Aku pikir teknologi informasi hanya mendorong perubahan dunia nyata ke arah lebih positif. Ternyata itu tak sepenuhnya benar.
Yanuar Nugroho, peneliti dari Manchester University, Inggris menunjukkan hal sebaliknya. Dunia maya ini ternyata malah mencerabut nilai dari kemajuan teknologi informasi itu sendiri. Yanuar tak hanya berteori tapi juga memberikan contoh-contoh ironi ini ketika berdiskusi di Sloka kemarin dengan teman-teman pegiat gerakan masyarakat sipil di Bali.
Di Wonosari, Jogjakarta, misalnya. Kemajuan teknologi informasi ternyata malah menciptakan bencana bagi salah satu desa. Pohon-pohon jati di desa tersebut justru habis ditebang gara-gara pesatnya teknologi informasi. Pemuda desa setempat ingin turut serta dalam gegap gempita kemajuan teknologi ini. Salah satunya dengan memiliki telepon seluler.
Tapi, mereka tak punya cukup uang. Jalan cepatnya? Menebang pohon jati dan menjualnya. “Bagi si kepala desa, telepon seluler adalah bencana,” ujar Yanuar.
Ada contoh lain lagi. Di Aceh, kata Yanuar yang sedang meneliti pengaruh jejaring sosial terjadap perubahan sosial ini, bahkan ada pasangan nyleneh. Seorang perempuan punya dua suami sekaligus. Satu suami online satu lagi suami offline alias suami sah secara agama maupun sipil. Namun, dua suami tersebut ternyata saling kenal.
Ketika bertemu bersama-sama, keduanya yang mengenalkan sebagai suami si perempuan tersebut lengkap dengan predikatnya, suami offline atau suami online. Tak ada rasa sungkan di antara ketiga orang itu, istri, suami offline, ataupun suami online. Ini sudah benar-benar tak masuk akal orang “normal”.
Karena itulah, menurut Yanuar, di balik banyaknya dampak positif, teknologi informasi ini juga telah memberikan dampak negatif pada kehidupan nyata. Tidak ke arah lebuh baik, tapi sebaliaknya mencerabut nilai kemajuan atau komunikasi itu sendiri.
Kita bisa melihatnya dalam kehidupan nyata sehari-hari. Misalnya, menjauhkan yang dekat. Dibanding ngobrol dengan teman di sampingnya, tak sedikit orang yang lebih sibuk ngobrol atau berinteraksi di dunia maya. Dibanding menyapa tetangga, kita mungkin lebih suka menyapa follower di Twitter atau teman di Facebook.
Yanuar juga memberikan contoh lain bahwa dunia maya ini tak selalu seiring sejalan dengan dunia nyata. Ini termasuk, antara lain, dengan komitmen pengguna jejaring sosial untuk ikut serta dalam perubahan. Di Facebook, bisa saja ada 2.000 orang yang akan hadir dalam sebuah kegiatan. Tapi, kenyataannya, orang yang hadir beneran pada kegiatan tersebut mungkin hanya belasan orang. Itu pun belum tentu mereka yang menyatakan akan hadir pada kegiatan tersebut melalui dunia maya.
“Undangan virtual juga akan menghasilkan komitmen virtual,” katanya.
Di balik kemajuannya, teknologi informasi ini ternyata juga menyimpan ironi dan potensi mencerabut kemanusiaan kita.
Leave a Reply