Dari Rebutan Lahan ke Pengolahan Hasil Pertanian

VECO Indonesia memfasilitasi petani mempertahankan tanah ulayatnya dan mengolah hasil pertanian untuk menaikkan harga jual. Tulisan berikut adalah artikel untuk LONTAR, media internal VECO Indonesia, LSM tempat aku kerja part time.

Advokasi Tanah di Kawasan Watuata
Sejak sebelum Indonesia merdeka, warga adat di tepi hutan Watuata, Kabupaten Ngada sudah hidup dari hasil pertanian mereka termasuk kopi. “Kami sudah di sini sejak zaman Belanda,” kata Vinsensius Loki, petani di kawasan sekitar 10 km barat kota Ngada itu. Secara turun temurun, petani menanam, merawat, dan memanen kopi di tepi maupun di dalam hutan yang mereka anggap milik sendiri. Hasil pertanian mereka dieskpor hingga Amerika Serikat.

Hutan itu sekaligus tempat masyarakat adat di sana untuk menjaga hubungan dengan leluhur. Misalnya batu-batu sebagai perlambang leluhur sekaligus bata-batas wilayah suku tertentu. Sebab di satu desa saja setidaknya ada sepuluh suku. Masyarakat adat pun biasa melakukan rapat bersama di dalam hutan sebagai bentuk penghormatan pada alam. “Kami punya cara sendiri untuk menjaga hutan kami,” ujar Loki.

Pada 5 Mei 1992, Menteri Kehutanan menetapkan kawasan itu sebagai Kawasan Cagar Alam. Melalui Surat Keputusan No 432, warga adat dilarang masuk wilayah cagar alam. Warga pun tidak bisa bercocok tanam di kawasan hutan. Mereka juga kehilangan hak ulayat mereka.

Puncaknya, pada tahun 2000, pondok-pondok warga dibakar oleh pemerintah. Padahal di tepi cagar alam seluas 4.298 hektar ini, tinggal sekitar 15.000 jiwa meliputi 10 desa di dua kecamatan. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan polisi menuduh warga telah memasuki kawasan cagar alam tersebut.

Di sisi lain, masyarakat tetap ngotot menggunakan lahan di kawasan cagar alam sebagai tempat bertani kopi. “Kalau tidak di sana, di mana lagi kami harus bertani,” ujar Loki, yang juga Ketua Forum Koordinasi Manajemen Kebun Famasa Desa Beiwali, Kecamatan Bajawa. Forum ini berdiri sejak 1999 dengan 36 anggota saat ini.

Melihat potensi konflik antara pemerintah dengan masyarakat adat, Lembaga Advokasi dan Penguatan Masyarakat Sipil (Lapmas) Ngada, LSM di Ngada kemudian mendorong berdirinya Forum Masyarakat Watuata (Formata). Tujuannya mencari jalan keluar agar kepentingan dua belah pihak, pemerintah dengan ekologis dan masyarakat adat dengan sosial budayanya, bisa terjembatani.

Lapmas adalah lembaga mitra VECO Indonesia di Kabupaten Ngada, Flores. Dengan dukungan pendanaan program dan fasilitasi dari VECO Indonesia, Lapmas memberikan ide, mendorong, mengawal, serta memberikan masukan tentang strategi mewujudkan misi tersebut. Dukungan dari VECO tersebut, misalnya dengan jaringan lembaga, contact person, maupun masukan lain.

Advokasi oleh Lapmas dan Formata dilaksanakan melalui lima kegiatan utama yaitu advokasi kebijakan, peningkatan kapasitas, publikasi, pengembangan data base, serta penguatan dan pengembangan kelembagaan.

Advokasi kebijakan dilakukan melalui konsolidasi berbagai pihak yang terlibat dalam persoalan ini: pemerintah, LSM, dan warga adat sendiri. Kegiatan ini dilakukan melalui semiloka, pengusulan dan penetapan anggota, persiapan tim, dan berbagai rapat. Dari yang semula saling beda pendapat, berbagai kelompok ini kemudian sepakat untuk melebur ke dalam satu tim persiapan formal.

Kemajuannya adalah tim ini kemudian mendapat legitimasi dari Bupati Ngada melalui Surat Keputusan No 36/Kep/BAP/2007 tentang Pembentukan Tim Persiapan Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Watuata. “Adanya tim ini memudahkan kami untuk merumuskan strategi dan langkah ke depan,” kata Koli.

