Atas nama apa pun, pembangunan selalu melahirkan korban. Begitu juga pariwisata Bali. Di antara gemerlapnya, ada juga suara-suara rintihan mereka yang kalah.
I Wayan Rebo salah satunya. Atas nama pembangunan lapangan golf dan fasilitasnya, petani di kawasan Bukit Pecatu, Kuta Selatan ini harus terusir dari tanahnya sendiri. Dua kali dia masuk penjara karena dianggap melawan Negara. Dia menolak menjual tanahnya. Maka, Rebo dianggap mengkhianati pariwisata, yang sudah kadung jadi mantra sakti di Bali.
Atas nama pembangunan, Rebo harus tersingkir. Dia terusir. Tanahnya dulu kini berganti lapangan golf milik putra mantan diktator di negeri ini.
Tapi lapangan golf di atas bekas tanahnya itu jelas bukan miliknya. I Wayan Rebo hanya berlalu..
Sebaliknya, lapangan golf itu adalah pemisah antara dia dan masa lalu. Ada tembok yang mengelilingi lapangan golf itu. Sekaligus memisahkan Rebo dengan pura keluarganya.
Dulu, Rebo tinggal persis di depan Pura Beten Kepeh. Di tanah itu dia tinggal bersama keluarga besar. Tapi kini, di rumahnya dulu hanya tinggal puing-puing sanggah.
Kini, dia tinggal sekitar 500 meter dari rumahnya dulu. Dari rumahnya, dia hanya bisa melihat luasnya lapangan itu dari balik tembok.
Kalau mau sembahyang, dia harus melewati tembok itu. Menyusuri hijau lembut lapangan gof yang telah menyingkirkannya.
Tak hanya Rebo. Keluarga besar itu pun tercerai berai. Mereka tinggal terpisah di beberapa desa. Maka, tiap odalan di pura selalu jadi waktu untuk bertemu keluarga besar. Odalan di pura Juni lalu, sekaligus waktu untuk reuni dan berbakti.
Foto diambil antara Maret dan Juni 2008.
July 25, 2008
*speechless*
July 25, 2008
*menarik nafas
July 25, 2008
walahhhhhhhhh lagi2 penindasan atas nama pariwisata, maju kena mundur kena !
July 25, 2008
manusia hadir memang untuk mengakhiri segalanya.termasuk jaman,dirinya dan dunia.perang,kerusakan lingkungan,pemusnahan tradisi dan nilai-nilai hidup.ketika pemerintah mengundang sebanyaknya investor untuk membangun pariwisata di Bali, saat itu pulalah semuanya juga mulai terjadi.
July 25, 2008
care nyebit tali, ngamis ke cenik.
July 25, 2008
miris liatnya…
gimana ya leluhurnya ngliat mrajan atau pura tempatnya ‘singgah’ ke anak cucu jadi kayak gitu…
July 25, 2008
Aduh kasihan ya……. bli, orang bali sekarang jadi penduduk asing/tamu di daerahnya sendiri, huhuhuhuhuhu…………huhuhuhuhu
July 25, 2008
Semoga Tuhan mengampuni dosa dosa mereka.
July 26, 2008
wahhh kira orang bali hampir sama dengan propinsi kaltim yah beli di samarinda 😀
July 26, 2008
menarik nafas…
menahan nafas…
***
menghembuskan nafas… (bukan yang terakhir…)
tersenyumlah… (walau hati ini menangis..)
***
July 26, 2008
Rebo yang ini sama ga ama yang di Jl. Sesetan itu? warung babi guling Rebo 😀
July 26, 2008
di balipun yg terkenal dgn religinya ternyata msh byk penindasan yg sperti itu yah … napsu manusia memang seringkaali tdk terkendali
July 27, 2008
yang kaya makin jaya
yang miskin makin terpinggirkan
tapi lebih baik miskin harta tapi kaya hati daripada sebaliknya…
July 27, 2008
narasi yang bagus. tapi selalu berakhhir menyakitkan
July 27, 2008
Endonesa… Yang punya uang yang berkuasa 🙁
July 27, 2008
Beh, hebat sajan Pak Rebo, contoh kwalitas manusia Bali yang patut dibanggakan dan bilaperlu diberikan award Sloka Institute, karena penoakan atas kehadiran industri pariwisata yang melanggar Hak Rakyat, aku kagum ama orang ini. Untuk Anton thank you atas sharing liputannya.
July 27, 2008
resiko ini sih…siapa suruh jadi orang belog dan tidak punya jaringan penguasa.ya belog, terima saja.tidak ada dalam sejarah orang belog bisa maju.
July 27, 2008
apa uang selalu bisa mengalahkan segalanya?
July 27, 2008
Fyuh, tarik nafas dari sesaknya cerita diatas. Pasti sumpek, penat, marah, sakit pada jaman itu. Perjuangan telah usai, biarlah itu terjadi. Serahkan ke Sang Hyang Widi Wasa. Hasil bibit itu akan menjadi tanaman dan berbuah. Kita lihat saja hasilnya. Semoga pak rebo tabah dan selalu diberikan kekuatan utk tetap positif dan optimis. Amin.
July 29, 2008
@ dipoetraz: *hopeless liat orang speechless. 😀
@ wira: jangan lupa melepasnya. ntar keselek.
@ erick: seharusnya tidak perlu sampai menindas.
@ okanegara: tp tidak harus mengakhiri sesuatu kan, dok. bisa saja dikelola dg lbh bagus. dan kita jg jangan trlalu rakus. *sok arif bijaksana. 😀
@ budarsa: keto be. ;))
@ blad: pas leluhur menengok anak cucu, mereka akan ketemu bola golf. 🙂
@ gussuta: itu yg harus jd introspeksi, bli. semoga kita td trlalu rakus sehingga menjual semua apa yg kita punya.
@ imcw: mereka yg mana, dok?
@ gelandangan: apanya yg sama?
@ nono: *menghembuskan nafas.
@ fenny: dasar muka babi guling. makanan saja yg dipikir. hwahaha..
@ didut: di mana2 selalu ada, mas.
@ via: yoih, jeng.
@ luhde: ya, mmg gitu akhirnya. gmn dong, bu?
@ dimas: sepakaaat..
@ agung alit: tengkiu jg atas sharing pendapatnya. ditunggu sharing pendapatannya.
@ wira: aha, ini dia blame the victim.. kasih pak rebo. sudah kalah masih disalahin. 🙁
@ ekads: sptnye begitu..
@ hendra: amin..
August 2, 2008
commentku hilang nok… heuhuheu
August 6, 2008
Penindasan yg mencari pembenaran dg brkedok Pariwisata, kemaren dulu sempet baca ceritanya…pedih rasanya…ketika ia diintimidasi dan dipaksa menjual tanahnya untuk lap golf…sampai yg mengintimidasi adalah pejabat 2 tinggi dikala itu…sebegitu berkuasakah uang? Apakah ini tujuan pariwisata kita? pariwisata saat ini lebih banyak menguntungkan investor dan masyarakat Bali menanggung dampak lingkungannya…ah….mungkin ia adalah salah satu Wayan Rebo yg terexpose media, dan saya percaya masih banyak wayan rebo lain yg telah merasakan ketidak adilan yg mengatasnamakan pembangunan pariwisata…Salut buat pak wayan rebo…dumogi hyang widhi ngicen kerahajengan…
August 7, 2008
Pariwisata memang memperbudak bali. Liat aja pilgub kemaren. Gubernur terpilih adalah gubernur kesukaan orang asing (wisatawan).
Jadi apa-apa harus sesuai dengan kebutuhan pariwisata dan wisatawan. Kebutuhan orang lokal, ntar dulu deh. Padahal blum tentu pariwisata membuat sejahtera orang lokal.