Pawai Ogoh-ogoh menjelang Nyepi bisa menjadi keasyikan tersendiri.
Sehari menjelang Nyepi, anak-anak muda di Bali akan mengarak patung raksasa simbol Butha Kala ini. Mereka dalam kelompok masing-masing akan mengarak di perempatan desa.
Perempatan Catur Muka, nol kilometer Denpasar, selalu jadi tempat paling bergengsi. Karena itu, saat Pengrupukan sehari menjelang Nyepi, tempat ini akan penuh dengan arakan ogoh-ogoh. Ribuan warga menyemut mengelilingi Patur Catur Muka, ikon Denpasar, untuk menikmati pawai ini.
Pengrupukan, yang secara spiritual sebenarnya bermakna untuk pembersihan atau penyucian jagat sebelum Nyepi, menjadi arena pertunjukan. Karyanya berupa ogoh-ogoh dengan aneka bentuk.
Sebenarnya, ogoh-ogoh itu simbol Butha Kala, sesuatu yang buruk menurut ajaran Hindu Bali. Namun, oleh orang-orang kreatif dan berjiwa seni di Bali, patung raksasa ini dibuat dalam bentuk-bentuk indah.
Wujudnya juga aneka rupa. Tak lagi hanya wujud-wujud menyeramkan tapi juga sesuai tema kekinian. Misalnya tikus raksasa simbol koruptor. Tak soal. Yang penting tetap sesuatu yang (dianggap) buruk.
Setelah beberapa tahun Nyepi di luar Bali, kali ini kami bisa menikmati pawai ogoh-ogoh lagi. Lokasi paling asyik, merujuk pada pengalaman tahun-tahun sebelumnya, tentu saja Perempatan Catur Muka.
Sayangnya, tahun ini mengecewakan dan bahkan memprihatinkan.
Tahun-tahun sebelumnya, pawai ogoh-ogoh itu khusus buat para finalis lomba ogoh-ogoh oleh Pemkot. Jadi, mereka yang “terbaik” yang layak pawai di sana.
Sayangnya kali ini tidak. Pemkot tidak mengadakan pawai ogoh-ogoh. Jadi, siapa pun bisa pawai di sana.
Hasilnya jadi acak adut. Ogoh-ogoh dengan bentuk sembarangan dan kualitas ala kadarnya pun turut serta. Dari belasan ogoh-ogoh yang kami lihat selama sekitar satu jam malam itu, hanya satu dua ogoh-ogoh dengan kualitas bagus. Sisanya lebih tepat disebut mainan anak-anak, bukan sebuah karya seni atau hasil kreativitas berkualitas.
Tentu saja tak soal kalau kualitas “tak bagus”. Yang jadi masalah kalau bentuknya pun, menurutku, justru menyimpang dari makna ogoh-ogoh itu sendiri.
Ada ogoh-ogoh figur perempuan dengan payudara menggelantung dan vagina terbuka. Aduh. Ini kan diarak di depan banyak orang, termasuk anak-anak. Tak pantas rasanya figur semacam itu dianggap sebagai simbol Butha Kala, hal sakral menurut Hindu Bali.
Makin parah karena banyak ogoh-ogoh diarak dengan iringan musik ala dunia gemerlap (dugem) di kafe. Jedug-jedug menggelegar dari sound system yang mereka bawa. Akibatnya, tim pengarak ogoh-ogoh yang memainkan gamelan Bali pun tenggelam oleh suara musik ajep-ajep itu.
Aku tidak tahu bagaimana menurut aturan tradisi Hindu Bali. Tapi, rasanya memang tak tepat mengarak ogoh-ogoh dengan musik dugem begini.
Menurutku, perlu standarisasi kualitas ogoh-ogoh, terutama yang diarak di Catur Muka ini. Begitu pula dengan musik pengiringnya. Sebagai bagian dari ritual, layaknya ritual lain di Bali, ogoh-ogoh harus diiringi musik gamelan Bali. Bukan dengan musik kayak di kafe.
Sekitar satu jam di Catur Muka, kami pun pulang.
Dalam perjalanan pulang, kami melewati perempatan Jalan Gatot Subroto – Jalan Nangka Denpasar Utara. Ternyata di sini juga ada pawai ogoh-ogoh oleh desa adat setempat, Desa Tonja.
Hanya sekitar 30 menit di sana, aku bisa menyimpulkan, pawai ogoh-ogoh di sini jauh lebih keren. Ogoh-ogoh yang diarak memang bagus. Pengiringnya juga lengkap dan rapi. Musiknya gamelan Bali.
Seharusnya, semua pawai ogoh-ogoh menjelang Nyepi dibuat begitu. Biar lebih enak dinikmati siapa pun yang ingin menikmati Nyepi.
April 14, 2015
ke Tohpati aja, mas…tiap pengerupukan ada lomba ogoh-ogoh se-Desa kesiman di perempatan tohpati
April 22, 2015
Di daerah yang lebih ke “desa”, biasanya tradisi masih lebih terjaga. Khususnya soal gamelan pengiring ogoh-ogoh. Contohnya di Kerobokan, sejauh ini semua masih menggunakan gamelan balaganjur.
Contoh daerah lain yang ogoh-ogohnya sangat keren dan berkualitas adalah di daerah Munggu (tempat tradisi Mekotek), disana ogoh-ogohnya dari tahun ke tahun sangat bagus. Atraksinya juga biasanya bagus.
Yang saya takutkan, apa yang terjadi di pusat kota bisa menular ke daerah pelosok, maksudnya soal musik dugem pengiring ogoh-ogoh. Semoga saja tidak.