"Berapa Tarif Wartawan di Sini, Dik?"

2 No tags Permalink

Pada 20 – 23 Mei ini, Partai Demokrat akan ngadain kongres pertamanya. Seperti juga Partai Golkar dan PDI Perjuangan, mereka memilih Bali. Kata ketuanya, Subur Budisantoso sih karena Bali yang paling siap dengan akomodasi dan fasilitas lain. Ya, bisa aja sih dibuat gitu. Padahal toh daerah lain, katakanlah Jakarta, Surabaya, dan seterusnya juga bisa saja.

Menjelang kongres, seperti biasa aku juga kena dampak. Paling tidak karena aku mesti liputan penuh di kongres itu. Tapi kali ini agak berbeda. Ada tiga tim sukses yang minta bantuanku untuk ngoordinir media di Bali. Maksudnya aku yang ngasi tau teman-teman wartawan kalo tim itu butuh wartawan, atau bantu mereka untuk sebar info, dst. Ya mirip2 gitulah.

Dua tim sukses sudah ngomong langsung. Satunya lagi hanya bantuin cari base camp.

Aku sih asik-asik saja bantuin mereka. Tapi hanya demi persahabatan. Aku kasih aja kontak wartawan-wartawan di Bali, entah lokal ataupun nasional. Aku ga mau yang ngontak. Hanya demi kebaikanku sendiri. Kalo aku yang sampe ngundang, kesannya aku pro salah satu calon. Jadi aku tolak aja.

Masalahnya kemudian, salah satu diantara tiga tim sukses itu terang-terangan nembak pake duit. “Kami sudah anggarin uang rokok untuk teman-teman wartawan. Nah, kalo di sini kira-kira berapa sih tarif satu wartawan?” kata salah satu orang yang minta bantuan itu.

GILA! Emangnya wartawan itu apaan. Aku ngrasa dia udah memandang rendah wartawan. Mungkin dalam pikirannya, dengan ngasih amplop dia akan lebih mudah ngatur wartawan. Aku lalu bilang, kalo memang dikasih amplop kaya gitu, saya gak bisa bantuin. “Kalau memang nilai beritanya bagus, wartawan pasti akan muat tanpa dikasi duit, Mas,” kataku.

Aku pikir ini juga karena memang ada wartawan yang hanya ngejar-ngejar amplop, atau setidaknya tidak menolak ketika dikasi uang transport, uang rokok, uang bensin, dan bermacam istilah lain. Jadi pada satu sisi ya anggapan kaya gitu ga berlebihan mungkin.

Setelah itu bawaanku jadi ga enak. Aku seneng aja bantuin, tapi kalau sampai aku harus terlibat dalam orang-orang yang ngasi amplop pada wartawan, ya maaf sajalah. Aku males!

2 Comments
  • andi
    May 23, 2005

    bagus, udah nggak jaman-nya tuh main suap ? ( atau masih )

  • AH
    May 27, 2005

    Jadi ingat dulu aku pernah mbanting amplop isi duit yang disodorin seorang kepala bagian tata kota di tangerang (!!!). Payah ya, orang mau minta info doang, dia sudah mikir yg nggak-nggak. Akhirnya ya aku semprot, “Gaji saya jauh lebih besar dari bapak, tau!”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *