Kabut tebal menyambut perjalanan kami pagi pukul 4 pagi itu. Jarak pandang kurang dari 5 meter. Sinar lampu sepeda motor yang kami tumpangi tak berdaya melawan pekatnya kabut pagi itu.
Tebalnya kabut itu sudah terasa sejak aku meninggalkan penginapan di Cemorolawang, Probolinggo, di kawasan Bromo. Kabut itu bercampur dengan asap yang keluar dari mulutku tiap kali menghembuskan nafas.
Aku menggigil menahan dingin meski di depanku sudah ada Suko, pemandu kuda yang sehari sebelumnya mengantarkanku ke gunung Bromo dengan kudanya. Pagi itu Suko berganti jadi tukang ojek. Brown, kudanya, berganti dengan GL Pro.
Perjalanan Jumat (14/08) itu untuk menyaksikan matahari terbit. Lokasi bagus untuk melihat matahari terbit tersebut ada di Penanjakan, yang masuk kabupaten Pasuruan. Untuk ke lokasi ini kami harus melewati lautan pasir seperti halnya ketika ke puncak Bromo. Bedanya, kali ini jalanan kami tertutup kabut pekat.
Suko yang memakai pakaian kebesaran dengan topi kupluk, sarung melingkar di leher, jaket tebal, celana panjang, dan sepatu, harus berjuang keras di perjalanan. Pertama, dia harus mempertahankan laju motor di atas pasir. Ini tidak mudah. Pasir sangat labil. Ketika ban motor di atasnya, pasir itu akan “menelan” ban itu. Jika tidak hati-hati, motor bisa macet di tengahnya. Atau bahkan jatuh terpeleset pasir labil itu.
Kedua, dia harus fokus mencari jalan di tengah pekat kabut. Jalan ini agak mudah karena dia tinggal mengikuti bekas roda jeep, jumlahnya bisa puluhan per hari, yang menuju ke arah Penanjakan juga. Masalahnya, kabut yang tebal membuat jalan itu tidak terlalu terlihat. Pasir juga juga kadang menutupi jalan tersebut.
Suko melaju menuruti insting. Sekali waktu dia berhenti seperti tidak yakin dengan jalan yang kami akan lalui. Dia mencari jejak jeep atau petunjuk lain. Aku tidak melihat apa pun. Suko lalu menentukan.
Selama sekitar 30 menit kemudian, kami tiba di jalan yang lebih bagus. Kali ini terlihat jelas jalan raya berkelok menanjak. Meski aspalnya rusak parah, aku bersyukur juga. Setidaknya kami menuju arah yang benar. Kalau tadi kesasar kan gawat juga.
Sekitar 15 menit naik mengikuti jalan raya yang makin jauh makin bagus itu, kami sampai di Penanjakan. Ini lokasi paling bagus menikmati matahari terbit.
Deretan mobil jeep di pinggir jalan benar-benar mengagetkanku. Gila. Ternyata buuuanyak banget. Ratusan orang berdesakan menuju lokasi terbaik untuk menikmati munculnya matahari di pagi yang masih gelap itu. “Ini masih sepi. Kalau pas lagi rame panjang mobil yang parkir bisa sampai tiga kiloan,” katanya. Byuh!
Karena masih ada waktu untuk istirahat, aku cari kopi dulu. Selain kopi, warung-warung di sini menyediakan mie kuah yang jadi menu favorit. Bisa dimaklumi. Soale dingin banget.
Dari warung ini pengunjung harus menaiki tangga berundak ke puncak pos penyaksian. Begitu sampai di puncak bukit itu, lha dalah, lagi-lagi aku terkaget-kaget melihat banyaknya orang di pagi gelap dingin itu. Tempat itu penuh dengan ratusan orang.
Puncak bukit bentuknya melingkar. Ukurannya sekitar 20 x 30 meter persegi. Tempat itu penuh dengan ratusan pengunjung. Sebagian besar pengunjung adalah turis Eropa seperti Perancis dan Belanda. Karena penuh itu, aku harus berjalan menyelip di antara tubuh-tubuh tinggi besar. Ada untungnya juga punya badan kecil. Jadi gampang menyelinap. Hehe.
Sisi timur titik ini menghadap matahari. Orang-orang berdesakan agar berada di paling pinggir. Semua orang melihat semburat jingga petanda mahari sedang merayap menuju batas tak terlihatnya. Di ufuk timur sana adalah batas terjauh mata manusia bisa melihat. Juga kabut dan awan kelabu.
Di sisi selatan, tiga serangkai gunung menghadirkan pemandangan menakjubkan: Gunung Batok berbentuk kerucut di bagian paling depan, Gunung Bromo yang lebih datar di tengah, lalu Gunung Semeru menjulang di belakang. Puncak tiga gunung bersemu kemerahan itu seperti terbang di antara kabut dan awan kelabu.
Kami menungu matahari yang seperti merayap pelan itu. Ketika akhirnya sinar matahari terlihat, orang-orang berseru pelan seperti menggumam. Antara rasa takjub atau nikmat. Mereka sibuk mengabadikan matahari terbit dan tiga gunung menjulang di atas awan.
Inilah untuk apa orang jauh-jauh menempuh perjalanan datang ke sini. Jingga, matahari yang merayap, kabut, tiga puncak di antara kabut dan awan..
Ketika matahari makin terang, orang-orang berangsur pergi meninggalkan tempat tersebut. Begitu juga aku..
Leave a Reply