Kawasan Gubeng, Surabaya benar-benar memanjakan pejalan kaki.
Jalan raya rata-rata satu arah. Trotoar lebar, sekitar 3 meter. Nyaman. Tidak ada sama sekali pedagang kaki lima yang menguasai. Sepeda motor juga tak bisa sembarangan menggunakannya.
Maka, menulislah untuk berbagi. Agar ceritamu abadi.
Surabaya itu kota yang menyeramkan.
Begitulah citra yang terpatri di kepalaku sejak kecil terhadap kota ini. Dalam pikiranku, Surabaya itu kota dengan banyak kasus kriminal. Tak hanya seperti yang aku baca di koran-koran sejak kecil tapi juga cerita-cerita dari kakak ataupun tetanggaku sendiri di kampung halaman, Lamongan.
Tetep. Tiap ke satu tempat, makanan enak selalu jadi barang buruan. Begitu pula ketika di Surabaya Rabu lalu. Ada dua tempat makan yang aku kunjungi dan layak direkomendasikan. Satu, Rawon Setan Bu Sup di jalan Embong Malang. Dua, Nasi Bebek Bungkul Cak Sunari di sekitar Taman Bungkul. Dari dua lokasi itu, aku pilih Rawon Setan yang paling layak ditulis.
Ketika Sinyo, teman dari East Java Action (EJA) yang jadi tuan rumah, menawarkan makan malam bareng di rawon setan, kami langsung mengiyakan. Nama warungnya sih unik. Semoga rasanya juga demikian.
Sejak kecil, bayanganku tentang Surabaya tuh cenderung sesuatu yang negatif. Mungkin karena beberapa cerita dari kakak dan tetanggaku. Mereka bercerita bagaimana ditodong pisau ketika di tengah angkutan kota. Malah, kakakku sendiri mengalami bagaimana harus melompat dari taksi karena dia ditodong orang. Ada pula teman bercerita kalau dia pernah diacungi celurit saat naik kendaraan umum.
Maka, Surabaya jadi kota yang sarat kekerasan di mataku. Itu pula alasan aku tak terlalu ingin menikmati kota ini lebih detail. Padahal jarak antara Surabaya dan Lamongan, tempatku lahir dan besar, juga tak terlalu jauh. Tiap kali lewat, aku benar-benar hanya lewat. Hampir tak pernah berniat singgah untuk tahu lebih banyak.
Baiklah. Mari kita mulai lagi menulis semua cerita. Meski bawaan liburan masih saja terasa, jadi ada alasan untuk males nulis, menulis toh tetep harus dilakukan. Kalau tidak, semuanya akan menguap begitu saja.
Sebagai awalan, aku nulis soal mudik pas Lebaran kemarin saja. Pertama soal perjalanan saja dulu. Besok-besok lanjut soal kampung halaman, potensi ekonomi, petani garam, dan tradisi Kupatan.