Pada awalnya, nenek moyang manusia dilahirkan bersama batu.
Lalu, si nenek moyang itu bermain bersama batu, si benda mati tersebut. Sebagai makhluk kesayangan Tuhan, maka dia mendapat hak istimewa dari Tuhan untuk meminta apa saja.
Dia pun meminta kepada Tuhan yang maha pengasih itu. “Tuhan, aku mau kau ciptakan makhluk yang serupa denganku, makhluk hidup,” pintanya.
Tuhan lalu menciptakan anjing untuk si manusia tersebut. Manusia senang karena kini dia mendapat teman baik yang dia bisa ajak bercanda. Bersama anjing tersebut si manusia merasa hidupnya lebih berwarna.
Dia bisa lari, jalan-jalan, main, atau bahkan kadang-kadang tidur bersama dengan si anjing.
Tapi, si manusia perlu dengan sesuatu yang tak hanya bisa menemani tapi juga berbagi cerita. Maka, dia kembali meminta, ” Tuhan aku mau kau buat makhluk hidup yang juga bisa berbagi bersamaku.”
Tuhan mengabulkan permintaan si nenek moyang. Dia menciptakan pasangan untuk si manusia tersebut. Sebagai sesama manusia dewasa, mereka pun bersama. Bercinta dan melahirkan manusia-manusia baru.
Seiring dengan lahirnya manusia-manusia baru itu, Tuhan menciptakan pula manusia-manusia lainnya. Dia membuat tiap manusia itu berbeda dari etnis, negara, agama, tak beragama, tak percaya Tuhan, dan seterusnya.
Ternyata, meskipun sudah bergaul dengan sesama makhluk hidup bernama manusia, para generasi kedua pun mulai meminta sesuatu yang hanya sama dengan mereka. Manusia generasi kedua ini lalu membentuk kelompok lagi yang lebih kecil, mereka hanya mau bergaul dengan sesama manusia yang sama-sama beragama.
Mereka menolak manusia-manusia lain yang tak beragama. “Manusia yang tak percaya agama dan Tuhan itu terkutuk dan tidak tahu terima kasih,” katanya.
Toh, ternyata agama pun belum membuat sesama manusia ini hidup berdampingan mesra. Ketika sama-sama beragama ini sudah berada di satu tempat, mereka mulai mencari-cari perbedaan dan membenturkannya.
Orang-orang beragama ini, yang merasa lebih benar daripada orang tak beragama, ternyata merasa bahwa agama mereka sendiri yang paling benar. Lalu, satu sama lain saling menyalahkan agama lain.
Lalu, mereka berhimpun dalam kelompok-kelompok lebih kecil lagi berdasarkan agama yang dianutnya. Mereka hanya mau bergaul, bekerja, makan, dan hidup dengan tata cara agama tersebut.
Dalam perjalanan, orang-orang yang beragama sama ini pun kemudian ternyata masih ribut dengan aliran mereka masing-masing. Beragama sama ternyata tak menjawab persoalan. Mereka berperang hanya demi aliran masing-masing yang dianggap benar dan menganggap aliran lain sesat dan harus disadarkan meskipun dengan melakukan kekerasan.
Ah, tapi ternyata mereka yang ribut juga ternyata tak hanya karena perbedaan agama. Banyak pula yang serupa, hanya mau bergaul dengan orang-orang yang dianggap sama untuk kemudian malah membenturkan perbedaan di antara mereka.
Ada, misalnya, yang merasa etnisnya sebagai etnis terhebat di dunia. Maka, dia berusaha mempertahankan kuasa etnisnya dan membantai etnis lain.
Namun, ada pula yang etnisnya sama, ternyata masih meributkan status sosial orang lain. Ketika status sosialnya sama, mereka membenturkan perbedaan ideologi, partai, atau malah tim sepak bola kesayangannya.
Tuhan yang maha segalanya, termasuk Maha Pemurka, kemudian marah. Dia mengutuk kembali manusia menjadi batu. Dunia kemudian tenang setelah itu.
Ilustrasi diambil dari sini.
September 27, 2013
Saya suka kalimat yang terakhir.
October 10, 2013
saya ingin sekali merasakan hidup tanpa manusia,perbedaan dan pertempuran…heheheheh….