Susahnya hidup di dunia yang serba maskulin ini adalah perempuan selalu jadi objek. Atau malah jadi komoditas, sesuatu yang bisa diperjualbelikan. Itu pula pengalamanku ketika di Bandung, yang bisa jadi mewakili Sunda itu. Seperti halnya Bali, yang terkenal sebagai pusat perempuan seksi, meski bodi mengalahkan wajah alias BMW (hehehe), Bandung dan Manado memang terkenal juga sebagai pusat perempuan cantik.
Bisa jadi ini memang stereotip, sifat yang kadung dilekatkan pada kelompok tertentu. Misalnya bahwa cewek Sunda itu suka berdandan. Stereotip cewek Sunda, termasuk Bandung, ini sudah sering aku dengar. Namanya stereotip, jadi ya belum tentu benar. Tapi, sebatas pengalamanku lima hari di Bandung, itu memang ada benarnya. Tentu saja, sekali lagi, ini bukan berarti semua cewek memang begitu adanya (generalisasi). Tapi pandangan sepintas dan sekilas saja. Tidak usah terlalu ditanggapi serius.
Di Bandung, cewek seksi di jalanan bukan sesuatu yang langka. Kaos dan baju ketat di tubuh putih dan ramping jadi sesuatu yang biasa. Dan, bagiku, cewek-cewek itu memang berniat banget tampil menarik. Cewek Bandung benar-benar peduli penampilan. Cewek Bandung benar-benar memenuhi standar kecantikan umum seperti iklan: rambut hitam lurus, kulit putih, tubuh ramping, bibir merah bergincu, dan seterusnya.
Ada tiga kejadian yang menguatkan stereotip itu. Pertama pas aku jalan-jalan ke Pasar Baru. Ketika baru masuk pasar yang menjual aneka rupa ini, aku kaget bukan kepalang melihat buanyaknya orang antri di toko kosmetik. Dari ABG, tante, hingga ibu-ibu pakai jilbab meluber antri beli alat dan bahan kecantikan itu. Aku geleng-geleng kepala saja..
Kedua pas di angkot dari jalan Dago ke arah jalan Asia Afrika. Seorang ibu masuk bareng anaknya. Umurnya antara 30-40 tahun. Dia duduk persis di sebelahku. Ketika di jalan dia buka tasnya. Karena dekat banget denganku, jadi ya aku bisa melirik isi tas ibu itu. Dan, isinya memang banyak banget alat kecantikan. Hmm..
Terakhir, ketika di bis dalam perjalanan Bandung – Bandara Soekarno Hatta. Cewek di kursi satu baris denganku, PD banget ketika mengeluarkan alat perangnya. Lalu, tanpa ba bi bu, berdandan di bis yang mulai masuk Jakarta itu. Dia berbahasa Sunda ke cowok teman seperjalanannya. Jadi ya, ini makin menguatkan stereotip itu tadi.
Nah, di bis yang sama itu pula ada cerita lucu yang baru aku tahu. Bapak di kursi 19, persis di sebelahku, ngobrol tentang bagaimana laki-laki Bali tertawan di Pasundan, bahasa lain dari Sunda. Menurut bapak yang tinggal di Denpasar dan Bandung, jadi harus sering bolak-balik Denpasar Bandung, itu sekitar 50 persen laki-laki Bali menikah dengan perempuan Sunda di Bandung.
“Soalnya kalau di Bali susah cari cewek cantik. Tidak seperti di Bandung,” katanya sambil tertawa. Aku sih nyengir saja.
Tapi ya karena cewek Bandung seksi-seksi, maka mereka juga rentan jadi korban. Ini juga terserah pada sudut pandang mana yang kita gunakan. Korban laki-laki hidung belang tentu saja. Tapi ini sih tidak hanya di Bandung ya. Hehe.. tapi sepertinya cari cewek di Bandung lebih mudah dan terbuka begitu.
Temanku sesama peserta pelatihan yang dari Manado punya cerita. Malam kedua dia di Bandung, dia ditawari untuk pijat oleh pihak hotel. Ridho, teman sekamarku juga mengaku begitu. Tapi karena Ridho ini sepertinya tipe lelaki baik-baik, makanya dia menolak. 😀
Kalau teman yang dari Manado sih bilang dia akhrinya pijat. Tarifnya Rp 150 ribu per dua jam. Untuk pijat spesial sampai Rp 800 per dua jam. Karena mahal, dia bilang dia tidak jadi pijat plus-plus itu.
Berdasarkan pengalamanku di beberapa kota, hal kayak gini sebenarnya termasuk susah. Ketika aku di Makassar, Ambon, Jakarta, Yogyakarta, atau Semarang, misalnya, aku belum pernah sampai ditawarin pijat plus-plus begitu secara verbal. Di salah satu hotel di Solo malah dengan tegas ada larangan membawa pasangan yang bukan muhrim. Ehm! Eh, di Bandung sepertinya mudah banget.
Pas aku di hotel melati di daerah stasiun, dengan malu-malu temanku bilang. “Sori ya, Ton. Aku pijat dulu,” katanya. Seorang cewek berpakaian seksi sudah berdiri di depan pintu kamarnya ketika itu. Mereka masuk. Lalu aku kabur cari hotel lain. Semula aku memang hendak satu kamar sama dia. Tapi karena aku takut tidak bisa menahan iman, jadi ya aku kabur saja. Cari hotel lain saja.
Eh, di hotel lain juga patuh dogen. Pas aku baru masuk kamar, pegawai hotel juga tanya ke aku apakah aku butuh tukang pijat apa tidak. “Tukang pijat” sepertinya memang jadi bahasa kunci dalam bisnis esek-esek di mana saja, termasuk Bandung. Aku menolak. Aku pilih tidur saja. Eh, habis itu datang lagi pegawai yang lain menawarkan hal yang sama. “Kalau mau, yang manis juga ada,” rayunya.
Tidak ah. Aku tidur saja. Tapi sebelum tidur, aku mikir juga. Jangan-jangan hotel kecil dan jelek itu memang sering jadi tempat mesum.
Eh, pas pagi-pagi mau cabut dari hotel, aku kaget setengah mati. Kaligrafi surat Al-Fatihah, surat Yasin, serta simbol-simbol religius dalam abjad Arab memenuhi lobi hotel itu di lantai dua. Aaaah, ternyata..
Leave a Reply