Pagi ini kami sudah siap berangkat ke Bedugul. Sloka Institute mengadakan pelatihan tentang parlemen untuk kader muda partai politik di Bali mulai hari ini sampai Rabu depan. Aku tidak masuk panitia, hanya pembantu umum untuk program pendidikan parlemen bekerja sama dengan Indonesian Parlemantary Centre (IPC) dan Uni Eropa tersebut. Aku dan Bani kebagian ke sana belakangan karena harus menunggu fasilitator yang baru datang dari Jakarta.
Sejak dari rumah aku sudah tidak tega mengajak Bani. Dari dua hari lalu dia agak batuk dan demam. Maunya biar dia istirahat saja. Tapi kemarin dia malah hampir seharian ikut pelatihan internet di Yakkum dengan teman-teman Bali Blogger Community (BBC) karena tidak mau ditinggal di rumah.
Dia terlihat lemas. Salah satu sebabnya sangat mungkin karena kemarin dia tak makan seharian. Tiap kali disuapin nasi, dia segera mengeluarkannya lagi. Lalu pagi ini dia terlihat jelas tak bertenaga.
Tapi aku sedikit memaksannya. Kami pun berangkat ke kantor Sloka dengan mobil kecil kami untuk menunggu dua fasilitator dari Jakarta itu datang. Setelah merayunya dengan nasi bungkus dan ayam goreng, Bani akhirnya mau makan. Dia terlihat lahap menyantap menu cepat saji itu.
Namun ketika ayam goreng itu pun belum habis, Bani sudah mengeluarkan semua isi perutnya. Dia muntah lagi. Maka, aku segera putuskan: batal ke Bedugul. Biarlah orang lain yang mengantar dua narasumber tersebut. Prioritasku sekarang adalah mengurus Bani, bukan bekerja.
Benar saja. Setelah sampai di rumah dan istirahat, Bani kembali pulih. Kondisinya jauh lebih segar dari tadi pagi. Maka, aku bisa kembali ngeblog sekalian perbarui tulisan tentang dia. Sepertinya lama juga aku tidak menulis tentangnya.
September lalu dia merayakan ulang tahun yang ketiga. Kami merayakannya di Lamongan karena kebetulan pas mudik Lebaran. Perayaan ulang tahun ala kampung itu diisi dengan bancaan, makan bersama dalam satu wadah ala Lamongan. Pesertanya anak-anak sepantaran Bani.
Di umurnya pada tahun ketiga, Bani tumbuh seperti yang kami inginkan. Malah kadang-kadang aku merasa dia melampaui harapan kami. Salah satunya adalah kebiasaan dia main komputer. Asli. Meski tiap hari kami berkutat dengan laptop, kami tak pernah mengajari Bani dengan intens tentang cara menggunakan peralatan ini. Paling hanya sekilas.
Nyatanya dia terhitung mahir menggunakan komputer. Apalagi setelah di rumah ada laptop kecil hadiah untuk Bale Bengong yang kini dia anggap sebagai hak miliknya, padahak cuma hak pakai. Dia sudah bisa menghidupkan, memainkan permainan, menggambar, mematikan, bahkan merawat sendiri laptop itu.
Dalam beberapa hal, aku malah belajar dari “kesalahan” yang dia lakukan. Misalnya mengetik short cut di Word atau menggunakan operasi Windows.
Sejak minggu ini, laptop kecil itu berganti Operation System dari Windows ke Ubuntu. Aku sudah mikir dia akan susah juga pakai. Ternyata tidak. Dia asik aja otak-atik laptopnya untuk main beberapa game yang diisi Pak De Yanuar dan Om Bowo itu. Dia hanya akan bertanya kalau sudah mencoba dan mentok.
Yap. Bertanya juga jadi salah satu kebiasaannya. Tiap kali ada kata-kata yang dia baru kenali atau coba dia pahami, dia akan menanyakannya. Siang ini, misalnya, dia main kapal-kapalan di rumah. Terus aku tanya, “Mana layarnya?”
“Layar itu apa, Ayah?” dia bertanya balik.
“Layar itu yang ada di perahu itu. Kayak gambar perahu yang di dinding itu,” jawabku sambil menunjuk ke gambar perahu layar di dinding rumah. Di dinding itu ada gambar perahu layar.
“Dinding itu apa, Ayah?” dia kembali bertanya.
“Dinding itu ini. Itu,” jawabku sambil menunjuk dinding rumah. Dia tak bertanya lagi.
Tapi diam tak berarti mengerti. Beberapa hal baru tetap dia belum pahami meski aku sudah menjelaskannya berkali-kali. Salah satunya dia belum bisa membedakan “besok” dan “nanti”. Contohnya begini. Aku suruh dia untuk tidur dulu, maka dia akan menjawab, “Besok aja.” Meski maksudnya adalah “Nanti saja.”
Kalau sudah begitu, maka aku akan meralat omongannya. “Itu berarti nanti saja, bukan besok”. Nah dia akan menyambung koreksi itu dengan pertanyaan yang sama: “Besok itu apa, Yah?”
Jawabanku selalu mirip-mirip. “Besok itu kalau Bani bobok malam terus bangun. Itu dah besok.” Dia akan mengangguk seolah-olah mengerti. Tapi tetap saja ketika ngobrol dia akan menukar besok dengan nanti. Lalu aku mengoreksinya.
Dan, pertanyaan yang sama akan kembali muncul darinya. “Besok itu apa, Yah?”
Hmm, sepertinya aku perlu bahasa yang lebih mudah dia pahami. Tapi apa?
*Foto diambil album perayaan dua tahun BBC di Facebook-nya Om Cahyo.
November 29, 2009
jadi kepingin…
kapan ya aku diberikan juga titipan anak untuk aku rawat.. hehehe..
*padahal nikah aja belum*
November 29, 2009
…usia yang memerlukan banyak bimbingan dari orang2 disekitarnya… jangan sampe kita memberikan pengertian dan tauladan yang salah, karena itulah yang bakalan ia ingat kelak…
November 29, 2009
memang susah memberikan jawaban yang bisa cukup dimengerti anak seusia Bani mas…belum lagi kalau dia bertanya…”Perut Ibu kok kembung pa?” “Kok adik ada di perut Ibu?”
semakin bingung lah ortu berpikir…
November 30, 2009
Mesti selalu perhatian, jika ditinggal sebentar saja malah was-was..
November 30, 2009
hi ban..
kalahkan ayahmu dalam belajar linux.
😀
November 30, 2009
***semakin nggak sabar menunggu 3 bulan lagi 🙂
November 30, 2009
Haha lucu juga Bani dan Ayahnya.
Tapi banyak tanya gitu ciri-ciri anak pinter kelak loh mas.
Pernah ga Bani tanya : “kapan Bani punya Adik Yah?” Nah lo.
November 30, 2009
Mitha blum bisa tanya2 untuk ngerti “bahasaku”. skrg aku yg harus ngerti “bahasanya”. bahasa bibir, bahasa mimik, bahasa tubuh, termasuk bahasa nangisnya.
November 30, 2009
ooohhh….*kagum*
setuju dgn pak de yanuar!!hohoho…
December 2, 2009
Ubuntu? Wah, aku malah ndak tau.. 😛
December 11, 2009
pak de yanuar, aku mau dong u-buntunya yah…
ntar aku bawain soto karangasem ke rumah.