menjelaskannya.
Tak banyak momen matahari terbit yang pernah aku nikmati. Di Gunung Bromo dan Gunung Batur, hanya sekali sampai saat ini. Di Sanur, mungkin kurang dari sepuluh kali.
Di antara itu semua, rasanya matahari terbit di Bagan inilah yang terbaik. Paling tidak hingga saat ini. Selain karena lokasinya yang memang mistis juga karena perjuangan untuk sampai di sini.
Balas Dendam
Nama Bagan baru aku baca pertama kali September 2016 lalu. Seorang teman melalui Facebook menyarankan aku jalan-jalan ke sini ketika aku sedang di Bago.
Aku buka gambar-gambar tentang Bagan di Twitter, Instagram, dan Google. Aku langsung kepincut. Hamparan pagoda. Temaram senja. Semringah pagi hari. Semua begitu memikat mata.
Sayangnya waktu itu aku tak punya waktu, karena memang tidak tahu dan tidak merencanakannya sama sekali. Jadilah aku hanya menyimpan dendam, kelak jika aku ke Myanmar lagi, aku harus ke Bagan.
Aku beruntung. Empat bulan kemudian, aku bisa membalaskan dendam itu. Ada yang mengundangku ikut BarCamp Yangon 2017. Jadilah sekalian aku ke Bagan.
Perjalanan ke Bagan dari Yangon perlu sekitar 8-10 jam. Waktu terbaik, menurutku sih, malam. Kita tinggal cari bus Yangon – Bagan dengan aneka pilihan harga dan layanan.
Kemarin aku naik bus ke Bagan dengan Bagan Min Thar, yang artinya Putri Bagan. Harganya 1.500 kyat atau sekitar Rp 150.000.
Busnya lumayan. Kursinya agak rusak tapi masih nyaman. Toh, hampir selama perjalanan juga aku lebih banyak tidur. Berangkat pukul 7 malam dari Terminal Aung Ming Lar di Yangon, sampai Bagan sekitar pukul 5.
Paslah. Ada cukup waktu untuk langsung mengejar matahari terbit.
Banyak pilihan transportasi dari Terminal Bagan ke lokasi menikmati matahari terbit. Umumnya sopir taksi menawarkan 10.000 – 15.000 kyat sekali jalan. Namun, aku malah dapat ojek sepeda motor seharian mulai dari pagi baru sampai di Bagan hingga balik ke hotel setelah menikmati matahari tenggelam dengan tarif 20.000 kyat atau sekitar Rp 200.000.
Pilihan menikmati Bagan dengan tukang ojek menurutku sangat masuk akal. Aku bisa menikmati dengan leluasa karena mas tukang ojeknya sudah hafal jalan. Harga Rp 200.000 sehari mungkin agak mahal tapi bagus untuk membagi rezeki pada mereka yang lebih “rendah” posisinya dalam mata rantai pariwisata.
Pilihan lain menikmati Bagan bisa dengan sepeda gayung atau sepeda motor elektrik. Tarif sewanya 8.000 kyat atau sekitar Rp 80.000.
Namun, sekali lagi, jalan-jalan dengan tukang ojek menjadi pilihan lebih tepat.
Bagan merupakan kawasan seluas 104 km persegi. Di sana terdapat sekitar 2.000 pagoda yang dibangun pada abad 9-13 Masehi.
Berada di dataran sisi timur Sungai Irrawady, Bagan pun menjadi hamparan tanah dengan ribuan pagoda menghiasi luasnya. Puncak-puncak pagoda dengan warna sebagian besar emas menyala terlihat mencolok di dataran itu.
Saking banyaknya pagoda di Bagan, rasanya tak cukup sehari untuk menjelajahinya. Namun, ada sekitar 10 pagoda utama yang paling ramai dikunjungi turis.
Dua di antara yang paling populer adalah Pagoda Matahari Terbit dan Pagoda Matahari Tenggelam. Karena susah untuk menghapal dalam bahasa lokal, dua nama di atas lebih mudah untuk disebut terutama jika berkunjung dengan pemandu lokal.
Tapi ya saking populernya, turis pun numplek blek di dua pagoda itu, sesuatu yang agak mengkhawatirkan. Takut saja tiba-tiba runtuh karena pagodanya tak kuat menahan ratusan atau bahkan ribuan pengunjung pada waktu bersamaan sementara umur mereka kian renta.
Kekhawatiran itu yang perlu diantisipasi.
Leave a Reply