-huh, sibuk ngurusi persiapan pameran hingga hari H dan pasca. sampe lupa terus utk posting. jd ya posting press release ajalah. sptnya belum telat-
Enam fotografer memamerkan foto kehidupan Odha. Menggambarkan optimisme. Sekaligus membongkar mitos bahwa HIV/AIDS adalah akhir segalanya.
Sabtu (20/1) menjelang tengah malam, seorang wartawan bertanya di sela-sela persiapan pameran foto ini, “Kenapa pameran ini tidak memperlihatkan orang-orang kena AIDS yang kurus dan tinggal tulang?” Kami terhenyak. Pertanyaan ini makin membuktikan bahwa masih banyak kesalahpahaman dan mitos tentang HIV/AIDS. Karena itulah kami berharap bahwa pameran foto ini bisa menjawab kesalahpahaman dan mitos itu.
Membicarakan masalah HIV/AIDS, masih banyak orang menghubungkannya dengan sesuatu yang tragis: ketidakberdayaan, atau malah kematian. Ketika tahu seseorang telah HIV positif, seolah-olah kematian sudah begitu dekat. Seperti sudah tidak ada harapan.
Kesalahpahaman dan mitos masih terus terjadi selain persoalan klise pada orang dengan HIV/AIDS (Odha) yaitu stigma dan diskriminasi. Misalnya anggapan bahwa Odha adalah orang-orang berperilaku menyimpang. Sedangkan diskriminasi terjadi dengan belum diterimanya Odha di lingkungan keluarga atau dipersulit dalam pelayanan medis.
Anggapan bahwa HIV/AIDS adalah akhir dari segalanya jelas salah. Positif HIV tidaklah berarti sudah demikian dekat dengan kematian. Masih panjang harapan. HIV di dalam tubuh bisa ditekan laju perkembangannya dengan terapi antiretroviral (ARV), obat penghambat virus HIV dalam tubuh. Mereka yang positif HIV pun belum tentu masuk fase AIDS jika masih bisa menjaga kondisi tubuh.
Paling penting: optimisme bahwa HIV/AIDS bukan akhir kehidupan. Atau malah awal dari perjuangan. Untuk membantu orang lain agar tak terpapar HIV atau mendekatkan pelayanan medis bagi Odha. Perjuangan inilah yang juga dilakukan semua model foto di pameran ini.
Karena itulah Pameran Foto Perjuangan Odha ini dilakukan.
Enam figur dalam foto-foto ini adalah mereka yang tak menyerah pada HIV/AIDS. Sebaliknya, mereka menjadikan kenyataan ini sebagai pelajaran, momentum pengabdian pada orang lain, sebagai modal perjuangan. Kami tertarik memperlihatkan pada orang lain perjuangan mereka sekaligus mengabadikannya.
Bukankah sebuah foto memang bisa jadi monumen keabadian peristiwa, atau dalam konteks ini perjuangan Odha?
Kami kemudian memilih menjadikan Pekan Renungan AIDS Nusantara (PRAN) tahun ini sebagai momentum untuk menyajikan potret dan perjuangan mereka. Kebetulan tema MRAN tahun ini klop dengan perjuangan mereka, Lighting The Path to Brighter Future atau Menyinari Jalan Menuju Masa Depan yang Cerah. Perjuangan figur-figur dalam pameran ini seperti nyala obor yang terus membuat cerah harapan.
Ide mengabarkan perjuangan Odha ini disambut antusias teman-teman fotografer. Di tengah pekerjaan sehari-hari, enam fotografer profesional dengan suka rela terlibat dalam pameran kemanusiaan ini. Keterlibatan itu semata untuk dukungan pada Odha sekaligus menyampaikan pada orang bagaimana perjuangan Odha.
Enam fotografer: Ardiles Rante, Robbie Baria, Iskandar, Lukman Bintoro, Made Nagi, dan Miftahuddin ini memiliki latar belakang pengalaman yang sangat memadai. Hampir semuanya berlatar belakang fotografer jurnalis, yang sangat mendukung tema foto yang cenderung jadi semi-esai. Selain kapabilitas itu tadi, hal paling utama jelas karena ada empati, ada dukungan melalui gambar-gambar yang dibuat mereka.
Adapun pemilihan model yaitu Bu Jero, Bu Renti, Ike, Dhayan, Tuti, dan Eri, dengan alasan latar belakang yang beragam. Riwayat penularan ada yang dari jarum suntik, perilaku seksual, atau dari suami. Bu Jero dan Bu Renti adalah ibu rumah tangga yang tak pernah melakukan perilaku beresiko. Mereka tertular dari suami. Karena itu, masihkah kita akan ngotot bahwa HIV/AIDS hanya terjadi pada orang berperilaku beresiko tinggi?
Sudah banyak bukti bahwa HIV/AIDS makin menyebar pada kelompok masyarakat yang tak pernah berhubungan seks dengan berganti-ganti pasangan atau menyalahgunakan heroin dengan jarum suntik tak steril. Marilah ubah pandangan sempit soal HIV/AIDS itu tadi.
Selain riwayat penularan itu tadi, latar belakang lain adalah pekerjaan [ibu rumah tangga, aktivis LSM, dan tukang sampah], gender [perempuan, laki-laki, dan waria], juga kesediaan untuk diikuti fotografer dalam kegiatan sehari-hari, dipotret, lalu kegiatan mereka dipamerkan saat ini. Kesediaan ini jadi faktor utama. Sebab kami menghormati hak pribadi mereka untuk tidak dipublikasikan, termasuk melalui potret-potret ini.
Sebanyak 30 foto terdiri dari 24 frame 12R dan enam frame 20R dipamerkan di Museum Bali mulai Minggu (21/5) hingga Sabtu (27/5). Potret-potret inilah bentuk perjuangan untuk bersama-sama mewujudkan harapan. Agar orang awam tak melulu melihat Odha dengan kaca mata sempit. Agar orang tak lagi melihat HIV/AIDS hanya persoalan kelompok beresiko tinggi. Agar tak ada lagi Odha dibedakan dalam pelayanan medis dengan orang lain.
Harapan itu harus terus kita jaga, kita tebar, dan kita wujudkan bersama… [***]
Leave a Reply