Rumah Tulisan

maka, menulislah untuk berbagi, agar ceritamu abadi.

Satu Media Lagi untuk Menulis

Klik. Klik. Hari ini aku klik Appetite Journey. Dan, he.he, tulisanku nongol dengan manisnya di sini.

Asyik, ada satu lagi media yang mau muat tulisanku. Tinggal selesaiin lagi beberapa tulisan untuk dikirim.

Hmm, ide sih banyak. Eksekusinya yang kurang.. :((

Inilah versi lengkap tulisan itu.

Menikmati Sepi di Keriuhan Denpasar

Text by Anton Muhajir

Sebagai ibu kota provinsi Bali, wajar jika Denpasar adalah kota terpadat di Bali. Karena itu kemacetan juga jadi wajah biasa bagi kota yang luasnya hanya sekitar 128 ribu hektar dengan jumlah penduduk sekitar 800 ribu ini. Tempat makan di Denpasar pun sebagian besar berada di pusat kota seperti Renon dan Jl Teuku Umar. Memang enak sih makan di kawasan-kawasan ini karena dekat sehingga cepat dan gampang dicapai. Namun, itu tadi, padatnya lalu lintas dan hiruk pikuk bisa mengganggu kenikmatan bersantap.

Lalu, kenapa tidak pilih bersantap yang sepi di Denpasar? Ada dua pilihan tempat bersantap yang menarik: Desa Dusun dan Kertalangu. Kedua tempat ini ada di pinggiran Denpasar. Kita bisa menikmati menu sambil memandang tebing atau mengusir burung di sawah.

Keramahan Desa Dusun
Kita ke Desa Dusun dulu. Restoran ini berada di Oongan, Denpasar Timur, sekitar Jl Gatot Subroto Timur. Lokasinya bersebelahan dengan perumahan elit di Denpasar, Teras Ayung.

Kalau dilihat dari luar, restoran ini memang menipu. Dia ibarat kamuflase, tersembunyi di antara rumah-rumah sekitarnya. Dari depan, dia sama persis dengan rumah-rumah lain. Dua petunjuk bahwa ada restoran di dalamnya adalah papan nama, itu pun tidak disebut sebagai “Restoran” tapi “Kedai”, dan umbul-umbul merah muda. Maka, masuklah. Dan lihat betapa mengesankan tempat tersebut.

“Restoran ini membawa konsep homy restaurant, rumah yang dijadikan restoran,” kata Nungki Yahya, pemiliknya. Nungki sendiri tinggal di rumah tersebut bersama suami dan anak-anaknya. Karena itu berbeda dengan restoran, kedai, kafe, atau apa pun tempat bersantap lain yang biasa menata kursi dan meja di satu tempat dan bersifat massal, restoran ini menyajikan meja kursi itu terpisah satu sama lain sehingga privasi tiap tamu bisa terjaga. Meja kursi makan itu ada di berbagai tempat: beranda, bale bengong, kamar rumah, pinggir kolam, bahkan pinggir sungai.

Kursi dan meja makan di beranda adalah perabot yang biasa digunakan di ruang tamu rumah. Jadi kesannya memang ramah karena seperti menyambut kita sebagai keluarga atau teman atau setidaknya tamu, bukan pembeli makan.

Restoran ini berada di tepi Tukad (sungai) Ayung, Denpasar Timur. Karena itu bentuknya miring, bahkan curam, ke bawah ke arah sungai. Pemandangan inilah yang luar biasa, setidaknya untuk orang yang tinggal di Denpasar. Di Bali, tempat seperti ini adanya di Ubud. Sekadar contoh saja ya di Murni’s Warung atau Ary’s Warung. Tapi Ubud lumayan jauh dari Denpasar, perlu sekitar 45 menit sampai sana. Sedangkan Desa Dusun adanya memang di Denpasar meski agak di pinggir.

Berjalan dari bagian depan ke belakang di Desa Dusun, maka kita akan mendapati rumah lain yang jadi tempat makan juga. Kalau di rumah pertama sebagian besar beranda, di rumah kedua tempat makannya berupa kamar-kamar. Jadi, makan di tempat ini ibarat makan di rumah sendiri, misalnya di ruang kerja, ruang tidur, dan seterusnya. Cuma di sini tidak ada perabotan selain kursi dan meja makan untuk sekitar lima hingga enam orang. Hampir semua perabot itu bergaya antik.

Di bagian belakang rumah, ada beranda juga. Beranda ini berlantai kayu dan menghadap ke arah seberang sungai. Tempat ini memuat untuk sekitar 20 orang. Tidak hanya untuk tempat makan tapi juga bisa untuk rapat, pesta, atau hanya bersantai. Titik ini paling asyik untuk menikmati tebing dan perumahan elit di seberang sana.

menikmati sepi denpasar 03

Teras Ayung, perumahan elit di Denpasar yang ibarat Pondok Indah di Jakarta, berada persis di seberang sungai. Sambil bersantap, kita bisa menikmati pendar-pendar lampu rumah di sana dari sini. Dan ini kombinasi yang unik: rumah elit dengan lampu kerlap-kerlip ketika petang itu, temaram tebing sungai Ayung, hijaunya suasana tempat kami makan, dan sayup-sayup serangga malam.

Di bawah beranda ini ada dua tingkat lagi. Sebab restoran ini memang terdiri dari beberapa “tingkat”. Paling atas adalah rumah sekaligus tempat makan di mana ada beranda belakang. Di bawahnya ada halaman belakang rumah dengan meja kursi makan di sana. Di tingkat lebih bawah ada kolam berlantai dasar biru. Ada beberapa tempat duduk di sini. Bagian keempat, di mana kita harus menuruni undak-undakan untuk mencapainya, adalah bangunan yang agak terpisah dari rumah pertama tadi. Jaraknya sekitar 20 meter. Di rumah ini ada meeting room dan meja kursi makan selayaknya di rumah juga.

Bagian paling bawah adalah bagian yang persis di pinggir sungai. Ada dua bale bengong di sini untuk menikmati makanan sambil melihat air mengalir di bawah sana, tinggi jarak antara bale bengong itu dengan dasar sungai itu sekitar 4 meter. Cukup dalam.

Puas jalan-jalan melihat sebagian besar restoran, kini waktunya menikmati menu. Ada nasi goreng kambing (Rp 16.500). Nasi goreng ukuran jumbo, saya sampai tidak bisa menghabiskannya, ini berisi daging kambing dan taburan telur dadar di atasnya. Nasi ini dilengkapi juga acar timun dan krupuk. Inilah sebagian menu di Desa Dusun: ayam bakar desdus (Rp 18.500), filet ikan mabok (Rp 26.500), filet ikan steak alam (Rp 28.500), bestik ayam jamur (Rp 22.500), dan bestik sapi (Rp 24.500). Menu terakhir adalah menu andalan di Desa Dusun dan direkomendasikan pemiliknya. Daging sapinya memang empuk.

Tempat nyaman, harga relatif terjangkau (dibanding restoran dengan kualitas setingkat), pelayanan yang ramah, semua memberi nili plus untuk restoran ini. Apalagi usai makan, kita bisa bersantai sepuasnya tanpa tanda-tanda pelayan akan “mengusir” kami, sesuatu yang biasa terjadi bagi pembeli makan yang sudah lama selesai menyantap menu tapi tak pergi-pergi.

Kedamaian Kertalangu
Tempat bersantap lain yang tak kalah menariknya untuk menikmati sepi di antara keriuhan Denpasar adalah Kertalangu. Tempat ini berada di desa Kertalangu, Kesiman, Denpasar Timur. Karena itu tempat ini dikenal dengan nama Desa Budaya Kertalangu.Kertalangu sekaligus sebagai desa konservasi lahan pertanian. Menurut Kepala Desa Kesiman Kertalangu, Wayan Warka, Desa Budaya ini berawal dari kekhawatiran makin hilangnya sawah dan berganti rumah di jalur hijau tersebut. Warga bersama pihak swasta kemudian membuat desa budaya tersebut. “Agar para petani tetap menjalani aktivitasnya dan mendapat nilai plus dari aktivitas pertaniannya,” kata Warka

Dengan konsep cultural village, Kertalangu menghadirkan sesuatu yang berbeda. Tempat bersantap hanya salah satu pelengkap dari sekian banyak fungsi seperti jogging track, kegiatan budaya (tari barong dan kecak dance), kolam pancing, tempat pelatihan spa, demonstrasi pembuatan kerajinan, natural stone & pottery, keramik, serta lilin, garmen, dan produk kaca. “Kami memang menerapkan konsep community development,” kata Dewa Gede Ngurah Rai, pemilik PT Uber Sari, pengelola kawasan tersebut.

menikmati sepi denpasar 02

 

Jika untuk jogging, maka waktu paling tepat datang ke sini adalah pagi atau sore ketika matahari tidak terlalu menyengat. Menyusuri jalur jogging sepanjang 4 km selama satu jam tergolong melelahkan. Namun panjang dan lama menyusuri jalan tidak akan terasa karena mata kita dimanjakan pemandangan di sana.

Jalur jogging ini berupa lantai semen selebar 2 meter yang menyusuri areal sekitar 80 hektar. Pengunjung akan diajak menyusuri jalur yang konturnya mengikuti lansekap naik turun sawah. Bagian pertama sekaligus nanti jadi tempat terakhir berupa area inti di mana ada berbagai fasilitas yang sudah disebut tadi. Di sini pengunjung tidak hanya jogging tapi juga bisa masuk melihat proses pembuatan kerajinan keramik, batu, gelas, garmen, lilin, bahkan spa.

Setelah itu kita menyusuri naik turun jalur jogging. Kita bisa melihat petani sedang bekerja di sawa, bahkan berbincang dengan mereka jika mau. Atau malah ikut bekerja dengan mereka. Sebab petani-petani itu memang bagian dari Desa Budaya Kertalangu. Ada 204 pemilik lahan dan petani di areal tersebut. “Mereka bukan buruh tani tapi petani yang memang punya lahan di sini,” kata Gede.

Selesai jogging atau sekadar jalan-jalan menyusuri pematang sawah, tempat terakhir adalah bersantap. Pada pagi atau sore hari ketika ramai orang jogging, menu yang ada merupakan menu-menu sederhana seperti bubur ayam, kacang hijau, nasi kuning, jagung bakar, dan sate ayam. Harganya tak lebih dari Rp 5000 tiap porsi. Makanannya memang murah, tapi suasananya yang mahal: susah dicari di Denpasar. Eh, tapi pengunjung tidak bayar apa pun untuk jogging atau jalan-jalan di Kertalangu. Gratis.

Menikmati makanan murah dan menyehatkan itu di bale bengong di pinggir sawah jelas berbeda dibanding menyantap menu mahal di restoran. Kalau dibandingkan dengan Ubud jelas berbeda. Sebab di Ubud harganya relatif mahal dan terlalu berbau turisme. Kalau di Kertalangu benar-benar terasa lebih ndeso suasananya.

menikmati sepi denpasar 04

 

Kita bisa melihat sisa-sisa padi yang baru dipanen. Ada pula yang baru mulai bertanam, sudah menghijau, atau malah sedang kuning-kuningnya menjelang dipanen. Sesekali ada teriakan petani mengusir burung-burung pemakan padi. Hmm, benar-benar apa adanya.

Desa Dusun
Jl Noja Ayung No 6 Oongan
Denpasar Bali
Telp 0361 – 462944

Desa Budaya Kertalangu
Jl By Pass Ngurah Rai No 88 X Tohpati
Denpasar Bali
Telp 0361 – 461727


  1. rd Limosin Avatar

    keren, tulisannya bagus Mas

  2. imcw Avatar

    Untuk yang beginian, Anton memang mantapsss. 🙂

  3. Jafar G Bua Avatar

    Aku suka juga tengok foto-fotonya, kawan. Sangat menarik!

  4. tomo Avatar

    malem um..
    matrsuwun tuliannya ya..dah aku upload..maap terlambat..dah dua hari ini aku ga nongkrongib blog…

    beok jam brapa dimana?
    aku maih di 08164724014 klo da papa..

    suwun..
    SmanGAAtt!

  5. yacobyahya Avatar

    So gud jd pengen mampir kalo ke Bali lagi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *