Sudah sebulan lalu lalu pulang dari Kamboja. But, baru sekarang bisa nulis cerita selama di sana. Tidak masalah meski telat. Yang penting kan aku masih menyimpan cerita itu. Syukur-syukur kalo ada yang baca cerita ini. Ya, barangkali bisa jadi referensi atau sekadar tempat berbagi.
Aku berangkat karena kebaikan hati teman-teman di Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Mereka mendaftarkan aku ikut seleksi Investigative Reporting Course yang diadakan Philippine Centre for Investigative Journalism (PCIJ) dan Southeast Asian Press Alliance (SEAPA) Bangkok. Tidak ada salahnya dicoba kan? Eh, ternyata aku lolos seleksi mewakili media tempatku bekerja. Padahal cuma modal nekat. 🙂
Selain aku, teman lain dari Indonesia adalah Muannas (Tribun Makassar), Idayanie (Tempo Yogya), Nani Afrida (The Jakarta Post Aceh), Bambang Bider (Kalimantan Review Pontianak), dan Linda Boboy (Tabloid Udik Kupang). Dua teman terakhir ketemu ketika kami sudah dua hari di Sunway Hotel, Phnom Penh, tempat kursus diadakan.
Aku, Anas, Ida, dan Nani -yang terlibat pembebasan Ferry Santoro pas ditawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)- berangkat bersama dari Jakarta pada 27 Juli pukul 11.30an wib. Lucu juga karena kami ternyata saling menunggu di Gate 2D karena aku memang belum pernah bertemu mereka, kecuali Anas yang sudah pernah ketemu di Makassar.
Ketika sudah mau berangkat itu aku baru tahu kalau kami harus bayar visa masuk Kamboja sebesar $20. Wah, gawat! Soalnya di dompetku cuma ada duit pas untuk bayar fiskal sejuta dan airport tax. Parahnya lagi aku juga tidak punya cukup duit di ATM Niaga yang juga ternyata tidak ada di bandara.
Gila juga, ya. Bank sebesar Niaga masa sih tidak punya ATM di Soekarno Hatta. Apa boleh buat, dengan muka badak, aku pinjam saja duit ke Ida buat bayar visa masuk yang ternyata $25 untuk laki-laki sedangkan perempuan $20. Heran juga kenapa dibedakan?
Pas baru sampai di Phnom Penh Airport juga ada masalah kecil. Ternyata Ida dan Nani tidak bawa foto buat visa. Susah juga. Terpaksa akhirnya nyogok satu dollar biar tidak usah pakai foto. 🙂
So, akhirnya kami sampai juga di Phnom Penh setelah sebelumnya transit di Singapura untuk ganti pesawat Singapore Airlines dengan Silk Air. Oya, pas di Bandara Changi, Singapura kami ketemu Mbak Rien Kuntari, wartawan desk internasional Kompas, yang jadi salah satu pemateri dalam kursus.
Selanjutnya, Mbak Rien inilah yang jadi malaikat penolong karena rajin nraktir makan. :p. –Thanks, ya Mbak Rien-. Kami sampai ketika malam menjelang di Phnom Penh. Kami tiba sehari sebelum acara dimulai Rabu malam. So, paling tidak ada waktu sehari untuk waktu jalan-jalan keliling Phnom Penh.
Kami menginap di Sunway Hotel, jaringan hotel di Asia Tenggara yang berpusat di Malaysia dan juga punya hotel di Jakarta. Hotel ini terletak persis di sebelah Wat Phnom, sebuah pagoda yang dibangun oleh Putri Penh pada 1372 dan dibangun kembali pada 1434, 1890, 1894, 1926, dan terakhir 1998. Itu yang aku baca dari buku kecil di kamar 519, tempatku menginap bareng Anas.
Konon, asal mula Phnom Penh berasal dari bukit kecil dimana Pagoda Wat Phnom berada. Dari jendela kamarku, ketika malam, puncak pagoda itu terlihat anggun dengan pencahayaan temaram meski agak tenggelam karena pohon-pohon di sekitarnya.
Rabu pagi kami keliling ibu kota negara yang baru 20an tahun selesai perang saudara tersebut. Kami menyewa taksi seharga $25 untuk seharian keliling. Kebetulan sekali sopirnya asik diajak ngobrol. Namanya Tan Surya, sekitar 35 tahun. Sepanjang keliling itu, luka bekas perang memang masih tersisa. Aku menjumpainya di berbagai tempat yang aku kunjungi.
Pertama kali kami berkunjung ke Royal Palace, tempat dimana raja Kamboja tinggal. Sayang banget kami belum bisa masuk karena jam untuk pengunjung belum dibuka. It’s oke. Kami menyusuri saja trotoar di sekeliling Royal Palace. Di trotoar sepanjang jalan itulah, luka-luka bekas perang saudara maupun kekejaman Khmer Merah bisa dijumpai. Seorang pengemis dengan salah satu tangan buntung terus membuntutiku menengadahkan satu tangannya. Di bagian lain, beberapa orang dengan satu kaki juga mengejar-ngejar kami, mengemis.
Masih di sepanjang trotoar itu, dua tiga keluarga sedang memasak dengan kayu bakar. Mirip orang camping meski tidak ada tenda di sana. Aku terenyuh. Ternyata persis di sebelah istana raja, masih ada para gelandangan itu. Anak-anak bertelanjang dada. Mereka makan bersama beralas tikar semata. Ketika aku ajak ngobrol, mereka hanya tertawa. Karena aku tidak bisa bahasa Khmer, ya pakai bahasa Tarzan saja.
Aku foto, mereka melebarkan senyumnya. Ya, barangkali bahagia atau mungkin menertawakan aku. Berjarak sekitar semeter dari mereka, seorang nenek tidur di bawah pohon berselimut kain hitam kumal. Duh..
Kami kemudian ke Museum Nasional Kamboja. Katanya kalau melihat sejarah Kamboja secara detail harus ke tempat ini. Museum terbesar Kamboja ini berada di sebelah Royal Palace. Tapi kami baru tahu ketika sudah ada di depan museum. “Kok, rasanya tadi sudah lewat sini?” pikirku. Eh, ternyata pas lihat peta tiga dimensi yang aku pegang, museum itu memang di sebelah Royal Palace.
Seorang bocah berumur sekitar tujuh tahun dan adik balitanya menyambut kami di pintu gerbang museum. Mereka bertelanjang dada. Tanpa alas kaki. Terlihat kumal. Ketika kami datang mereka mengejar lalu menengadahkan tangan. Di sebelahnya, seorang laki-laki berkursi roda segera mengikuti kami. Juga meminta-minta. Miris juga. Tapi aku juga tidak punya uang di dompet. Ketika aku sodorin koin Indonesia, mereka hanya menggeleng. Padahal kan bisa buat koleksi mereka seharusnya. 🙂
Untuk masuk museum, pengunjung harus membayar US$ 2. Sehari-hari, orang Kamboja memang menggunakan dolar Amerika selain riel Kamboja. Satu dolar sama dengan 4000 riel.
Tidak ada yang membuatku terkesan ketika masuk museum. Benda-benda peninggalan sejak zaman Angkor hingga perang saudara tahun 90-an itu hanya menjadi barang pajangan. Sangat sedikit keterangan di beberapa benda. Maka, aku seperti hanya melihat benda-benda mati yang tak berarti. Apalagi untuk motret di dalam museum juga harus bayar US$5.
Barangkali ini memang persoalan Indonesia atau jangan-jangan semua negara ketiga, museum yang tidak cukup informasi tentang benda-benda di dalamnya. Sangat berbeda dengan misalnya Museum Nasional di London yang informasinya lengkap dan gratis lagi.
Maka, kami hanya sebentar di tempat ini. Beberapa pengunjung, sebagian besar dari Prancis yang memang pernah menjajah mereka, pun hanya sebentar. Aku lihat mereka juga tidak terlalu bergairah ketika melihat koleksi benda-benda di museum. So, kami pergi saja.
Ketika berjalan menuju taksi, dua gadis belia tanpa alas kaki dan berbaju lusuh mengejar-ngejar kami. Seperti yang lain, mereka juga meminta-minta. Duh aku hanya bisa menahan iba. Aku paling tidak kuat kalau sudah melihat orang-orang seperti itu. But, aku tidak bisa berbuat apa. Yaudah, aku foto aja mereka yang kemudian tertawa-tawa.
“Kemana nih sekarang?” tanya Mbak Rien, yang multi fungsi –ya jadi pemimpin rombongan, ya guide, ya tukang traktir-.
Ngobrol sebentar lalu sepakat kami ke Central Market, pasar terbesar di Kamboja. Bentuk pasar yang unik ini langsung membuatku bersemangat masuk. Pasar ini berbentuk kubah dengan sisi memanjang di empat sisinya. Ketika masuk, kubah itu menjadi daya tarik tersendiri dengam empat sisi yang seperti lorong tinggi.
Oya, ada yang menarik. Ketika akan masuk, persis di depan salah satu pintu ada penjual makanan aneh. Ada penjual snack ala Kamboja seperti jangkrik, kecoa, kalajengking, laba-laba, dan kumbang yang digoreng. Serangga-serangga goreng itu ditaruh di nampan bulat, seperti talam, dengan tumpukan menggunung. Wah, bisa jadi objek foto yang menarik. apalagid latar belakang mereka ada Coca Cola. Kan ironis ya?
Central Market menjuual berbagai souvenir. Tapi kalau tidak punya duit ya silakan gigit jari. Kata Mbak Rien, yang sudah beberapa kali ke Kamboja, souvenir paling bagus di Kamboja tuh batu safir. Bagus-bagus dan murah. Di Kamboja kita bisa beli dengan harga puluhan dollar sedangkan di tempat lain bisa sampai ratusan. Aku sih cuma manggut-manggut. “Puluhan dollar untuk perhiasan? Makasih lah,” pikirku.
Setelah berkeliling pasar, aku cuma beli cincin dari batu semacam marmer. Di Bali juga banyak sih. Tapi tidak ada salahnya beli. Toh satu dolar udah dapat dua. Kan bisa buat nyonya di rumah. 🙂 Teman-teman yang lain memborong syal khas Kamboja dengan motif seragam kotak-kotak kecil. harganya memang murah, satu dolar dapat dua. Syal seperti ini biasa dipakai orang Khmer, orang asli Kamboja, sehari-hari. Pasukan Khmer Merah juga selalu pakai ini pas perang. Warna merah syal yang selalu dipakai membuat mereka dikenal sebagai Ruoge Khmer, atau pasukan kemerah-merahan.
Jam makan siang, kami sepakat mencari restoran khas Khmer. Oleh Tan Surya, kami diajak ke kawasan wisata di Tonle Bassac. Sepanjang bibir cabang Sungai Mekong ini memang terdapat banyak restoran, hotel, dan fasilitas lain. Kami memilih Pon Lok Restauran yang menyajikan masakan khas Khmer.
Dari lantai dua restoran ini, kami bisa melihat Tonle Bassac yang tidak berbeda dengan Bengawan Solo namun lebih tertata. Buktinya banyak orang lalu lalang di sungai tersebut untuk berwisata meski airnya coklat. Di sepanjang bibir sungai selebar sekitar 100 meter itu juga dipasang bendera berbagai negara, termasuk Indonesia.
Boleh juga masakan Khmer yang tidak terlalu pedas dan banyak bawang putihnya itu. Kami menikmatinya sambil ngobrol dengan Surya tentang Kamboja. Ya, buat referensi sedikit. Selesai makan, kami memilih ke Tuol Sleng, museum genocide terbesar di Asia Tenggara. Ceritanya di bagian lain. [to be continued]
Leave a Reply