Tak Ada Kabar Setelah Rempong saat Liburan

1 , Permalink 0

Hampir dua minggu berlalu, tak ada juga kabar berita.

Mahasiswa itu tidak memberikan informasi sama sekali bagaimana hasil akhir lomba yang aku nilai. Bahkan sekadar ucapan terima kasih pun tidak. Sedih..

Rasanya kok ngenes. Masak sih mahasiswa sekarang tidak tahu bagaimana cara menghargai, atau ya setidaknya cara berkomunikasilah. Biar orang merasa berguna terhadap apa yang dia lakukan.

Sebulan sebelumnya mahasiswa tersebut berkirim pesan ringkas (SMS). Dia meminta kesediaanku untuk menjadi juri lomba esai tentang HIV dan AIDS yang diadakan komunitasnya. Peserta dari kalangan pelajar dan mahasiswa.

Aku mengiyakan dengan senang hati. Selalu senang mendapatkan ajakan-ajakan semacam ini dari mahasiswa.

Bagiku, mendukung kegiatan mahasiswa apakah menjadi juri, pemateri, atau hanya sekadar diskusi selalu menyenangkan. Semacam mengenang masa lalu.

Ketika masih menjadi mahasiswa, aku dan teman-teman juga sering melakukan hal serupa kepada orang lain. Menodong mereka menjadi juri atau pembicara diskusi.

Kalau ada duitnya, tentu dibayar meski tak seberapa. Kalau tidak ada, balasan ke mereka hanya ucapan terima kasih.

Karena itu, imbalan berupa uang atau honor tidak pernah menjadi alasan untuk menerima atau menolak permintaan dari mahasiswa bagiku. Aku merasa itu hanya balas budi atau karma — dalam konotasi netral, bukan negatif — atas apa yang dulu pernah aku lakukan.

Jika dulu aku sering meminta, sekarang saatnya membagi.

Maka, tiap kali ada mahasiswa yang meminta aku menjadi juri, pembicara, atau pemateri acara mereka, aku selalu antusias menerimanya selama memang bisa. Begitu pula dengan ajakan mahasiswa untuk menjadi juri lomba esai populer kali ini.

Cuma, kali ini sedikit berbeda.

Secara teknis, lombanya agak kudet alias kurang update. Lha masak lomba esai zaman now kok karya peserta masih dikirim dalam bentuk cetakan fisik di atas kertas (hard copy)? Jadilah aku harus menilai karya-karya peserta dalam bentuk tulisan di atas kertas.

Masalahnya, waktu penilaian tersebut justru saat kami sedang liburan!

Teknis penilaian ini memang baru aku tahu saat hari H. Kalau tahu lebih awal soal penjurian, mungkin beda ceritanya. Jika saja karya-karya itu dalam bentuk soft copy, berkas di komputer, tentu proses menjuri ini akan lebih baik. Aku bisa mengerjakan saat di bandara sambil menunggu, selama penerbangan, atau di mana saja saat ada waktu untuk membuka laptop.

Namun, atas nama komitmen dan kesediaan yang sudah aku sampaikan, aku nilai saja karya-karya itu meski agak merepotkan. Tidak enak jika kemudian aku membatalkan kesediaan justru di saat terakhir penilaian.

Jadilah lembar-lembar karya peserta itu sampai kami bawa ke Malaysia. Padahal selama di sana kami berpindah-pindah dari Melaka ke Kuala Lumpur. Aku pun harus cari-cari dan curi-curi waktu untuk menilai. Pagi-pagi saat kami ada waktu, aku harus memeriksa karya-karya itu.

Bahasa gaulnya, remponglah pokoknya. Hehehe…

Walhasil, penjurian pun selesai meski aku kerjakan sambil liburan. Aku kirim hasil itu dalam bentuk daftar penilaian tepat waktu sesuai permintaan panitia.

Kemudian hening…

Dua minggu berlalu, aku tidak mendapat kabar apapun dari mahasiswa itu. Tidak ada kabar bagaimana hasil penilaian lomba secara keseluruhan: siapa saja jurinya, karya mana saja yang juara, dan semacamnya.

Padahal, menurutku, timbal balik semacam itu amat penting. Rasanya sangat manusiawi. Setelah membantu seseorang, wajar rasaya mendapat timbal balik berupa respon dalam bentuk apapun, termasuk hanya sekadar ucapan terima kasih.

Kok gak ikhlas banget sih? Lha aku masih manusia, bukan malaikat je… Jadi ya manusiawi dong kalau aku masih mengharapkan ucapan terima kasih setelah direpotkan orang.

Namun, setelah aku pikir-pikir, buruknya komunikasi mahasiswa itu memang makin jadi gejala umum. Tidak semua mahasiswa. Masih ada kok sebagian kecil mahasiswa yang bisa memperlakukan orang lain dengan baik tetapi lebih banyak yang makin tidak.

Satu kali aku pernah mendapat email dari mahasiswa yang meminta aku jadi pemateri pelatihan jurnalistik. Emailnya cuma berisi kerangka acuan. Tanpa isi email. Tanpa pengantar.

Ajaib.

Di lain kesempatan, ketika aku jadi pemateri sebuah pelatihan, aku dikacangin panitia pas baru sampai tempat acara. Tidak ada sambutan, misalnya dengan menyalami dan ngajak ngobrol ketika baru sampai. Aneh banget.

Priyayi banget sih? BUKAAAAAAN!

Ini sekali lagi soal etika. Kalau kamu mengundang seseorang untuk datang atau menjadi pembicara semacam itu, sudah menjadi kewajiban pengundang untuk bisa memperlakukan orang yang diundang dengan baik. Ini kan etika dasar banget yang memang tidak diajarkan di kelas. Ini sesuatu yang dipelajari ketika kita belajar menjadi manusia yang lebih baik dengan kegiatan-kegiatan ekstra kampus.

Kegiatan-kegiatan semacam lomba esai atau pelatihan jurnalistik mahasiswa itu kan memang proses belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik. Bagaimana kita bisa melaksanakan kegiatan dengan baik, termasuk memanusiakan orang lain.

Mungkin itu yang makin hilang di kalangan mahasiswa. Memprihatinkan..

1 Comment
  • Intan Rastini
    March 14, 2018

    Dikasi tau aja,pak ke yang bersangkutan sebagai masukan yang membangun, Supaya mereka bisa belajar dari pengalaman secara langsung. Kalau nggak dikasi tau, mending kalau menyadari, tapi kalau malah diteruskan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *