Ketika kami lagi berbaring sambil baca koran, istriku menceritakan keinginannya untuk bekerja tetap di salah satu media yang akan segera terbit di Bali. Koran punya grup Media Citra Nusantara itu katanya akan terbit Januari nanti. Beberapa temanku di sana. Salah satunya yang kemudian ngobrol sama Lode, istriku, untuk kerja di sana saja.
Hmm, ini masalah yang sudah berkali-kali kami diskusikan. Aku juga kadang-kadang iri melihat teman kerja terikat. Sepertinya enak dengan rutinitas berangkat pagi, kerja sepanjang hari, dan pulang ketika petang. Lalu tiap akhir atau awal bulan kita dapat gaji atas pekerjaan tersebut. Besar kecilnya relatif. Yang jelas kita dapat pendapatan tetap. Dan, inilah yang dicari istriku.
“Aku juga pengen berkarir. Mulai dari nol. Kalau orang lain bisa, masak aku gak bisa.”
Dua hal itu, gaji tetap dan karir, memang selalu jadi alasan seseorang untuk bekerja terikat. Tambahannya sih kadang macem-macem. Bisa jadi karena gengsi sama tetangga atau tidak enak sama mertua. Hehehe.. Tapi kalau dipikir-pikir, dua alasan itu tidak benar-benar amat.
Memang benar kerja lepas tidak akan mendapatkan gaji tetap. Tapi gaji itu pun tidak gede-gede amat. Seingetku, menurut survei yang pernah dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, gaji wartawan di Indonesia tuh rata-rata di bawah standar. Contoh saja di Bali. Gaji wartawan baru paling banyak Rp 1,5 juta per bulan. Wah, ini sudah angka yang besar. Ada yang malah mentok hanya untuk memenuhi standar upah, sekitar Rp 700 ribu per bulan.
Jadi lebih penting mana dapat gaji tetap atau pendapatan lebih besar? Ini sih kalau yang jadi alasan memang duit. Kerja lepas, seperti halnya jadi wartawan freelance, bukan berarti tidak bisa mendapatkan duit lebih gede dibanding kerja tetap. Ya, asal rajin liputan dan nulis serta punya banyak jaringan media, menurutku, soal honor pasti beres.
Lalu soal karir, memang apa sih karir tertinggi di media? Redaktur? Pemred? Berapa orang sih yang bisa mencapai posisi ini? Bukan karena ketidakmampuan si wartawan tapi juga karena posisi ini memang sedikit. Tidak mungkin ada pemred dua orang. Atau katakanlah sudah jadi pemred, memangnya akan berapa lama? Kecuali kita yang punya media sendiri, pasti akan susah untuk bisa jadi pemred semaunya kita. Contoh yang pernah sih Goenawan Mohamad di Tempo dan Dahlan Iskan di Jawa Pos. Di Bali, ah sudahlah, tidak usah diteruskan. Hehehe..
Jadi kalau alasannya memang gaji tetap dan karir, menurutku jadi wartawan terikat bukan hal yang terlalu menarik. Hanya ada satu alasan yang membuatku paling iri dengan teman-teman yang bekerja tetap di media: kebebasan untuk menulis. Ya karena mereka bisa menulis banyak hal di medianya. Relatif lebih mudahlah untuk menulis tentang isu tertentu di media dibanding wartawan lepas. Kalau wartawan lepas kan kadang-kadang sudah capek liputan, nulis berita, lalu kirim ke media, eh, tidak dimuat. Ketik C Spasi O jadinya: capek bo..
Di luar itu semua, ada satu hal yang paling tidak mungkin bisa dinilai dengan gaji berapa pun dan karir setinggi apa pun: kebebasan.
Dari sudut pandang kebebasan, kerja tetap itu tidak enak. Kita terikat oleh waktu, aturan, dan tetek bengek lain. Pukul 8 masuk untuk proyeksi, habis itu keluar liputan ke banyak tempat, balik ke kantor nulis berita, malam evaluasi. Kadang harus nunggu redaktur dan editor mengedit berita. Belum lagi harus siap kapan pun kalau ada peristiwa gawat. Hari libur pun jadi sangat mahal.
Makanya, Bunda. Tidak usahlah bekerja tetap. Mari kita nikmati saja kebebasan yang kita miliki saat ini. Toh, meski tidak sampai bisa beli mobil, apa yang kita dapat saat ini lebih dari cukup. Kita bisa lebih sering main sama Bani, keluar sama Bani, makan sama Bani, ngenet bareng Bani. Bunda, marilah kita bangga dengan apa yang kita punya: meski kere asal bebas.
Oya, selamat hari ibu. Mmmuah!
Leave a Reply