Here I am. Di Makassar dengan ketidakjelasan. Apa yang harus aku kerjakan? Serba salah. Mau nolak, teman yang ngajak. Setelah bersedia, tidak jelas tanggung jawabnya. Bahkan ketika aku sudah sampai di tempat acara, aku belum juga tahu apa saja yang harus aku kerjakan. Duh..
Sekira dua minggu lalu seorang teman, kini bekerja di Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional, telepon. Minta tolong aku bantu mengurus media selama Pertemuan Nasional Harm Reductin (PNHR) di Makassar, 14-18 Juni ini.
Actually, aku tidak terlalu tertarik. Pertama karena Makassar bukan kota yang terlalu menarik bagiku. Mungkin karena sudah dua kali pernah ke sini dan punya pengalaman tidak enak juga. Kedua, acara PNHR itu sendiri tidak terlalu asik. Terlalu formal untuk orang berangasan kayak aku.
Tapi ya apa boleh buat. Aku mengiyakan saja meski harus menangis melolong dulu agar Bunda ngasih izin. Tidak enak saja sih. Teman itu tumben minta tolong, masak aku tidak mengiyakan.
Lagian, mungkin bisa menikmati coto makassar dan, ehm, bandeng bakar paottere’! Ini dua makanan khas Makassar yang benar-benar enak banget bagiku. Sebagai pemburu makanan enak, dua menu ini harus aku santap lagi.
Maka, di sinilah aku hari ini. Pukul 10 tadi sampai di Makassar. Ketemu sama teman lama zaman kos di Jl Waturenggong Denpasar dulu, Rasman sejak di Bali tadi. Enaknya karena kemudian dia yang dijemput adiknya, mengantarkanku dulu ke Hotel Clarion di Jl AP Pettarani Makassar.
Sampai hotel, aku cek namaku di resepsionis. Ternyata, kata petugas hotel, belum ada. Ya udah. Aku keluar saja. Perut lapar. Juga sudah tidak tahan pengen makan coto makassar.
Tidak sampai 100 meter dari hotel aku menemukan warung kaki lima dengan menu yang kucari. Enak juga warung coto di depan kampus Universitas Negeri Makassar ini.
Coto makassar semacam soto sapi. Tapi kuahnya pakai santan. Dagingnya lebih banyak hati sapi, daripada daging. Semuanya empuk banget. Dan kuahnya itu lho, sueger banget. Mungkin karena pakai santan. Irisan bawang goreng dan bawang daun membuat rasanya sangat kuat.
Ada irisan jeruk dan garam di meja itu. Jadi aku tambahkan. Aduh, rasanya ternyata malah terlalu kecut bagiku. Mirip Tom Yam Gung, masakan Thailand.
Menu berkuah ini disajikan dengan mangkuk kecil. Mirip tradisi makan di Asia Timur seperti China dan Jepang.
Untuk pengganjal perut ada ketupat kecil-kecil yang sudah dibelah. Dasar bloon, aku tanya mana piringnya pada penjaga. Maunya aku potong-potong di piring lalu aku siram dengan coto itu. Eh, ternyata ketupat ini dimakan langsung –tentu saja pakai sendok- dari daun kelapa pembungkusnya lalu dicelupkan ke mangkuk dan dimasukkan ke mulut sama kuah coto.
“Itulah seninya makan coto makassar,” kata pemilik warung.
Satu mangkuk ternyata tidak cukup bagiku. Aku nambah. Setengah saja. Kali ini aku tidak tambah apa pun, termasuk sambal. Dan, aaah, ternyata rasanya jauh lebih tepat. Segar. Gurih. Tidak sia-sia jauh-jauh dari Denpasar ke Makassar untuk ketemu makan sedap kayak gini.
Tinggal, tunggu kau bandeng bakar paottere’! Waktumu untuk kusantap pun akan segera tiba.
Leave a Reply