Cerita Tengkorak dari Bukit Choeung Ek

0 No tags Permalink 0

Suara puja dalam bahasa Khmer mengalun dari pengeras suara sebuah kuil kecil di Choeung Ek, sekitar 15 km barat daya Phnom Penh, ibukota Kamboja. Puja itu iramanya sama dengan azan dari masjid atau kidung dari pura. Ketika mendengar pertama kali, aku bahkan mengira suara orang mengaji. “Tapi apa iya di tempat ini ada masjid?” pikirku.

Dari Tan Surya, sopir taksi sekaligus pemandu perjalanan, aku baru tahu bahwa suara itu adalah puja biksu dari kuil atau pagoda. Hari itu, hari terakhir di Kamboja setelah selesai kursus.

Wat Choeung Ek terletak di sebuah bukit kecil di daerah Dangkar, Provinsi Kandal. Alunan suara puja itu terdengar ketika aku sedang berdiri di depan tumpukan tengkorak di dalam Wat Choeung Ek, pagoda untuk mengenang kekejian rezim Khmer Merah. Kekejian tergambar di pagoda berukuran sekitar 10×10 meter persegi setinggi 25 meter itu. Di dalamnya terdapat ruang berukuran lebih kecil dimana tengkorak-tengkorak disusun 10 tingkat dalam ruang berkaca bening. Di bagian paling bawah terdapat tumpukan pakaian kumal yang dulu dipakai para korban.

Tengkorak di dalam ruang berkaca itu hanya sebagian dari saksi mati di kekejaman tentara Khmer Merah di bukit Choeung Ek yang lebih dikenal dengan nama Killing Field. Di sekitar pagoda dengan menara bertingkat tiga itu, terdapat 86 kuburan dengan total 8985 korban. Beberapa kuburan ditandai bangunan beratap alang-alang tanpa dinding maupun lantai serta tulisan dalam bahasa Khmer dan Inggris mengenai jumlah korban yang dikubur. Sebagian kuburan masih berupa bekas galian ditutupi rumput liar dan pohon kecil di beberapa pojok.

Tulisan di papan kayu di tiap kuburan menunjukkan jumlah korban dan penyiksaan yang mereka dapatkan. Misalnya, di salah satu kuburan 100 anak-anak dan perempuan dikubur tanpa pakaian. Di bagian lain, bayi-bayi dilempar ke udara untuk kemudian diterima dengan bambu runcing lalu dibuang ke tanah galian. Sedangkan di kuburan lain, 166 orang dikubur tanpa kepala dan sebagian dalam keadaan mata tertutup dan tangan terikat ke belakang. Begitulah. Tiap kuburan menggambarkan bagaimana kekejian tentara Khmer Merah ketika mengeksekusi korban.

Di salah satu bagian, aku menemukan tulang belulang di bawah pohon atau di atas cungkup berbentuk bunga lotus. Dua pengemis kecil menengadahkan tangan ketika aku berada di bagian tersebut. Wajah mereka terlihat lusuh dengan baju putih dekil dan salah satunya memakai kaos bergambar personil F4, band beranggotakan cowok-cowok cakep itu. Ketika aku beri mereka uang 500 riel (mata uang Kamboja), tiba-tiba puluhan teman lainnya segera memburu dan mengikuti ke mana aku pergi.

Killing Field adalah tempat terakhir korban kekejian rezim Khmer Merah dipimpin Pol Pot yang memerintah Kamboja pada 1975-1979. Sebelum dieksekusi di bukit kecil itu, para korban terlebih dahulu dipenjara di Toul Sleng, di daerah Tuol Svay Prey bagian selatan Phnom Penh. Aku mengunjungi Toul Sleng terlebih dahulu sebelum ke Killing Field. Saat ini Toul Sleng menjadi museum genocide yang banyak dikunjungi turis asing maupun dalam negeri.

Penjara ini didirikan Khmer Merah pada Mei 1975. Pada masa itu, Khmer Merah mendirikan agen rahasia bernama Tuol Sleng atau S-21 yang secara harfiah berarti tempat menjaga mereka yang bersalah. S-21 khusus dibuat untuk menginterogasi dan membunuh mereka yang anti-Khmer Merah. Awalnya tempat ini adalah sekolah bernama Ponhe Yat yang berdiri sejak 1962 dan pernah berganti nama menjadi Tuol Svay Prey High School sebelum dijadikan penjara oleh Pol Pot.

Aku ke Museum Tuol Sleng pada hari kedua aku di Kamboja. Di pintu gerbang museum, tiga atau empat pengemis berkaki buntung atau bertangan satu menyambut dengan uluran tangan. Pengemis tanpa bagian tubuh yang lengkap ini memang bisa ditemukan di hampir setiap tempat yang aku kunjungi selama di Kamboja mulai dari Royal Palace, Tonle Bassac, Central Market, Russian Market, Museum Nasional, bahkan di dekat Sunway Hotel tempat aku menginap selama di Kamboja.

