Mahalnya tarif pembuatan kartu identitas penduduk pendatang di Denpasar menuai protes. Petugas pun arogan.
Sekitar 500 massa berunjuk rasa di depan Kantor Walikota Denpasar Senin lalu. Kelompok yang bernama Komite Perjuangan Rakyat Kecil (KPRK) itu menuntut agar biaya pembuatan Kartu Identitas Penduduk Pendatang (KIPP) di Denpasar diturunkan. Sebab, biaya pembuatan kartu identitas untuk warga yang tinggal di Denpasar namun tidak berasal dari Denpasar itu terlalu tinggi. Mereka harus membayar Rp 200 ribu tiap membuat KIPP yang berlaku selama tiga bulan. Setelah itu, mereka harus membuat lagi dengan biaya yang sama. “Kami sangat berkeberatan dengan itu,” kata Yusuf Umar, Koordinator KPRK.
Massa yang terdiri dari mahasiswa, buruh, pedagang kaki lima, tani, tukang sablon, dan rakyat kelas bawah lainnya itu mengawali aksi dari Kampus Universitas Udayana (Unud) Denpasar. Dari kampus Unud mereka menuju kantor Walikota yang berjarak sekitar 2 km.
Dengan penjagaan puluhan aparat dari Poltabes Denpasar dan beberapa kelompok berpakaian seragam hitam-hitam bertuliskan Forum Peduli Denpasar, massa menuntut agar Pemkot Denpasar merevisi peraturan tersebut. Setelah itu, sepuluh perwakilan KPRK berdialog dengan Sekda Denpasar Made Westra, Wakil Wali Kota Denpasar I Ketut Robin, Ketua Komisi A DPRD Kota Denpasar I Wayan Pande Sudirta, Sekretaris Komisi B I Wayan Wiranatha, dan Ketua Forkom Kades/Lurah Denpasar Nyoman Sudira. Dalam pertemuan tersebut Ketut Robin mengatakan bahwa besarnya tarif pembuatan KIPP bukanlah wewenangnya tapi wewenang Paruman Desa Pekraman se-Denpasar. “Namun kami akan mengevaluasi pelaksanaan tersebut,” kata Robin.
Masalah KIPP memang jadi persoalan bagi warga pendatang di Denpasar. Pendatang ini bisa dari luar Bali seperti Jawa, Lombok, atau yang lain. Sedangkan dari Bali sendiri bisa dari Buleleng, Jembrana, bahkan Badung. Pokoknya bukan warga Kota Denpasar.
Melalui SK No 593 tahun 2000 tahun 2002, Walikota Denpasar AA Puspayoga memutuskan bahwa pendatang yang tinggal di Denpasar harus memiliki KIPP. SK ini disusul kemudian dengan SK No 585 tahun 2002 tentang besarnya tarif pembuatan KIPP. Untuk membuat KIPP ini, penduduk pendatang dikenakan tarif sesuai asal daerahnya. Kalau dari luar Denpasar dalam Propinsi Bali tarifnya Rp 50.000. Sedangkan dari luar Bali dikenakan Rp 100.000.
Persoalannya, biaya yang sama juga dikenakan dari desa adat atau yang lebih dikenal dengan desa Pekraman. Hal ini berdasarkan Keputuasn Manggala Parum Bendesa Desa Pekraman Denpasar bernomor 05/PBDA/XI/2002 sejak 18 November lalu. Jadi dalam pembuatan KIPP ini penduduk pendatang harus membayar dobel. Satu untuk desa adat, satu untuk desa dinas. Jadinya Rp 200 ribu untuk yang dari luar Bali, Rp 100 ribu yang dari Bali. Itu pun harus ada biaya tambahan Rp 6000 untuk materai.
Penduduk pendatang tentu saja mengeluhkan hal tersebut. I Made Artawan, asal Desa Yeh Embang, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jenbrana, misalnya merasa tidak berkeberatan dengan adanya penertiban itu. “Tapi kalau biayanya sebesar itu ya sama saja dengan mengusir kami secara halus,” kata bapak dua anak tersebut. Artawan sudah sejak 1997 tinggal di banjar Badak Sari, Kelurahan Sumerta Kaja, Denpasar Timur. Sejak pertama kali datang di Denpasar dia sudah melapor ke kelian adat setempat. Dia diharuskan membuat Karti Identitas Penduduk Musiman (Kipem) yang tarifnya hanya Rp 6000. Namun semenjak adanya peraturan baru yang berlaku sejak November lalu itu, wiraswasta kios ini harus membayar Rp 400 ribu karena dia tinggal bersama istri dan dua anaknya.
Tentu saja bagi penduduk pendatang luar Bali, hal ini akan terasa lebih berat. Sugeng, warga yang tinggal sekitar Tukad Badung menuturkan bahwa dia harus membayar Rp 200 ribu tiap tiga bulan. Padahal dalam sebulan, penghasilannya paling banyak hanya Rp 500 ribu. “Apalagi ditambah naiknya harga kebutuhan sehari-hari,” kata tukang sablon di daerah Pemogan, Denpasar itu.
Hal ini bertambah ribet dengan adanya perlakukan tidak simpatik dari petugas di lapangan. Berdasarkan SK Walikota, desa adat menjadi pelaksana teknis operasi penertiban penduduk pendatang ini. Adapun yang terlibat antara lain adalah bendesa adat (setingkat lurah), kelian adat (setingkat RT), kepala lurah, hansip, pecalang, prajuru desa adat, babinsa, dan bimas. Itu aturannya.
Dalam pelaksaannya seringkali hanya kelian adat, pecalang, dan hansip. Nah, perlakuaan mereka ini sering tidak simpatik. Menurut Artawan, sudah tiga kali dia kena operasi penertiban dan pelaksanaannya selalu dilakukan ketika dia sudah tidur. “Masak operasi dilakukan di atas jam 10 malam. Bahkan kadang-kadang tengah malam,” keluh Artawan. Sudah begitu, lanjut bekas sopir travel ini, ketika datang petugas ini langsung menggedor pintu. “Memangya mereka tidak punya tata krama apa?” tanyanya.
Sugeng, juga beberapa warga pendatang lainnya pun mengeluhkan sikap aparat yang seringkali dalam kondisi mabuk. Juga ketika melakukan operasi, para petugas selalu mengungkit asal usul daerah mereka. “Mereka mengatakan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan operasi itu sendiri,” kata Sugeng.
Namun sikap semacam ini memang hanya oknum. Tidak semua petugas seperti itu. “Kami melakukan operasi paling malam ya sampai jam sepuluh,” kata I Nyoman Sanggra, kelian adat Banjar Antap Kelurahan Panjer, Denpasar Selatan. Mengnai tarif yang mahal, Sanggra pun tidak bisa berbuat banyak. “Hati kecil saya juga tidak bisa menerima tarif pembuatan yang terlalu mahal itu, apalagi ditengah kondisi barang-barang yang sedang naik,” kata pegawai Kodam IX Udayana itu. Toh itu sudah keputusan Paruman Bendesa Pekraman se-Denpasar. Tarif tersebut menurutnya dibagi menjadi 20% untuk desa Pekraman, 20% banjar bersangkutan, dan 60% untuk biaya operasional seperti fotokopi blangko dan semacamnya.
Karena itu, Sanggra menambahkan, dia sangat selektif ketika melakukan operasi. Sebagai contoh dia tidak memberlakukan tarif yang sama pada Pegawai Negeri Sipil (PNS), pegawai BUMN, mahasiswa, anggota TNI, dan polisi. Kepada mereka hanya diperkenankan pembuatan biaya Surat Tanda Lapor Diri (STLD) besarnya Rp 6000. “Silakan dicek di lapangan kalau ada biaya macam-macam lagi,” ujar Sanggra.
Kepala Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan I Nyoman Aryana berkomentar singkat perihal mahalnya biaya pembuatan KIPP. “Ya itu kan sudah kesepakatan bersama,” katanya. Maksudnya bahwa tarif itu adalah keputusan bersama antara Forum Komunikasi Kepala Desa/Lurah Denpasar dan Paruman Bendesa Desa Pekraman Denpasar. “Kami hanya bertugas mengawasi pelaksanaan di lapangan. Kalau terjadi penyimpangan ya akan kami tindak,” kata Aryana.
Lalu bagaimana dengan petugas yang bertindak berlebihan? Kalau terlalu malam, kata Aryana itu hanya di beberapa tempat, tidak keseluruhan. Hal itu pun terjadi ketika diadakan operasi pada sore hari, para penduduk itu masih bekerja. “Lagian ini kan bagian dari proses yang sedang berjalan,” elaknya.