“Begitu aku masuk dunia ini, aku tau semua orang memang anjing. Dan aku sadar, aku harus menjadi anjing juga,” kata seorang teman lewat telepon kemarin malam. Seperti biasa, teman itu berkata tegas. Teman itu pernah jadi salah satu tokoh penting gerakan jalanan pada 1998. Dia tinggal di Jakarta, di pusat kekuasaan, mungkin juga lambang kemapanan.
Aku tertawa. Antara geli dan miris. Geli dengan perumpamaan teman yang memang suka bercanda itu. Miris karena mikir, kok bisa ya seseorang berubah begitu terbalik? Tapi, mungkin, pada satu waktu, aku juga akan berada pada posisi itu. Mungkin itu hanya soal waktu: berubah pada posisi yang sebelumnya selalu kita anggap sebagai musuh, tidak hanya sebagai lawan.
Sudah lama kami tidak ketemu. Terakhir kali, kalau tidak salah pada November 2006 di Puncak, Bogor. Sebagai mantan aktivis teman itu memang selalu berapi-api kalau ngomong. Dia juga hampir selalu berada di garis depan setiap aksi jalanan.
Lalu, sebuah obrolan santai tentangnya dengan beberapa teman di Bandung April lalu mengagetkanku. Teman itu tidak hanya meninggalkan dunia jurnalisme, mungkin juga dunia aktivisme. Dia kini bekerja bersama mereka yang dulu selalu kami anggap sebagai musuh. Pekerjaan ini yang membuatnya menelponku kemarin malam. Dia memintaku membantu pekerjaannya di Denpasar. Aku dibayar untuk itu, bukan gratis.
“Kami kan bisa memasukkan ide-ide di jalan dengan cara ini,” kurang lebih begitu pembenarannya. Ini alasan yang selalu dipakai orang yang baru masuk dalam lingkaran kekuasaan. Seolah-olah bisa mengubah. Padahal kemudian larut dalam arus. Meminjam bahasa temanku itu, menjadi anjing di tengah anjing juga..
“Tapi, hidup toh tidak hitam putih. Selalu ada ruang antara. Selalu ada abu-abu,” pikirku menjelang tidur. Aku mendebat semua prasangkaku sendiri.
Mungkin, tanpa kusadari, aku juga sedang menuju ke sana. Ke sebuah kemapanan yang melenakan. Lalu, entah sadar entah tidak, juga menjadi bagian dari sebuah sistem yang selalu saja berusaha kami musuhi. Perlawanan hanya menjadi jargon.
Ya, aku tahu PT Lapindo Brantas adalah penyebab kesengsaraan ribuan warga Sidoarjo. Perusahaan milik Aburizal Bakrie itu telah menenggelamkan ribuan rumah akibat lumpur panas yang mereka sebabkan. Namun, aku toh hanya bisa diam ketika membaca tulisan dari kelompok advokasi pertambangan Jatam bahwa BNI adalah salah satu bank yang memberikan modal pada perusahaan perusak lingkungan itu.
Aku tetap menyisihkan Rp 500 ribu tiap bulan ke bank itu atas nama masa depan anakku. Dan, bisa jadi uang itu masuk pada milyaran uang yang dikucurkan BNI pada Lapindo Brantas yang masih saja menyengsarakan warga korban lumpur. Aku turut serta dalam penyengsaraan itu, dengan sadar. Menyedihkan..
Begitu pula ketika aku tahu tentang dosa-dosa PT Unilever versi organisasi lingkungan Greenpeace. Bahwa Unilever turut menyebabkan terjadinya penggundulan pohon-pohon hutan menjadi perkebunan kelapa sawit untuk mendapatkan bahan baku semua benda yang kupakai sehari-hari: Pepsodent, Dove, Lifebuoy, dan seterusnya.
Aku terus saja membelinya meski tahu bahwa produsen produk-produk itu turut serta merusak lingkungan dan menyebabkan kiamat kecil bernama pemanasan global. Aku ikut serta dalam dosa itu.
Ah, ternyata sebenarnya aku juga bagian dari anjing juga. Lalu kenapa harus selalu koar-koar berteriak melawan orang lain? Toh melawan diri sendiri saja aku tak mampu.
Leave a Reply