Ada Udang di Balik Jancuk!

8 No tags Permalink

Tulisan ini dibuat ketika aku sedang menunggu proses komputer di tempatku kerja part time. Entah kenapa komputer ini tiba-tiba agak lambat ketika lagi buka imel dan blogging. Jadi, daripada bengong mikir jorok, aku bikin aja tulisan ini. Kali ini soal..

–eh, sik. Aku teken Alt+Tab dulu untuk lihat apakah prosesnya sudah kelar… Kutu kupret tenyata semua masih pada muter-muter belum selesai proses.-.

Balik lagi. Sampai mana tadi? Oya, kali ini soal bahasa saja. Soalnya masih hangat. Sehangat isu global warming mungkin.

Salah satu anggota milis BaliBlogger minta diunsubscribe (aduh baca dan nulisnya ribet banget sih?) Pokoke dia minta dikeluarkan dari milislah. Gara-garanya bapak kita itu merasa bahasa-bahasa yang digunakan di milis itu bukan bahasa dia. Maksudnya sih dia tidak nyaman dengan bahasa yang digunakan.

Emailnya begini,

“Pak moderator, mau unsubscribe gimana caranya ya?? Maaf ini bukan tempat saya dengan bahasa yang seperti ini. Sekali lagi maaf. Dan mohon segera sebelum lebih banyak postingan lagi.”

Aku tidak tahu persis bahasa mana yang dia maksud. Tapi di bawah imelnya dia itu ada bahasa-bahasa seperti “Nahjong, homok, rambut nyangkut di gigi, dst.

Oke, oke. Lengkapnya ini imel yang ada di bawah imelnya dia.

“Cuma cowok “pechun” bilang2x “Najong” sebagai
umpatan… hahaha Bahasamu nggak Nglobal Warming..”

Ada juga yang begini

“Itu masih ada bulunya nyangkut di gigimu!”

Dan ini

”Jrit! najong! dasar cowok *gLolok warming* kamu”

Tulisan-tulisan itu muncul dari sebuah posting yang sebenarnya agak serius: “Apa yang anda ketahui tentang global warming?”. Kesimpulannya global warming memang bahkan sudah membuat panas situasi sebuah milis. Hehehe.

Kata-kata kayak gitu juga tumben saja muncul. Biasanya tidak ada yang sampai segitunya meski milisnya penuh kata-kata singkat dan candaan. Makanya aneh juga kalau ada anggota milis (baru beberapa hari masuk) yang langsung minta keluar. Tapi tetep saja itu jadi bahan pikiran.

Lalu tadi pagi aku mikir-mikir setelah ada kasus mundurnya anggota milis gara-gara bahasa tersebut.

Pertama-tama aku mikir dari sudut pandangku. Pada awalnya aku sebel juga baca-baca imel yang isinya cuma sak iprit. Susah-susah buka inbox masa isinya tak lebih dari dua tiga kata. Ora sumbut. Tapi akhirnya aku biasa saja. Kalau ada bahasa aneh-aneh cukup arahkan kursor ke tombol delete di sebelah reply. Sederhana saja. Bagiku, bahasa-bahasa singkat dan aneh itu tak lebih dari sebuah candaan dan keakraban. Jadi ya no problemo..

Tapi no problemo bagiku, dan bagi sebagian orang, ternyata problemo bagi orang lain. Maka aku mikir hal kedua. Bahasa verbal itu ternyata menyimpan bahasa non-verbal. Ehm, ini sok filsufnya keluar.

Entah siapa aku lupa. Kalau tidak salah sih de Saussure (bener gak ya nulis nama orang ini?) pernah bilang bahwa pesan yang disampaikan seseorang tidak selalu hanya menyampaikan pesan yang kita tangkap. Dia sekaligus mempengaruhi.

Contohnya begini. Ketika kita lihat iklan pemutih kulit, maka kita tidak hanya melihat bahwa pemutih kulit merk A itu disebut-sebut bisa memutihkan kulit. Tanpa kita sadari dia juga sekaligus ngajari kita bahwa kulit putih itu lebih bagus dibanding kulit coklat atau hitam. Ini pesan non-verbal yang kita tangkap dan mungkin tidak kita sadari. Ada konteks di balik teks. Bahasa Pak Ustadz ada Asbabun Nuzul alias sebab musabab sebuah pernyataan. Ada -ah, sudah balik saja ke soal milis-.

Oke lalu balik soal bahasa di milis itu tadi. Artinya basa yang akrab dan becanda itu ternyata bisa jadi masalah bagi orang lain. Ini juga terjadi di hidup sehari-hari.

Kalau orang Singaraja berseru, “Cicing Cai!” maka itu sesuatu yang biasa. Bukan kasar. Kata Gede Suardana temenku yang wartawan detik.com dan orang Singaraja, itu justru tanda kita akrab dengan orang yang kita ajak ngobrol. Wibisono Sastrodiwiryo, teman di blogosphere yang asli Singaraja nulis kata “cicing” juga di facebook-nya Nana Nias, teman lain di blogosphere juga. Bagi Gede dan Wibi, Cicing yang berarti anjing itu untuk mengakrabkan diri. Ci itu mirip kowe dalam basa Jawa. Bagi orang Bali lainnya yang bukan orang Singaraja, Ci atau Cai itu mungkin termasuk kasar.

Eits, -sik, kepotong. Harus ngedit tulisan lagi. Ntar dilanjut-

-Yuk, lanjut lagi. *Lihat di atas sebentar untuk cek sampai mana*.-

Tai, eh, tapi jangan coba katakan Cicing pada orang Bangli atau Gianyar, misalnya. Dua daerah ini suka pakai bahasa halus. Ngomong Ci berarti sangat kasar.

Gaya bahasa, menurutku, juga menunjukkan tingkat feodalisme. –Gawaaaaat!- Ini contoh di Jawa saja biar enak. Orang Jawa Mataraman, merujuk pada daerah kidul kayak Solo, Yogya, Madiun, dan sekitarnya, terkenal masih kuat adatnya. Buktinya keraton masih sangat dihormati. Menyebut kawan bicara harus nyebut nJenengan atau ya minimal Sampean.

Tapi tidak bagi Jawa Timuran, terutama Suroboyoan. Bagi orang Surabaya, sebutan “Cuk!” mirip dengan sebutan “Cai” bagi orang Singaraja. Sama-sama akrab. Maka aku biasa saja manggil Hari Puspita, teman yang sekarang jadi redaktur Radar Bali, dengan sebutan itu, “Cuk!”. Meski lahir dan besar di Jepara, si Pipit ini biasa pake bahasa Suroboyoan. Dia kuliah di Malang dan sekarang tinggal di Bali. Di Denpasar sendiri bahasa Jawa yang digunakan lebih cenderiung Jawa Timuran. Jadi “Cuk” pada temanku itu memang sebutan untuk tanda mengakrabkan diri.

Sudah ngalor ngidul kemu mai. Intinya ya bahasa itu tidak melulu berarti seperti apa yang dimaksudkan. Ada makna di baliknya. Dan, gawatnya, makna ini kemudian tergantung pada siapa yang menerjemahkan. Makanya banyak salah paham juga yang berawal dari sini.

*Tulisan selesai dengan kesimpulan arif bijaksana. Lalu aku tekan Alt+Tab lagi untuk cek apakah proses komputerku ntuk buka blog sudah selesai. Ternyata belum. Maka, dalam hati aku bilang, “Juancuk!” pada komputerku.*

Silakan kalau Anda marah. Salah sendiri baca tulisan ini. Lha wong aku nulis untuk diriku sendiri kok.*

8 Comments
  • lodegen
    November 21, 2007

    ah, pak anton tolong saya di-unsubscribe dari blog anda ini karena judulnya bikin saya mabok. Apaan tuh, udah enak dapet ngetik blog gratis di kantor.

    betewe, tulisannya kepanjangan. Saya sebagai pembaca blog anda jadi pusing. boleh dong saya punya hak jawab sebagai pembaca blog anda. kalau gak mau diprotes, jangan pajang blognya dimana-mana.

    mmuahh…

    bune bani

  • baliazura
    November 21, 2007

    untung saya udah terbiasa dengan kata “cuk” :mrgreen:

    r

  • asn
    November 21, 2007

    Maaf, saya ga biasa baca blog dengan bahasa yang seperti ini. tolong hapus comment saya ini. *lhoooo?

    wakakakaka..

  • Yanuar
    November 21, 2007

    Udangnya mana neh.???
    dari tadi jancuk dan cuk aja.

    kalau begitu, tolong saya di unsubcribe dari komen ini. 🙂

    *unsubcribe*

  • golda
    November 21, 2007

    lho mas anton, aku ini suka menulis one liner.. makanya aku jarang nulis di baliblogger, ketimbang ditimpuk :p

  • wira
    November 22, 2007

    4 tahun di surabaya, cukup untuk menterjemahkan kata “jancuk kon”

    hehehehe

  • antonemus
    November 22, 2007

    @ bunda cayang: protesnya nanti di rumah saja ya. ga enak diliat orang lain. hehehe. mmmuah juga.

    @ azura: untunglah kalo gitu, cuk!

    @ asn: ah, males. hapus gen pedidi. 😀

    @ yanuar: dasar rabun dekat. itu udang di judulnya. piye toh?

    @ golda: ditimpuk dental, eh, bantal kan enak aja. mana oleh2 dr serbia?

    @ wira: oalah. suwe juga, cuk..

  • uyabi Miyabi
    January 28, 2008

    jancuk, kedawan tulisanmu cuk!!!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *