Tiga bulan terakhir, aku mulai nulis di Rappler.com
Ini media baru. Setidaknya aku baru tahu pertama kali ketika September 2014 lalu ikut acara Fourth Media Jakarta Forum CFI di Jakarta. Saat itu aku satu forum dengan pendiri Rappler, Maria Ressa, meski beda sesi.
Awal tahun lalu, wartawan Rappler Febriana Firdaus menelpon minta aku ikut nulis di media ini. Dengan senang hati, aku pun mulai nulis beberapa kali.
Ada beberapa hal menarik dari Rappler. Salah satunya karena dia punya Rappler Mood Meter, aplikasi (atau plugin?) untuk melihat bagaimana emosi pembaca terhadap sebuah berita. Mood Meter ini antara lain senang, sedih, terinspirasi, semangat, marah, datar saja, dan seterusnya.
Pembaca bisa memilih dengan cara mengklik mood mana yang sesuai mood mereka setelah baca tulisan tersebut. Ironisnya, dari beberapa artikel yang sudah kutulis, respon pembaca terhadap tulisanku agak seragam: marah dan sedih.
Setelah aku cek dan cek lagi, wajarlah pembacanya marah dan sedih. Sebagian besar tema tulisan-tulisanku ternyata terlalu muram: hotel melati terancam bangkrut, kasus bunuh diri makin banyak, tanah di Bali kian tak terbeli, dan semacamnya.
Heran. Perasaan aku ini tinggal di Bali yang terkenal dengan keindahan dan kedamaiannya tapi kok tulisan-tulisanku muram semua. ?
Gara-gara itu aku kemudian mikir, kenapa bisa?
Bisa jadi karena beberapa faktor. Pertama, aku salah teman gaul. Sejak awal tinggal di Bali, aku kebanyakan bergaul dengan aktivis dan kelompok kritis. Teman-temanku ini isinya orang-orang yang suka nyinyir, bahasa kerennya mungkin kritis, terhadap Bali.
Kami terbiasa melihat apa yang tak terlihat di balik gemerlap dan puja-puji pada Bali. Misalnya kerusakan lingkungan, kemiskinan, urbanisasi, dan masalah-masalah lainnya di Bali.
Aku pun ikut-ikutan seperti mereka.
Kedua, aku salah tempat gaul. Dari dulu, aku bawaannya tidak suka bergaul di tempat-tempat mewah dan indah. Misalnya hotel, vila, restoran, dan teman-temannya. Selain karena ada perasaan minder tiap kali masuk tempat-tempat semacam itu juga karena memang tidak bisa membeli tiket kalau mau masuk dan menikmatinya.
Sekarang sih tidak segitunya juga minder dan miskinnya. Tapi, tetap tak terlalu nyaman jika gaulnya macam clubing, makan-makan mahal, nginep di vila indah, dan seterusnya. Kecuali gratis sih tentu saja oke banget. :p
Sebaliknya, ternyata aku lebih menikmati kalau jalan-jalannya ke pelosok dan pedalaman Bali yang tak terlalu banyak dilihat orang. Tak harus jauh di desa-desa, kadang semua ada di sekitar rumah sendiri.
Jadi, ketemunya pun dengan bapak-bapak yang digusur karena tanahnya dijadikan lapangan golf. Atau bapak-bapak pulang ngarit dan terpaksa bersusah payah melewati pagar kawat karena tanah tempat ngaritnya mau dijadikan vila. Atau ketemu ibu-ibu menyiram sawahnya padahal lokasinya di gunung.
Begitulah, salah teman dan tempat gaul membuatku terlalu sering berpikir tentang sisi lain Bali dan bertemu orang-orang kalah yang mungkin tak disadari banyak orang di balik gemerlap dan puja-puji terhadap pulau ini. Jadi, mohon maklumi dan ampuni sajalah. ?
May 1, 2015
setuju, mas.. saya juga malah sedih klo diajak gaul ke tempat2 ngehits.. soale suka bingung, tinggal melali ke leke-leke udah nemu taman2 yg asri, disana malah repot bikin taman..semacam itulah
hihihi