Sebagian di antara tugas Tim Kolaborasi ini adalah membuat kajian tentang perlunya kawasan pinggir hutan sebagai penyangga kehidupan bagi warga setempat. Ada yang mengkaji dari aspek ekonomis, aspek ekologis, dan aspek hukum.

Menurut Koli, tim sudah selesai membuat laporan tentang penggambaran potensi konflik, fakta hukum, serta fakta lapangan meliputi ekonomi, sosial, dan ekologi. Ada juga solusi untuk alternatif pengelolaan. Draft itu akan dibahas pada pertemuan lebih tinggi yaitu Kongres Masyarakat Watu Ata. “Selanjutnya draft itu akan dibawa ke Menteri Kehutanan agar ada revisi SK tentang cagar alam Watuata,” ujarnya.

Kalau draft itu disetujui Menhut, lanjut Koli, akan ada perubahan SK Menhut tentang kawasan Cagar Alam Watuata. “Menteri harus meninjau kembali soal pengelolaan cagar alam. Warga lokal harus diperbolehkan mengelola dan mengontrol kawasan,” harap Koli. Meski belum mendapat hasil maksimal, advokasi pengelolaan lahan bagi petani di sekitar kawasan Cagar Alam Watuata mulai mendapat titik terang.

Advokasi kebijakan ini juga tidak hanya melalui lobi. Ada pula upaya, misalnya, melalui tekanan (pressure) massa. “Kalau pemerintah keras, kami akan keras juga. Kami akan terus berusaha mempertahankan. Karena tanah ini hak ulayat kami. Apalagi tanah kami makin sedikit, sedangkan kami semakin bertambah,” tegas Loki. Demonstrasi ke kantor pemerintah dan DPRD setempat pernah dilakukan beberapa kali seperti ketika ada sebagian petani yang ditangkap.

Selain melalui advokasi kebijakan, Lapmas juga mengadvokasi petani miskin di sekitar kawasan Cagar Alam Watuata dengan penguatan kapasitas. Misalnya melalui pertemuan kampung untuk mendapatkan masukan dari berbagai desa, suku, dan kelompok tani di sekitar kawasan cagar alam. Hasil pertemuan tingkat kampung inilah yang nantinya akan dibahas di Kongres Masyarakat Adat Watuata.

Kegiatan lain untuk penguatan kapasitas adalah pelatihan konservasi dan pengelolaan lahan. Program di desa Aimere Timur, Beiwali, Wawowae, dan Susu ini melibatkan 184 petani. Pelatihan konservasi antara lain tentang pembuatan dan pengembangan teras, pembuatan pupuk cair, olah lubang, perencanaan kebun, hingga konservasi mata air. Upaya konservasi mata air ini dilakukan melalui penanaman anakan pohon beringin, waru, dan semacamnya.

Sejak 2005, advokasi Lapmas juga tidak hanya menyentuh pengelolaan lahan. “Kami mulai membuat program penguatan kapasitas pengolahan pasca-panen kopi,” kata Koli. Sebelum itu, petani setempat sudah mendapat bantuan dari Puslit berupa alat pengolah kopi dari pengupasan, fermentasi, penjemuran, sangrai, hingga penggilingan. Adanya alat ini memudahkan petani untuk mengolah kopi agar kualitas dan harganya meningkat.

Di sisi lain, VECO Indonesia dan Lapmas mendukungnya dengan memfasilitasi upaya pemasaran, misalnya, melalui Business Coffee Meeting oleh Jaringan Kerja Pertanian Organik (Jaker PO), jaringan VECO Indonesia. “Memfasilitasi pemasaran memang termasuk hal baru bagi kami, namun ini bagian dari advokasi kami pada petani kecil,” kata Loki.

Penguatan ekonomi memang bagian integral dari advokasi. Karena itu, tidak bisa diabaikan begitu saja. Ketika persoalan produksi sudah selesai, maka tingkat selanjutnya adalaha pemasaran. Inilah upaya yang sekarang dikerjakan Lapmas dengan petani di Watuata.

Advokasi Pemasaran Petani Mete di Boawae
Berbicara tentang pemasaran, maka pengalaman Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM) Ngada mengadvokasi petani mete di Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo, Flores, bisa jadi salah satu pelajaran. Dengan dukungan dari VECO Indonesia berupa asistensi, dana program, peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM), dan semacamnya, YMTM telah meningkatkan taraf kemampuan dan pendapatan petani kecil di daerah ini melalui pengolahan pasca-panen.

“Awalnya kami tidak tahu kalau ternyata biji mete itu bisa diolah. Dulu kami hanya makan buahnya,” kata Emanuel Lado, petani di desa tersebut. Karena itu biji mete pun dijual gelondongan oleh petani sehingga harga jualnya murah. Padahal biji mete memiliki nilai jual jauh lebih tinggi apabila sudah diolah.

Sejak 2005, sebagian petani belajar mengolah biji mete mulai dari sortir dan grading, penjemuran, pengupasan kulit ari, pengemasan, sampai penggorengan biji mete. Semua proses ini diadakan di kantor Koperasi Wina Mandiri. Koperasi yang berdiri pada 28 September 2000 ini dibentuk untuk menjawab terbatasnya akses petani pada lembaga keuangan. “Lemahnya akses petani ini diperparah dengan harga komoditas yang tidak stabil dan banyaknya rentenir,” kata Josef Maan, Direktur YMTM Ngada.

Koperasi yang semula hanya di bidang simpan pinjam kemudian juga membeli hasil pertanian anggota. Saat ini ada 789 anggota dari 35 kelompok tani. Cara yang dilakukan adalah melalui turun ke desa-desa saat ada rapat akhir tahun (RAT). “Dengan begitu, masyarakat desa bisa tahu tentang koperasi. Mereka pun kemudian ikut,” tambah Maan.

Pada RAT 2005, Koperasi membentuk unit baru, pemasaran. Koperasi pun membangun jaringan dengan pihak lain seperti Pemerintah Daerah, pengusaha lokal dan eksportir. Selain menjual dan membeli biji mete gelondongan (masih dengan kulitnya), petani juga mengolah sendiri biji mete tersebut.

Bahan baku mete olahan diperoleh dari petani di desa lain yaitu Desa Rowa. Di desa ini terdapat Kelompok Tani Organik yang bahkan sudah mendapat sertifikasi organik dari lembaga sertifikasi internasional (IMO) Swiss. “Dengan adanya sertifikasi ini diharapkan akan ada kepastian mutu mete kami,” kata Damianus Nagi, Kepala Desa Rowa.

Sertifikasi organik berperan untuk meningkatkan nilai jual, mengurangi persaingan harga, meningkatkan nilai tambah, serta menjaga kelestarian lingkungan dan kesehatan. “Paling penting adalah untuk memenuhi standar mutu internasional,” kata Nagi.

Dengan jumlah lahan seluas 254 hektar dan anggota 128 orang, petani mete organik di desa Rowa bisa menghasilkan 55 ton selama tahun 2007 saja. Mete hasil petani di Desa Rowa inilah yang dibawa dan diolah di kantor koperasi.

Ada empat pekerja, semuanya perempuan, yang menangani pengolahan biji mete ini di kantor koperasi. Selain itu ada pula satu staf koperasi yang khusus menangani pemasaran dan dua staf YMTM yang membantu secara umum. Mereka mengerjakan proses mulai dari menjemur, memecahkan kulit, mengepak, sampai menjual. Target produksi biji mete olahan ini 120 kg per bulan dan dijual Rp 60 ribu per kg. Bandingkan dengan harga mete gelondongan yang hanya Rp 7.500 per kg. “Kami bisa mendapat harga yang jauh lebih mahal dibandingkan harga gelondongan,” kata Emanuel Lado yang juga Ketua Koperasi.

Dari desa di tepi jalan raya antara Bajawa – Ende ini, mete organik Flores dipasarkan ke berbagai konsumen di Bajawa, Denpasar, dan Jakarta. “Sementara sih masih lokal saja dulu. Kami belum berani mengekspor,” kata Maan. Selain karena grade mete yang masih di bawah standar mutu untuk ekspor, kuantitas produksi juga belum sampai. Karena itu, lanjut Maan, ke depan koperasi di desa ini tidak hanya mengolah mete organik tapi juga mete anorganik.

0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *