Cek kali cek, ternyata pemilihan presiden mendatang tidak jauh berbeda dengan Akademi Fantasi Indosiar (AFI) yang heboh itu. Selain peran politisasi tubuh, iklan untuk memperbagus kesan (image) pun turut mendongkrak popularitas calon presiden.
Tidak usah mikir yang gawat-gawat soal pemilihan presiden 5 Juli mendatang. Seperti juga tidak usah ikut menangis ketika Cindy, akademia imut-imut dari Jakarta itu dieliminasi di AFI. Sebab pilpres dan AFI memang mirip. Ada beberapa kemiripan antara keduanya. Pertama, ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak lolos sebagai capres dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) karena alasan tidak sehat jasmani dan rohani. Seperti halnya AFI, jangan harap orang bertubuh tidak normal (kata orang Inggris sih different ability, -diffable) bisa lolos pencalonan pilpres. Politisasi tubuh itu tidak hanya pada kasus Gus Dur tapi juga pada pekerjaan sehari-hari di sekitar kita.
Alasan yang disampaikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah karena Gus Dur tidak memenuhi persyaratan kemampuan jasmani dan rohani untuk melaksanakan kewajiban sebagai presiden. Adapun dasar hukum yang digunakan KPU adalah Undang-undang (UU) No 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Berdasarkan UU No 23 Tahun 2003 tersebut, setidaknya ada 20 syarat yang harus dipenuhi pasangan calon presiden (capres) dan wakil presiden (wapres). Beberapa syarat yang bisa dikaji lebih kritis adalah (a) Bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, (b) Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden, dan (c) Tidak pernah melakukan perbuatan tercela, yakni tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama maupun norma kesusilaan dan norma adat. Syarat-syarat lainnya seperti warga negara Indonesia sejak lahir, tidak pernah mengkhianati negara, bertempat tinggal di wilayah Indonesia, berpendidikan minimal SLTA, atau tidak pernah dijatuhi pidana penjara relatif mudah dibuktikan secara legal formal. Misalnya dengan akta kelahiran, kartu tanda penduduk (KTP), Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB), atau ijazah.
Lalu bagaimana dengan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela? Sampai saat ini belum pernah terdengar informasi bahwa seluruh pasangan capres dan wapres yang disahkan KPU melalui Surat Keputusan KPU Nomor 36 Tahun 2004 tersebut terbukti bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Kalau konsisten bahwa setiap pasangan capres dan cawapres harus memenuhi persyaratan, seharusnya KPU meminta surat bukti ini misalnya surat keterangan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau pihak terkait. Kenapa hal ini penting? Karena kenyataan yang terjadi pada Gus Dur adalah terhambatnya calon dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut karena masalah fisik. Dasar yang digunakan pada Gus Dur adalah hasil pemeriksaan dari IDI. Ada bukti formal atas setiap persyaratan yang harus diajukan oleh setiap pasangan capres dan cawapres. Tapi kenapa tidak ada pada syarat ketaqwaan dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela tersebut?
Dari fakta tersebut terlihat bagaimana diskriminasi antara tubuh dan jiwa terjadi pada kasus Gus Dur. Buktinya, Gus Dur tidak lolos karena dianggap tidak sehat secara fisik (tubuh) sedangkan capres lainnya tidak pernah diperiksa ketaqwaannya (jiwa). Padahal keduanya merupakan syarat bagi capres. Ada standar ganda yang dilakukan KPU pada persoalan ini.
Politisasi tubuh itu pun berlangsung pada pekerjaan-pekerjaan tertentu, katakanlah tentara dan peragawati sebagai contoh sederhana. Untuk menjadi tentara, diperlukan orang yang berukuran tinggi minimal sekian meter dengan bentuk gigi tertentu dan seterusnya. Demikian halnya dengan peragawati (model) yang secara tidak tertulis telah mengharuskan orang untuk memiliki tubuh tinggi dan langsing.
Untuk itu, diperlukan adanya disiplin tubuh tertentu agar seseorang bisa dinyatakan layak untuk mengerjakan pekerjaan tersebut. Disiplin diperlukan diawasi sedemikian rupa agar menimbulkan nilai guna secara ekonomi dan menambah kepatuhan secara politik. Contohnya, kita bisa melihat praktik disiplin tubuh ini diberlakukan pada para akademia yang mengikuti AFI yang ditayangkan Indosiar hampir tiap sore. Para akademia itu harus benar-benar disiplin agar tidak tereliminasi seperti halnya Gus Dur.
Kemiripan kedua adalah peran politisasi kesan (image). Lihatlah misalnya iklan tiap capres. Susilo Bambang Yudhoyono dan Wiranto dianggap bisa mewujudkan keamanan dan stabilitas yang (seolah-olah) dulu terjadi pada masa Soeharto. Nyatanya, ketika Wiranto menjadi Panglima ABRI justru terjadi kerusuhan Mei 1998 maupun pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur pasca jajak pendapat 1999. Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik dan Kemanan ketika terjadi ledakan bom Bali dua tahun lalu disusul bom Makassar, bom Marriot, maupun berbagai konflik horisontal di Indonesia.
Megawati yang diidentikkan sebagai pembela wong cilik justru mengurangi alokasi dana subsidi maupun pembangunan untuk kesejahteraan rakyat ketika menjadi presiden. Pemerintahan Megawati mengurangi subsidi BBM dan listrik. Rakyat kecil yang diklaim dibela pun menjerit akibat harga-harga kebutuhan pokok yang semakin tidak terjangkau. Demikian halnya dengan Amien Rais yang mengklaim bisa menghapus korupsi namun anggota DPRD dari partai yang dipimpinnya, Partai Amanat Nasional (PAN) justru terbukti melakukan korupsi, misalnya di DPRD Sumatra Barat. Hamzah Haz terbukti tidak bisa membuat perekonomian membaik selama menjadi wakil presiden selain juga persoalan jumlah istri yang tidak jelas. Kenyataan pada tiap capres berbeda dengan brand image maupun keunggulan yang disebarluaskan melalui iklan. Iklan bisa dimanipulasi demi kepentingan capres dan cawapres. Seperti halnya kualitas suara Kia yang lebih bagus namun harus kalah oleh Veri yang cerita hidupnya lebih dramatis.
Maka, kita harus lebih kritis melihat latar belakang tiap pasangan. Misalnya bagaimana mungkin orang berlatar belakang militer menjanjikan demokratisasi, atau penjual aset negara berjanji membela wong cilik, atau tidak bisa mengurus anggota partai tidak becus namun berjanji mengurus negara. Tidak usah ikut menangis karena salah satu akademia dieliminasi. Juga tidak usah memaksakan diri untuk memilih jika diantara sekian capres itu tidak ada yang sesuai pilihan.
Leave a Reply