Seorang teman mengirim email yang isinya berupa tanggapan terhadap tulisanku tentang Bali Post. Ratna Hidayati, teman yang bekerja di Koran Tokoh (masuk Kelompok Media Bali Post), itu pada dasarnya menceritakan bagaimana praktik jual beli berita juga terjadi di banyak media, tidak hanya Bali Post.
Dan, seterusnya silakan baca di bawah. Tulisan yang sekaligus sebagai hak jawab (meskipun blog ini bukan media umum yang terikat pada UU Pokok Pers) ini aku muat apa adanya. Tanpa edit titik koma sekali pun.
Aku mau posting di rumahtulisan malah error. Tolong diposting ya.
Jangan hanya mengkambinghitamkan Bali Post mas. Saya tukang deal iklan, saya tahu betul apa yang terjadi di lapangan. Yuk, mari bertaruh kalau media lain tidak melakukannya.
Anda yakin media lain, bahkan media terbitan Jakarta tidak melakukannya? Hmm…saya nggak yakin. Belum genap seminggu aku nego iklan dengan lembaga di Jakarta. Tahu apa yang ditawarkan sebuah media terbitan Jakarta? Mas, mas mendingan dibuatkan berita saja kalau dananya minim. Saya memilih buatkan iklan display saja untuk mereka. Wong minta iklan display.
Aku juga bertemu rombongan wartawan dari Riau, ada Riau Pos, Riau TV, Tribun …(grup Kompas, lupa namanya) dll. Tahu pertanyaan sebagian dari mereka? Kalau di Riau, pemda tuh kontrak halaman dengan kami. Bagaimana dengan di Bali? Upsss…
Oya, ada juga media lain di Bali, yang minta ke beberapa pemkab: jatahnya harus sama dengan Bali Post. Hihihi..sampai-sampai, ada pemkab yang nggak berani bilang kalau ada kontrak dengan Bali Post karena tuh media maksa bener minta jatah yang sama. Pemasang iklan juga kerap curhat kok. Makanya saya tahu.
Saya di Koran Tokoh. Redaktur merangkap manajer iklan. Saya pikir, mas tahu kebijakan yang diambil Tokoh. Apa semua berita bayar? Apakah itu berita? Salah, itu advertorial. Itu iklan pariwara mas. Jelas-jelas ada kodenya yang memisahkan dengan berita. Tokoh punya garis-garis haluannya bukan? Coba cek, media apa di Bali yang mau nulis tentang HIV/AIDS di halaman 1 selama tiga edisi berturut-turut? Cuma Tokoh. Mas tau, kalau ngomongin bisnis, berita itu “nggak bernilai jual”. Apakah Tokoh minta imbalan dari para aktivis HIV/AIDS? Tokoh menjualnya? Hmmm…tanya Mbak Mercya atau Pak Alit Kelakan sekalian.
Buat Tokoh, sebuah koran akan hidup jika memenuhi tiga prinsip: idealisme, bisnis, profesionalisme. Kami akan menambah halaman tanpa menaikkan harga koran jika iklan kami ternyata melebihi kuota dan itu sering kami lakukan.
Kenapa mas “menggugat” Bali Post aja? Bagaimana dengan yang lain? Bali Post lebih fair dibandingkan yang lain karena mencantumkan kode advertorial. Oya, bagaimana pula dengan tayangan televisi yang kerap kali memasukkan iklan di program mereka? Tonton Metro TV. Ada BNI News Flash. Itu iklan dalam program mas. Itu jurnalisme juga loh. Lihat juga acara tv yang lain: penuh dengan iklan built in program.
Oya, tahu nggak kalau beberapa perusahaan berpikir, saya akan beriklan di media tertentu, bonusnya diberitakan? Itu terjadi, dan saya mengalaminya. Beritanya tanpa kode, tapi jelas dimuat karena pasang iklan.
So, what do you think?
Leave a Reply