Sisi positif pengangguran adalah punya banyak waktu mengurus beasiswa.
Maka, sejak awal tahun, setelah selesai bekerja sebagai staf penuh waktu di VECO Indonesia, aku bisa lebih banyak mengurus lamaran-lamaran beasiswa. Satu bulan lalu saja sudah lima lamaran.
Dari proses-proses sebelumnya aku belajar. Ternyata kalau mau serius, mengurus beasiswa memang perlu waktu khusus. Tidak bisa disambi mengerjakan yang lain-lain apalagi jika masih bekerja tetap.
Begitu dikerjakan secara serius, mengurus lamaran beasiswa ternyata tidak susah-susah amat. Bisa jadi karena aku sudah makin terbiasa plus cuek bebek dengan proses yang pada awalnya terasa ribet.
Secara umum, mengurus lamaran beasiswa ke penyedia beasiswa atau kampus mana pun pada dasarnya sama. Ada tiga hal utama yang harus disiapkan.
Pertama, berkas-berkas akademik, seperti ijazah dan transkip nilai kuliah. Tidak hanya punya salinan, berkas-berkas punyaku malah sudah ada terjemahan dalam bahasa Inggris dan dilegalisir. Tinggal siapkan. Beres.
Kedua, bukti kemampuan diri. Ada yang bisa “sok-sokan dan “dibuat-buat” seperti surat motivasi diri dan atau daftar riwayat hidup. Namun, ada yang tetap tidak bisa dibuat-buat, seperti pengalaman kerja dan kemampuan bahasa Inggris.
Bahasa Inggris itu yang penting. Aku untungnya masih punya hasil tes IELTS tahun lalu. Nilai rata-rata 7 termasuk bagus karena biasanya yang dibutuhkan rata-rata 6,5. Dengan modal IELTS hasil tes Februari 2015 lalu, maka sampai tahun depan aku masih amanlah.
Penyedia beasiswa atau kampus biasanya mensyaratkan hasil tes bahasa Inggris, baik IELTS maupun TOEFL, maksimal dua tahun.
Ketiga, referensi. Ini bagian yang menurutku lumayan ribet karena harus melibatkan orang lain. Dalam kasusku sih sebenarnya relatif gampang karena punya teman-teman dan jaringan yang pernah bekerja denganku.
Ada profesor dan peneliti senior dari kampus di Australia. Ada mantan bos di VECO Indonesia. Ada teman sesama jurnalis. Ada pembina di Sloka Institute. Hampir semua dengan senang hati memberikan referensi ini.
Tidak enaknya karena harus meminta-minta. Apalagi, sebagian proses mengirimkan referensi agak ribet karena harus masuk website mereka. Kalau cuma minta dibuatkan lalu aku yang kirim sih gampang.
Pemberi referensi biasanya aku sesuaikan dengan studi yang aku lamar. Sejauh ini sih ada tiga minat utama yaitu jurnalisme, studi pembangunan, dan lingkungan. Karena memang tiga hal itu memang jadi minat dan fokusku selama ini.
Proses mendaftar lamaran beasiswa berbeda-beda. Ada yang sekalian pas daftar ke kampus. Ada yang melamar beasiswa dulu. Ada pula yang harus mendaftar kampus dulu baru cari beasiswa.
Tiap penyedia beasiswa atau kampus punya cara berbeda-beda. Ada yang cukup lewat online, ada yang tetap harus mengirimkan dokumen fisik meskipun sudah mengirim secara online. Ada yang gratis, ada yang harus bayar.
Poin terakhir itu yang butuh kerelaan dan keikhlasan. Setelah aku hitung-hitung, biaya untuk ngurus beasiswa ini ternyata sudah sampai sekitar Rp 3 juta. Lumayan juga.
Aku sih anggap judi saja. Bagus kalau nanti lolos dan dapat beasiswa. Kalau ternyata tidak diterima, ya lamar lagi saja. Tidak ada pilihan lain selain…. tetap semangkaaaaa!
Leave a Reply