“Waah, angka yang keluar pasti sapi nih,” kata satu ibu tetanggaku Jumat lalu. Celetukan itu keluar ketika kami mengerubungi sapi yang masuk sumur di gang kami. Kami tertawa mendengarnya.
Celetukan itu mengingatkanku lagi soal ideku untuk menulis soal banyaknya judi di Bali. Soale ini memang agak mengusik pikiran. Setahuku, judi di Bali memang buanyak sekali. Inilah jenis-jenis judi yang aku tau di Bali.
Togel adalah bentuk paling umum. Beberapa bulan terakhir sebagian ibu-ibu di gangku mulai ikut pasang togel. Gara-gara, yang aku dengar dari bergosip ria, Bu Dewi menang ratusan ribu beberapa waktu lalu. Makanya, sekarang pada ngiler untuk pasang taruhan.
Bukan hanya ibu-ibu. Bapak depan rumahku persis juga sepertinya sudah kecanduan dengan togel ini. Aku sering prihatin melihat kondisinya. Pekerjaan tukang parkir. Tembok rumah belum diplester. Lantai rumah masih tanah. Listrik dan air masih ambil dari rumah adiknya. Tapi hampir tiap bapak itu hari melihat kertas putih bertulis angka-angka itu. Asumsiku sih ya pasang togel.
Togel, bisa jadi memang bentuk judi paling populer dan besar. Seorang teman yang akrab dengan preman, togel, narkoba dan para bandar pernah bilang kalau perang preman di Denpasar juga sering karena rebutan lahan togel. Buktinya pas salah satu dedengkotnya ditangkap, buanyak juga peralatan togel di rumahnya.
Tetanggaku salah satu korban togel.
Kalau bapaknya pasang togel, maka anak lebih muda –sepertinya sih ponakan- justru rajin sekali memanjakan ayam. Bukan karena sayang binatang. Tapi sebaliknya, diadu buat tajen.
Tajen adalah bentuk judi yang lain di Bali, meski tak seriuh togel. Tajen ini memang selalu jadi kotroversi. Boleh atau tidak. Ada yang bilang itu budaya, atau malah bagian dari sebuah ritual. Biasanya disebut tabuh rah. Ada yang bilang itu hanya judi yang dikemas seolah-olah budaya. Campur aduk. Maka, pas kampanye Pilgub beberapa bulan lalu, isu ini jadi bahan politik juga.
Adu ayam ini tidak digelar tiap hari. Biasanya pas abis hari raya atau upcara di pura tertentu. Pas abis Galungan dan Kuningan kemarin misalnya tetanggaku itu semangat sekali bawa ayamnya untuk main tajen.
Judinya dilakukan dengan taruhan ayam mana yang menang. Kalau ayamnya yang didukungnya menang, pemasang taruhan itu dapat uang. Nilainya dari ratusan ribu sampai milyaran.
Contoh paling tragis sekitar seminggu lalu. Ada pembunuhan dan perampokan pada pemilik showroom. Pelaku itu dendam sampai membunuh dan merampok bosnya. Dari sekitar Rp 7 juta uang yang dirampok, sekitar Rp 5 juta dipake metajen. Banyak lagi cerita tragis orang menguras harta untuk tajen.
Oya, tajen ini susah dihentikan karena seringkali menggunakan ritual sebagai kedok. Padahal aku lihat sendiri beberapa bulan lalu pas ikut odalan di Pura di Desa Pecatu. Begitu upacara mau selesai, para bebotoh langsung datang bersama ayamnya masing-masing.
Judi lain yang sering dilakukan saat upacara adalah bola adil. Kalau ini parahnya karena anak-anak pun bisa ikut. Kalau ada upacara besar di pura tertentu, atau bisa juga pasar malam, maka para pemain bola adil ini ikut hadir. Dan, anak-anak dengan bebas ikut memasang taruhan.
Nilainya sih kecil, hanya ribuan. Tapi kan itu dari kecil sudah belajar judi, gimana kalau besar nanti..
Judi di Bali, kadang memang hanya jadi permainan mengisi waktu luang. Bukan untuk taruhan. Atau katakanlah taruhan, maka niatnya lebih untuk cari kesenangan, bukan kekayaan. Salah satunya adalah ceki.
Ceki adalah judi dengan permainan kartu. Kalau sudah Nyepi, Galungan, Kuningan, atau bahkan pada upcara kematian maka permainan ini dijamin banyak peminatnya. Sekali lagi, hanya untuk fun.
Tapi, toh itu tetap dihitung sebagai judi. Mertauku sendiri pernah ditangkap polisi, bahkan sampai ditahan, hanya karena main ceki. “Padahal untuk iseng-iseng saja,” kata Pak Ngah, mertuaku.
Leave a Reply