Di Belanda, atau setidaknya Amsterdam, agama dan kesenangan bukan hal yang dipisahkan. Mereka berdampingan. Maka, bar-bar yang menyajikan ganja (coffee shop) bisa berdampingan dengan gereja, perempuan berjilbab lalu lalang –atau bahkan melihat-lihat– toko peralatan seks (sex shop), desah rayuan perempuan di Red Light District bersahutan dengan genta gereja..
Coffee shop dan Red Light sepertinya memang jadi merk dagang Amsterdam. Buktinya, aneka souvenir di ibu kota Belanda ini berisi tulisan atau pesan tentang dua hal tersebut. Kaos-kaos tentang ganja dan gemerlap dunia malam tak hanya mudah ditemukan tapi juga mendominasi toko-toko souvenir yang berderet-deret sepanjang jalan.
Toko ? 5 di kawasan Royal Palace dan Monumen Nasional, misalnya. Toko βseperti namanya, toko ini menjual aneka souvenir seharga 5 euro– ini menjual kaos-kaos yang menawarkan ganja atau dunia malam. Salah satunya adalah kaos bergambar kartun wajah Barack Obama, Presiden Amerika Serikat yang mengenalkan slogan Yes, We Can. Di kaos tersebut, slogan ini diplesetkan menjadi Yes Weed Can. Weed adalah bahasa slang dari ganja.
Kaos lainnya adalah plesetan McD. Huruf M, pada logo makanan cepat saji ini dibuat menjadi gambar βsori– kaki perempuan dari depan sehingga membentuk huruf M ini. Seperti halnya kaos bergambar plesetan Obama, kaos ini juga berdampingan dengan aneka gantungan kunci, syal, kartu pos, dan pernik-pernik lain yang menggambarkan Belanda.
Toko souvenir ini sangat mudah ditemukan di Amsterdam. Begitu keluar dari stasiun pusat di sisi utara Amsterdam, yang berdekatan dengan pelabuhan, kami tinggal menyusuri jalan dan menemukan deretan toko yang menjual benda-benda untuk mengenang Belanda ini.
Jalan di Amsterdam sangat memanjakan pejalan kaki. Lebar trotoar sekitar 3 meter tanpa lubang di sana-sini. Bandingkan dengan trotoar di Denpasar atau Jakarta yang penuh galian kabel atau rusak. Sudah trotoarnya lebar dan datar, jalan juga tidak terlalu penuh dengan kendaraan. Kalau toh banyak hanya sepeda hilir mudik.
Dengan jalan yang nyaman ditapaki itu, menikmati Amsterdam sangat menyenangkan bagi kami -aku dan tujuh teman lain dari Indonesia. Apalagi udara sejuk. Suhu berkisar belasan derajat Celcius. Bagiku tak jauh beda dengan Bedugul di Bali.
Sepanjang perjalanan, coffee shop silih berganti kami lewati dengan sex shop, toko souvenir, bar, restoran. Kami juga menyusuri pinggir-pinggir kanal yang airnya agak keruh kekuningan. Toh, meski keruh, kanal-kanal itu tetap menarik bagi banyak turis. Bis air dengan tarif sekitar 25 euro untuk perjalanan keliling kota itu penuh dengan turis. Begitu pula dengan perahu lebih kecil untuk tiga orang yang hilir mudik di kanal.
Kanal ini kami telusuri sejak sekitar 200 meter setelah Central Station Amsterdam. Sepanjang jalan masing-masing dari kami sibuk memotret bangunan-bangunan art deco, gereja gothic, kano di kanal, juga… poster bintang film porno!
Well, kanal sebenarnya juga hal menarik di Belanda selain museum dan bangunan-bangunan gothicnya. Tapi, aku sendiri memang lebih tertarik pada tiga hal yang sudah aku sebut tadi: coffee shop, sex shop, dan red light.
Karena itu dibanding masuk Museum Madame Tussaude kami lebih antusias untuk berkunjung ke Red Light District. Museum Madame Tussaude adalah museum patung lilin para tokoh terkenal di dunia. Harga tiket masuk museum di dekat Monumen Nasional dan Royal Palace ini ? 21 atau sekitar Rp 250 ribu. Terlalu mahal bagi orang kere seperti kami. π
Adapun Red Light District adalah kawasan prostitusi paling terkenal di Amsterdam. Kawasan ini tak jauh dari Central Station juga. Dari stasiun, sebenarnya kami tinggal menyeberang jalan raya lalu belok ke kiri. Paling hanya perlu waktu lima menit. Cuma, kawasan ini jadi tujuan akhir kami hari itu. Makanya kami memutar ke kanan dulu trus ke kawasan Royal Palace baru ke Red Light District.
Ketika berkunjung ke tempat ini, aku baru bisa menduga. Red light sepertinya berasal dari lampu-lampu kecil berwarna merah di depan etalase tempat memajang perempuan penjaja seks tersebut. Kawasan ini jadi semacam labirin dengan gang-gang kecil yang diapit oleh deretan etalase tersebut. Etalase itu sekaligus kamar tempat di mana transaksi seks dilakukan.
Bagian depan etalase itu adalah jendela besar dan pintu. Para penjaja seks berpakaian sangat minim. Hanya bra dan celana dalam. Mereka menggoda setiap orang yang lewat termasuk perempuan berjilbab yang lewat. Kalau ada yang berminat, si pengunjung tinggal masuk. Lalu si penjaja akan menutup korden. Selebihnya urusan mereka. π
Ya. Itu urusan mereka. Sepertinya itulah prinsip di Belanda. Selama tidak melanggar hak orang lain, maka semuanya jadi legal termasuk ganja dan prostitusi. Dan, orang-orang di negara yang lebih dari separuhnya memilih tidak beragama ini bangga dengan itu semua.
Aku menghargai itu semua. Salah satunya dengan membeli kaos dengan tulisan yang aku pakai untuk judul tulisan ini: Let’s Stoned, Drunk, and Horny in Amsterdam. π
April 28, 2010
screenshot dalemannya prostitute dong… π
April 28, 2010
mantabs….ntip oleh2nya donk Mas
April 28, 2010
kok waktu saya ke Belanda kok lain ya?
**sok pernah ke Belanda π
April 28, 2010
screenshot dalemannya prostitute dong… π
April 28, 2010
wah jalan-jalan lagi di Belanda. Memang beda dengan hangatnya senyum pahitnya sirih pinang
April 29, 2010
pantesan para waria di gatsu menggunakan subjek berbahasa belanda “eke eke”. eh, di sono ada prostitusi kelas waria juga ya?
April 29, 2010
Oleh-olehnya!!!
titipin arek AJI malang kuwi pokoke yo. hoho
April 29, 2010
oh.. baru tau gue …
April 29, 2010
Oho, cobain dong masuk yah. terus posting lanjutannya..sapa tau ktemu perempuan dari negeri sendiri
April 30, 2010
Hmm menarik juga ya mas..
di Belanda, semuanya bisa berdampingan
itu fotonya kereennn…
Oh ya mas, saya ikutan BBC
udah daftar, ikutan mailing listnya tapi gak tahu lanjutan caranya bagaimana
Bisa dibantu mas?
May 2, 2010
sayang…dibelanda kok ga nyobain sex ala red light itu…payah lah π
May 5, 2010
weh mantap bli. one day saya akan pergi dan melihat langsung RDL itu seperti apa hahahaha …