Masuk areal museum seluas 600 x 400 meter persegi ini, kengerian sangat terasa. Setelah membayar tiket masuk dua dollar, aku disambut bunga kamboja di halaman gedung. Di bawah rindang bunga kematian itu ada delapan kuburan. Bulu kudukku tiba-tiba berdiri semua. Ketika masuk sel demi sel di tiga bangunan yang membentuk huruf U, bekas penyiksaan masih ada di sana. Di gedung A ada 10 sel di lantai pertama yang berukuran sekitar 3×3 meter persegi. Sedangkan lantai kedua dan ketiga terdapat lima sel berukuran lebih besar.

Tiap sel di Museum Tuol Sleng sengaja dibiarkan seperti ketika masih digunakan dengan dinding bercat kuning kusam sewarna dengan ubin kotak-kotak di lantai berdebu. Sarang laba-laba terlihat di tiap pojok ruangan. Cahaya yang masuk ruangan berasal dari dua jendela berjeruji besi di depan dan belakang.

Di tengah sel ada ranjang penyiksaan dilengkapi bantal dan besi untuk mengikat kaki serta tangan tahanan. Di salah satu dinding dipasang foto hitam putih seukuran 20R berbingkai yang memperlihatkan bagaimana tahanan itu diikat di ranjang sambil disetrum listrik atau dicabut puting susunya dengan alat seperti catut. Selama di sel, aku seperti mendengar gema orang mengigau atau mengeluh kesakitan. Muannas, teman perjalananku bahkan tidak berani melihat-lihat ruangan lain. “Aku nggak kuat dengar suara-suara itu,” akunya. Dia kemudian hanya duduk di bawah bunga kamboja dekat kuburan selama aku melihat-lihat bagian lain.

Sel di gedung A ini digunakan menginterogasi dan menyiksa mereka yang tergolong tahanan penting. Sedangkan gedung B digunakan sebagai penjara bagi tahanan biasa seperti petani, guru, anak-anak, buruh, dokter, hingga biksu Budha. Sel di gedung B bentuknya jauh lebih kecil dibanding di gedung A. Ukurannnya hanya sekitar 1×1 m persegi dengan dinding bata. Tiap ruang, yang dulunya kelas, berisi 10 sel yang setiap sel dihuni empat tahanan.

Dari 10 ruang kelas di gedung B, dua ruang pertama digunakan untuk memajang foto-foto para korban. Foto hitam putih berukuran 10R itu dibuat sebagai dokumentasi sebelum tahanan ditempatkan di sel. Selain difoto, tahanan itu juga dibuat biodata masing-masing. Foto hasil jepretan anak buah Pol Pot itulah yang dipajang berderet. Wajah-wajah di foto memperlihatkan perempuan dan anak-anak kecil pun jadi korban. Berdasarkan arsip Khmer Merah yang ditemukan di gedung tersebut, jumlah tahanan di Tuol Sleng sejak 1975-1978 mencapai 10.499, tidak termasuk sekitar 2000 anak.

Kawat berduri di depan gedung B menambah suasana ngeri di museum. Kawat ini dulunya dialiri listrik untuk mencegah larinya para tahanan. Selain di depan gedung B, kawat berduri itu juga dibuat dan masih dibiarkan di sekeliling areal museum.

Para tahanan itu dipenjara selama dua sampai empat bulan, sedangkan tahanan penting antara enam sampai tujuh bulan. Selama itu setiap hari mereka tidur tanpa alas dan selimut, disiksa, dan diinterogasi. Mereka tidak punya pilihan karena ada 10 aturan yang harus ditaati diantaranya harus langsung menjawab setiap pertanyaan tanpa berpikir, tidak boleh menangis ketika dicambuk atau disetrum listrik, dan jika tidak mematuhi aturan mereka akan dicambuk 10 kali atau disetrum lima kali.

Interogasi dan penyiksaan dilakukan di gedung C yang di depan kiri gedung B dan berhadapan dengan gedung A, berjarak sekitar 50 meter. Alat-alat penyiksaan seperti cambuk, catut, penyetrum, serta besi untuk mengikat kaki dan tangan dipamerkan dalam ruang berkaca. Sedangkan ranjang listrik berada di tengah ruangan. Sebagai ilustrasi penyiksaan, ada lukisan-lukisan bagaimana tahanan tidur berderet seperti pindang dengan kaki terikat satu sama lain, anak-anak digantung untuk kemudian kepalanya dimasukkan ke gentong berisi air, atau bayi ditusuk bayonet dan ibunya menjerit.

Lukisan lain memperlihatkan tahanan tanpa baju terlentang di ranjang dengan kaki dan tangan diikat lalu dicambuk, disiram air, dicabut puting susunya, serta disetrum listrik. Ketika di ruang ini, dua turis perempuan berwajah Eropa yang sejak awal bertemu aku hanya melihat sebentar. Keduanya segera keluar ruangan. Salah seorang lalu menengadahkan wajah sedangkan satunya lagi mengeluarkan sapu tangan mengusap-usap hidungnya.

Selain bukti-bukti mati yang bercerita banyak, Museum Tuol Sleng juga memutar film di dokumenter tentang kekejaman Khmer Merah. Film ini diputar di lantai dua gedung C setiap jam 9 pagi dan 3 sore. Aku pilih tidak usah menonton. Cukuplah kuburan massal, tulang belulang, sel tahanan, cambuk, ranjang listrik, dan tengkorak itu yang bercerita..

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *