Genre Baru itu Bernama Jurnalisme Warga

10 , , Permalink 0

Objektivitas dalam jurnalisme itu omong kosong!

Tidak ada satu pun wartawan atau media yang bisa menulis dengan objektif. Dia pasti telah terpengaruh banyak hal ketika menulis. Dua wartawan bisa saja menulis topik sama persis. Tapi, pemilihan narasumber atau sudut pandang (angle) keduanya akan sangat berbeda.

Pemilihan narasumber oleh keduanya bisa terpengaruh faktor kedekatan dengan narasumber atau seberapa luas jaringan. Sedangkan angle bisa saja terpengaruh wawasan, kemampuan berpikir, pengalaman hidup, dan seterusnya. Perbedaan pilihan ini belum termasuk pada jenis media atau bahkan politik media tempat bekerja.

Jelasnya, objektivitas itu kadang cuma kedok agar seolah-olah wartawan telah bekerja tanpa memihak salah satu dari pihak yang berseteru.

Pesannya, wartawan juga subjektif ketika membuat karya yang disebut sebagai hasil kerja secara profesional.

Maka, tak ada yang salah dengan subjektivitas pewarta warga alias citizen journalist ketika menulis untuk media pengusung jurnalisme warga (citizen journalism). Subjektivitas pewarta warga serupa subjektivitas wartawan media arus utama. Media tempat memuat karya saja yang berbeda.

Masturbasi
Perbedaan lain antara pewarta warga dan jurnalis media arus utama tentu juga motivasinya. Pewarta warga menulis untuk hobi dan masturbasi. Syukur-syukur kalau tulisan bisa jadi alat untuk mendorong perubahan. Kalau jurnalis media arus utama tentu karena dia dibayar oleh media tempat bekerja.

Atas dasar itu pula, maka sampai sekarang aku masih haqqul yaqin bahwa jurnalisme warga bisa masuk sebagai salah satu genre dalam jurnalisme. Alasan paling gampang, mari buka buku suci Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosential, yang sering disebut sebagai acuan utama jurnalisme saat ini.

Melalui serangkaian diskusi dan wawancara dengan sekitar 1.200 wartawan selama tiga tahun, dua begawan jurnalisme itu merumuskan Sembilan Elemen Jurnalisme, yaitu (1) kebenaran, (2) loyalitas pada warga, (3) perlunya verifikasi, (4) independensi, (5) mengawasi kekuasaan dan menyambung lidah, (6) menyediakan forum bagi publik,  (7) memikat dan relevan, (8) proporsional dan komprehensif, dan (9) hati nurani sendiri.

Setelah melihat sembilan elemen tersebut, menurutku, kok hampir semua elemen terpenuhi oleh jurnalisme warga. Semua karya dalam jurnalisme warga mengacu pada kebenaran, hal yang amat debatable. Kebenaran versi siapa? Apa parameternya? Dan seterusnya.

Jurnalisme warga, mengacu pada namanya, tentu saja menempatkan loyalitasnya pada warga pada urutan pertama, bukan kesetiaan pada perusahaan media. Warga membuat karya dalam jurnalisme warga tidaklah karena tunduk pada aturan perusahaan media atau perintah bos di kantor.

Dari sembilan elemen, menurutku, hanya dua elemen yang agak susah bisa dipenuhi pewarta warga, kemampuan verifikasi dan pemberitaan secara proporsional. Karena tidak memiliki kapasitas profesional seperti jurnalis media arus utama, pewarta warga belum tentu mampu melakukan verifikasi ini.

Tapi, ketidakmampuan ini pun ada pembenarannya, bukankah jurnalis media arus utama juga kadang alpa melakukan cek ulang ini? Kalau toh itu terjadi, tak berarti mereka lalu tak layak disebut jurnalis profesional bukan?

Masalahnya cuma satu, jurnalisme warga itu bukan perusahaan media dan tidak berorientasi bisnis sebagaimana diatur Dewan Pers. Maka, bagi banyak orang, karya dalam jurnalisme warga bukanlah karya jurnalistik.

Berpihak
Padahal, jurnalisme warga seharusnya dipertimbangkan sebagai genre atau aliran baru dalam jurnalisme. Karya seorang pewarta warga juga layak disebut karya jurnalistik dengan ciri khas yang melekat padanya. Bukankah ciri khas ini juga ada pada karya jurnalistik lainnya dalam media arus utama.

Contohnya berita olah raga. Sebut saja pertandingan sepak bola antara Manchester United dan AC Milan. Penggunaan bahasa ala perang, misalnya sikat, hajar, atau libas akan dengan mudah ditemukan dalam berita tentang sepak bola. Bahkan di media alim, semacam Kompas sekali pun. Itulah ciri khasnya berita sepak bola.

Wartawan juga akan sangat kelihatan berpihak pada tim mana. Kalau dia penggemar MU dan MU kalah, maka akan sangat mungkin dia menulis, misalnya, MU Tunduk di Kandang Milan. Kenapa harus MU tunduk, bukan AC Milan mengalahkan?

Ciri khas lain juga terlihat pada karya jurnalistik yang mengulas kuliner. Akan terasa lebaynya jurnalis membahas sebuah santapan atau tempat bersantap. Ya, wajar saja. Itulah ciri khas karya jurnalistik tentang kuliner.

Maka, begitu pula dengan karya di media jurnalisme warga. Dia punya ciri khas tersendiri. Ciri khas karya jurnalisme warga itu, misalnya personal, subjektif, belum diverifikasi, dan ciri lainnya.

Selebihnya, silakan konsumen media itu sendiri yang menilainya. Fair bukan?

10 Comments
  • gajah_pesing
    October 2, 2011

    antown, saia bukmak tulisan ini, sangat suka banget, trims

  • Agung Pushandaka
    October 3, 2011

    Kalau obyektif, jadi wasit saja jangan wartawan. 😛

  • imadewira
    October 3, 2011

    kalau begitu, yuk ngeblog lagi 🙂

  • MT (@mataharitimoer)
    October 10, 2011

    yang paling penting ya itu, kita menulis tanpa mengejar target pekerjaan. jadi happy saja, tak ada tekanan dan tak ada pesanan.

  • Dwi Wahyudi
    October 11, 2011

    Mungkin dalam prakteknya bisa diperjelas status jurnalisme warga itu kategori standar informasinya seperti apa. Ngga bisa sembarangan juga kan semua informasi dari warga ditelan mentah2, setidaknya kebenaran informasinya harus dapat diklarifikasi sehingga tingkat keakuratan datanya tetap dapat terjaga. Trims…

  • a!
    October 17, 2011

    terima kasih, om gajah. 🙂

  • a!
    October 17, 2011

    emang wasit bisa objektif, gung? 😀

  • a!
    October 17, 2011

    ayuuuks! terus mana tulisannya buat balebengong om? 😀

  • a!
    October 17, 2011

    ya. sejauh ini sih itu asiknya di jurnalisme warga. menulis tanpa dikejar target pendapatan. jd lebih santai. 🙂

  • a!
    October 17, 2011

    pd akhirnya sih kita serahkan saja pembaca apakah mereka percaya atau tidak pada informasi yg ditulis pewarta warga. itu seperti juga terjadi di media arus utama. kita tak bisa menelannya begitu saja. harus disaring.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *