Kami menundukkan kepala dalam diam ketika seorang teman berdiri di depan dengan pakaian putih-putih seperti pedanda, pemimpin upacara dalam ritual Hindu, sedang merapalkan doa. Sebagian di antara kami membawa mawar merah. Ada yang sekadar membawa bunga itu di tangan, ada pula yang meletakkan bunga itu di tengah kuncup tangan ketika berdoa.
Halaman depan kantor Radar Bali di daerah Ubung itu senyap untuk sekitar tiga menit ketika doa itu dibacakan. Sekitar 100 orang di sana berdiri dan berdoa menurut keyakinan masing-masing. Di sekitar kami, karangan bunga ucapaan duka cita masih berjejeran. Ada dari Fraksi Golkar di DPRD Vali. Ada dari Humas perusahaan rokok Sampoerna. Dan masih banyak lagi.
Doa dan karangan bunga itu menjadi bagian dari doa bersama untuk mengenang salah satu teman kami yang telah pergi: Anak Agung Gde Bagus Narendra Prabangsa..
Prabangsa, begitu panggilan akrabnya, adalah redaktur di harian lokal Radar Bali. Mantan wartawan Nusa –sebelum berganti nama jadi NusaBali- ini ditemukan meninggal di perairan Padangbai, Kecamatan Manggis, Karangasem Senin (16/2) lalu. Sebelumnya sejak Rabu dia sudah dinyatakan hilang. Teman-temannya di Radar Bali dan keluarga tidak bisa mengubungi dia sejak hari itu.
Senin siang, sekitar pukul 2 sore, adalah saat pertama kali saya mendapatkan informasi tentang kematian Prabangsa. Luh De Suriyani, istri saya yang liputan di rumah sakit Sanglah Denpasar, mengabarkan kematian itu. Saya antara percaya dan tidak. Hari Puspita, teman akrab saya di Radar Bali juga tidak memberikan jawaban ketika saya telepon. Dia sedang rapat. Sepertinya tentang sesuatu yang gawat karena sampai tidak mau diganggu.
Tapi informasi hari itu dari banyak tempat. Sudah ada sebuah informasi meski memang agak samar. Prabangsa ditemukan sudah meninggal.
“Kondisi korban sangat mengenaskan. Tubuhnya sudah lebam dan membengkak. Lidah korban menjulur dan kepala bagian depan dari atas mata remuk. Tidak itu saja. Kedua bola mata korban juga sudah hilang. Sementara telinga kirinya juga hilang. Kemudian di lehernya seperti ada lebam bekas jeratan,” tulis Radar Bali di headline tentang kematian redakturnya tersebut.
Saya tidak kenal dengan dekat dengan almarhum. Hanya ketemu beberapa kali ketika liputan atau kegiatan. Mungkin karena saya juga bukan tipe wartawan yang rajin berkumpul untuk liputan bersama dengan wartawan lain.
Toh, saya tetap merasa kehilangan seorang teman. Kesamaan pekerjaan yang membuat kami terhubung. Dia pernah jadi anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI), organisasi wartawan tempat saya ikut di dalamnya, sebelum jadi anggota Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI). Kami juga beberapa bertegur sapa atau ngobrol tentang liputannya.
Kematian Prabangsa, apalagi karena pembunuhan, juga melahirkan ketakutan pada diri saya. Tiba-tiba saya merasa kematian itu begitu dekat dengan pekerjaan kami, wartawan. Saya kembali takut bahwa pekerjaan ini sangat rentan dengan tindak kekerasan, bahkan kematian.
Ketika jenazahnya baru ditemukan banyak orang memang langsung berasumsi bahwa Prabangsa dibunuh karena pemberitaan. Mungkin ini karena latar belakangnya sebagai wartawan.
Namun selama dua hari ini, asumsi itu makin terbantahkan. Prabangsa sepertinya dibunuh karena alasan pribadi sesuatu di luar urusannya sebagai wartawan.
Salah satu buktinya adalah dari pemeriksaan polisi terhadap para saksi hari ini. Dari empat orang yang diperiksa, salah satunya adalah pegawai di lembaga tinggi di Bali. Perempuan ini adalah teman dekat Prabangsa. Justin Herman, Direktur Radar Bali, membenarkan adanya pemeriksaan ini.
Cerita dari beberapa teman, dan belum saya verifikasi, juga mengatakan hal tak jauh beda. Prabangsa dibunuh karena motif pribadi, bukan profesi.
Tapi atas motif apa pun itu, tindak kekerasan toh harus dilawan. Maka, semua organisasi wartawan pun menyampaikan kutukan. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), PWI Reformasi, PJI, AJI, dan organisasi lain semua menyatakan turut berduka atas kematian Prabangsa.
“Apakah kasus (pembunuhan) itu berkaitan dengan masalah pribadi atau terkait profesinya di media, kepolisian harus secepatnya mengungkap kasus ini,” kata Bambang Wiyono, Ketua AJI Denpasar dalam pernyataan sikapnya.
Maka, petang itu kami pun berhimpun jadi satu. Wartawan, aktivis, politisi, dan masyarakat lain berkumpul di depan kantor Radar Bali, tepat di samping sanggah, tempat orang Hindu biasa berdoa. Hindu, muslim, nasrani, budha, tak beragama, semua turut serta dalam doa. Mendoakannya semoga mendapat tempat layak di sisiNya.
Mengutip omongan Djesna Winada, Ketua PWI Bali, ketika memberikan sambutan, kehilangan ini adalah kekuatan baru untuk kita..
February 19, 2009
saya turut berduka, apalagi Radar Bali adalah satu-satunya koran lokal Bali yang beritanya masih senang saya baca.