Ini orang kok ngotot sekali ya?
Berkali-kali mereka bilang kalau netizen, termasuk blogger dan pengguna social media lainnya, harus beretika ketika bersuara di dunia maya. Menurut mereka harus ada aturan agar penggunaan media baru ini tidak kebablasan dan menimbulkan masalah.
Pentingnya etika bagi blogger dan netizen itu pun kemudian ditekankan dalam Pernyataan Akhir Bali Media Forum ke-4 tahun ini. Salah satu poin dari pernyataan yang dihasilkan dari tiga hari pertemuan tersebut adalah:
But other questions remain: What standards should be applied to bloggers, who are not journalists? How can we ensure that journalists using on-line and social media as sources for reporting apply high standards of ethics and verifying information?
In addressing these challenges the Forum agrees that there should be more practical ethics training for journalists, bloggers and media managers of both off-line and online media.
Menurutku sih, etika ini memang penting. Tapi, belum untuk saat ini terutama di negara-negara lain di mana kebebasan pers dan demokrasinya baru lahir.
Pengusiran
Oke. Sebelum lanjut mari cek dulu apa itu Bali Media Forum (BMF). Forum ini merupakan kegiatan dalam rangka pelaksanaan Bali Democracy Forum (BDF) pada 8-9 November lalu. Jika BDF diikuti para pejabat tinggi negara, maka BMF diikuti para petinggi media, terutama dari kalangan Dewan Pers. Ada perwakilan 17 negara di forum ini.
Penyelenggara lokal kegiatan ini adalah Dewan Pers dengan dukungan dari Thomson Foundation dan Institute of Peace and Democracy. Kegiatan didanai Pemerintah Norwegia, salah satu negara paling terbuka di dunia.
Tahun ini, kalau tak salah juga tahun-tahun sebelumnya, ada beberapa blogger yang diundang. Aku tumben ikut. Menurutku, sebuah kemajuan. Ada pengakuan dan kesempatan agar blogger juga bisa bersuara di forum ini. Iktikad baik ini perlu mendapat apresiasi juga.
Hasil diskusi di BMF ini kemudian akan menjadi salah satu masukan bagi para pejabat yang ikut BDF. Aku tak tahu apakah masukan ini akan diterima begitu saja atau hanya sekadar pelengkap. Toh, metode diplomasi ini bisa melengkapi cara lain agar suara kita didengar. Tak ada salahnya.
Tema BMF keempat kali ini adalah Ethical Journalism and Citizen Media: Giving People a Voice in Support of Democracy. Dari temanya saja sudah terlihat betapa persoalan etika merupakan bahasan utama selama diskusi. Padahal, seharusnya, giving people a voice itu juga perlu dielaborasi lebih lanjut selain persoalan etika.
Selama diskusi, beberapa pembahas memerlihatkan bagaimana akibat pemberitaan media yang tak beretika. Salah satunya adalah pengusiran etnis Rohingya di Myanmar akibat pemberitaan media di sana yang menyeret-nyeret identitas pelaku pemerkosaan sebagai muslim, Rohingya, dan seterusnya. Stigma dan generalisasi oleh media berdampak pada pengusiran etnis Rohingya.
Melihat contoh tersebut, tentu saja aku sepakat kalau media harus mematuhi kode etik. Jurnalisme itu pekerjaan profesional. Tapi, standar ataupun etika untuk blog? Nanti dulu..
Diktator
Kalau di Indonesia sih, sejauh ini, sudah selangkah atau bahkan beberapa langkah lebih maju dalam hal kebebasan berekspresi, termasuk di dalamnya kebebasan di dunia maya. Karena itu, wajar kalau kita mendiskusikan perlunya etika.
Tapi, memaksakan etika untuk blogger-blogger di negara-negara yang masih terutup, seperti Malaysia, Myanmar, dan Vietnam, menurutku sih tak usah dulu.
Banyak contoh bagaimana blogger atau netizen di negara-negara tertutup justru menggunakan media baru, seperti blog dan Twitter, untuk bersuara melawan pemerintah. Mereka menyampaikan informasi dan perspektif lain tentang negerinya melalui dunia maya. Blogger di Malaysia dan Vietnam, misalnya, harus menghadapi risiko dipenjara gara-gara tulisan mereka.
Contoh lainnya, para netizen di Tunisia dan Mesir yang menggunakan jejaring sosial sebagai alat untuk mengumpulkan massa dan, kemudian, menggulingkan diktator di negara mereka.
Menurutku, hal-hal seperti ini justru harus didukung. Akan lebih menarik kalau media seperti BMF ini kemudian melahirkan kesepakatan agar para blogger dan netizen diberi ruang lebih luas. Bukan justru dengan “menakut-nakuti” blogger soal etika ataupun standar.
Pada akhirnya nanti etika ini perlu. Tapi, untuk saat ini, mending dukung para blogger dan netizen ini agar bisa bersuara sebebas-bebasnya. Memberi dukungan kepada blogger dan netizen itu lebih penting daripada mengatur mereka. Di negeri-negeri otoriter, merekalah yang bisa mewakili kebebasan media itu.
Sebab, seperti disampaikan Menteri Luar Negeri Norwegia Espen Barth Eide, “Kalau kamu tak punya kebebasan media maka kamu tak punya demokrasi. Kalau tak ada kebebasan pers maka kita tak bisa melihat kenyataan.”
Ilustrasi diambil dari The 21 Campaign.
November 13, 2012
🙂
November 13, 2012
Menurut saya pribadi ya om, etika itu sebaiknya dijalankan berbarengan dengan kebebasan. Jadi keduanya sama-sama perlu. Sulit memang, tapi kalau sudah sejak awal dibuat demikian ke depannya mungkin akan lebih baik.
November 14, 2012
Etika memang perlu namun pengaturannya bagi blogger sepertinya masih perlu diperbincangkan lebih lanjut karena blogger belum bisa dikatakan sebuah profesi.
Soal negara pengekang blogger, baru-baru ini blogger Iran bernama Sattar Beheshti mati di tangan polisi setelah rangkaian tulisan protes di blognya.
November 14, 2012
Etika ndak bisa dipaksakan, tergantung masing-masing orang sih. Etika itu kan hasil didikan, budaya dan rasa dari seseorang, ndak bisa distandarkan. Nanti yang akan menilai ya pembacanya. Kalau banyak pembaca yang menilai si blooger tidak beretika dalam menyampaikan opini atau tulisannya, dia akan ditinggalkan. Gampang saja..
November 16, 2012
kalau pakai etika… pengunjung blogku udah jarang, ntar followerku berkurang nok. Apa lagi yang bisa aku banggakan… apa lagi? oh… e… tika… #drama