Ketemu banyak orang dari beragam latar belakang memang menyenangkan. Aku bisa belajar banyak hal pula dari mereka. Begitu pula selama International Editor Meeting majalah tempatku kerja part time di hotel Mercure Sanur sejak Minggu lalu. Salah satu yang kupelajari adalah soal bahasa.
Pertemuan selama enam hari ini menggunakan bahasa Inggris, tentu saja. Namun karena sebagian besar bukan penutur asli (native speaker) bahasa Inggris, maka sangat terasa bedanya dibanding penutur asli. Bisa jadi karena si penutur memang tidak sepenuhnya bisa ngomong bahasa ini dengan baik, bisa jadi juga karena aksennya yang memang tidak ramah di telingaku sehingga susah kumengerti. Tapi, kemungkinan besar adalah karena kemampuanku mendengar bahasa Inggris (listening) memang payah. Makanya aku susah mengerti. 🙁
Ren Jian, peserta dari China, adalah peserta yang sama sekali tidak kumengerti bahasa Inggrisnya. Soalnya kalau ngomong cepet banget dan lidahnya seperti cadel. Logatnya juga China banget. Jadinya susah. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang dia bilang kalau dia ngomong. Dia tidak bisa mengucapkan R dan menggantinya dengan L.
Aku lihat bukan hanya aku. Ketika Ren Jian ngomong, hampir semua peserta segera mengangkat punggung yang semula direbahkan di kursi. Mereka mendengarkan Ren Jian dan meloto ke arahnya dengan seksama sambil mengernyitkan dahi. Seperti berpikir keras mencerna kata-kata demi kata dari Ren Jian. Toh, sebagian besar masih saja sibuk mengernyitkan dahi seperti tidak cukup mengerti.
Setelah dari China, peserta lain yang bahasa Inggrisnya susah kumengerti adalah peserta dari India. Logat India dengan “T” seperti orang Bali, ujung lidah melekat di langit-langit sebelum mengucapkan “T”, jadi ciri khas mereka. Karena Bahasa Inggris adalah bahasa mereka sehari-hari, makanya mereka kalau ngomong sangat cepat. Jadinya, aku susah untuk nangkap maksud mereka.
Lucunya adalah, baik Prasadh maupun Radha, dua peserta dari India, sama-sama suka menggoyang-goyangkan kepala kalau lagi ngomong. Aku jadi ingat Shah Rukh Khan. Hehe..
Aksen Brazil dan Peru juga tidak biasa bagiku. Tapi karena mereka ngomongnya pelan dan hati-hati, makanya aku agak bisa mengerti meski juga tidak seratus persen.
Oya, ngomong-ngomong soal bahasa di Peru dan Brazil, ini juga hal yang aku baru tahu. Ternyata bahasa nasional mereka juga warisan penjajah. Dua teman dari Peru, Teobaldo dan Theresa, menggunakan bahasa Spanyol dalam diskusi sehari-hari di antara mereka. Peru memang bekas jajahan Spanyol. Sedangan Adriana dan Paulo, teman dari Brazil, sehari-hari berkomunikasi dengan bahasa Portugis, negara yang pernah menjajah Brazil.
Peru dan Brazil tidak punya bahasa “nasional yang asli” seperti Indonesia. Ah, bisa juga aku bangga dengan bahasa Indonesia. Hehehe..
Uniknya adalah, teman dari Peru dan Brazil bisa berkomunikasi dengan bahasa berbeda dalam bahasa masing-masing. Jadi mereka ngobrol dengan bahasa masing-masing tapi satu sama lain bisa mengerti. Adriana yang dari Brazil berbicara pakai bahasa Portugis dengan Teobaldo yang dari Peru dan berbicara bahasa Spanyol.
Contonya begini.
“Ken-ken kabare, Bli Teo?” tanya Adriana dalam bahasa Portugis.
“Apik-apik ae, Dik Adriana,” jawab Teobaldo dalam bahasa Spanyol.
Kata mereka, itu memang sudah biasa bagi orang Amerika Latin, berkomunikasi dengan orang dan satu sama lain menggunakan bahasa masing-masing. “Mungkin karena akar bahasa Portugis dan Spanyol itu sama,” kata Adriana dan Teobaldo.
Karena warisan negara Eropa itu pula, maka bahasa Inggris mereka juga berlogat dua negara jagoan sepak bola tersebut. Yang paling aku ingat itu dari cara mereka menyebut “tion”. Kalau bahasa Inggris ala Amerika dan Inggris adalah “sen”, maka logat Portugis dan Spanyol menyebutnya “shiong”. Nation dibaca nasiong. Ya, kurang lebih begitulah..
Nah, di antara sekian non-native speaker itu, peserta dari Senegal, terutama Awa, adalah penutur paling fasih. Kalau ngomong bahasa Inggris, setiap katanya terdengar sangat jelas bagiku. Oya, Senegal juga ternyata menggunakan bahasa Perancis, yang pernah menjajah mereka, sebagai bahasa nasional.
Terakhir, peserta dari Belanda tentu saja tidak ada masalah dengan aksen. Kalau ada yang tidak kumengerti, itu ya karena keterbatasan vocabulary saja. Di antara mereka, aksen asli Inggris ala Karen, yang berasal dari negara monarki itu, paling asik bagiku. Soalnya aku jadi makin yakin kalau dialek Inggris asli memang beda dengan dialek Inggris ala Amerika.
Kata yang paling jelas itu kalau mengucapkan “T” di akhir kalimat. Orang Inggris asli selalu menyebut “T” itu seperti “K”. Misalnya “quite a lot” akan jadi “kwaik e lok” tidak seperti Amerika yang membacanya “kwait e lot”. Makanya pas dengar Karen ngomong pertama kali aku langsung yakin kalau dia dari Inggris. Eeh, ternyata benar..
May 9, 2008
setuju… orang India walaupun banyak diantara mereka juga bicara dalam bahasa inggris, menurut saya yang paling susah dicerna.
soalnya mereka kalau ngomong cepet banget daaan.. kepalanya bergoyang-goyang.. huaaa haha
waktu saya ngobrol dengan delegates dari India.. berkali-kali saya bilang..
“pardon me.. would u repeat?”
kalau delegates Jepang.. humm malah lebih gampang dimengerti, karena ada beberapa istilah mereka yang mirip2, walaupun jadi aneh
misl. bus = basu; computer = kompyutaa (semacam itulah)
mereka menyebut McDonald dengan Makudonarudo..hoho aneh yaa 😆
May 9, 2008
benar2 tulisan yang menarik..
May 10, 2008
salut…buat laporannya…
gimana caranya menulis seperti ini yah?
May 12, 2008
perwakilan bahrain aksennya gimana, bli?
May 13, 2008
jadi pengen liat orang india ngomong, hehehe
December 29, 2012
hahaha saya setuju org india tidak jlas dalam brbahasa inggrisny, saya sempat nonton film india dalam bhs inggris malah dalam filmny audio english tp mesti ditulis subtitle ny pake english itu brarti bkn kita aj yg susah mmahaminy. kata temen ak yg di india tdk semua org india bs bhs inggris atau ngomong inggris setiap hr, hny sebagian wilayah yg pndudukny setiap hr menggunakan bhs inggris, selain itu mrek menggunakan hindi, atau bhs daerah mreka.