
Akhirnya, panel surya kami pun terpasang dengan cantiknya.
Ada tiga lembar panel berukuran masing-masing 50 Wp. Kami pasang tiap lembar panel itu pada satu sisi atap bale bengong: barat, utara, dan timur. Ukurannya terlihat pas sekali dengan atap yang lebarnya tak lebih dari 1,5 meter.
Dari atap bale khas Bali untuk duduk santai dan ngobrol itu, ketiga panel menghasilkan energi listrik rata-rata 600 watt per hari. Energi itu diperoleh dari jumlah panel dikalikan rata-rata panas matahari yang mereka serap dalam sehari.
Energi itu kami simpan dalam batere 12 volt 100 ampere. Kami mengalirkannya dengan mengubah jenis arusnya, dari DC ke AC menggunakan inverter yang biasa dipakai juga di mobil.
Untuk mengetahui jumlah energi dari matahari yang kami simpan dan gunakan, ada alat pengendali (controller) yang terus menerus menunjukkan angka-angkanya.
Di titik akhir, energi listrik dari matahari itu kami gunakan pada semua perangkat kerja. Lima laptop pun kini tak lagi menggunakan energi listrik yang bersumber dari fosil dan tergantung pasokan dari perusahaan setrum milik negara.
Meskipun daya yang dihasilkannya relatif kecil, tetapi penggunaan panel surya itu, bagi kami, menjadi wujud mimpi yang terus tertunda. Sejak dua tahun lalu kami merencanakan, tetapi banyak alasan untuk tidak segera menjalankannya.
Alasan utama, harganya mahal.
Hitung-hitungannya waktu itu kurang lebih begini. Saat ini kami menggunakan listrik dari PLN sebesar 1.300 watt. Untuk menghasilkan energi listrik yang sama, kami memerlukan sekitar 6-8 panel surya, dua baterai, dan instalasi. Hitungan kami dengan Gung Kayon, arsitek kantor kami yang juga praktisi energi bersih dan terbarukan, kami perlu setidaknya Rp 30an juta.
Bagi kami, Rp 30an juta itu lumayan. Sebagai kantor media independen dan alternatif yang tidak menjalankan bisnis, angka itu cukup besar. Sama dengan kira-kira kebutuhan operasional enam bulan kantor yang punya tiga staf dengan gaji di bawah upah minimum regional ini.

Berat Nyicil
Ada beberapa skenario pembiayaan pemasangan. Misalnya menggunakan uang pribadi atau kredit dari koperasi. Namun, tetap saja itu memberatkan. Saya pribadi paling malas kalau punya utang. Enak pas utangnya, memberatkan pada saat nyicilnya.
Lalu, kami coba hitung-hitungan ala investasi. Rp 30 juta itu bisa untuk menggantikan berapa tahun biaya pembayaran listrik, sih? Kami cek ricek, ternyata itu sama dengan pengeluaran biaya listrik selama.. 75 tahun!!!
WHAT?! Kok bisa selama itu?
Kurang lebih begini. Saat ini kami menggunakan listrik dengan sistem pulsa. Tiap kali isi pulsa, kami membeli paket Rp 100.000. Menariknya, Rp 100.000 itu bisa kami gunakan selama 2-3 bulan. Artinya, kebutuhan biaya listrik kami tiap bulan rata-rata Rp 33.000.
Hematnya biaya listrik itu karena kami sudah sedari awal memang merancang kantor kami sebagai kantor ramah lingkungan. Atau, ya, setidaknya hemat energi.
Konsep besar bernama sustainable office, green building, dan kata ganti nan muluk-muluk lain itu kami ejawantahkan dalam bentuk sederhana: kantor terbuka, sirkulasi udara bebas mengalir, dan penggunaan dinding kaca, jika terpaksa pakai dinding.
Hasilnya, kami tak perlu banyak menggunakan listrik. Pada siang hari kami hampir tak pernah memakai lampu karena cahaya bisa masuk ruangan dengan melimpah. Kami juga tak perlu pendingin ruangan (AC) karena udara mengalir bebas. Tidak ada kulkas. Tidak ada televisi. Tidak ada penggunaan energi listri berlebihan.
Karena itulah biaya bulanan listrik pun hemat.

Murah Meriah
Setelah hitung-hitungan itu kami kemudian sadar. Ternyata mewujudkan energi bersih dan terbarukan itu sangat murah. Kami tidak perlu memasang panel surya berkapasitas besar sesuai keinginan. Kami hanya perlu memanfaatkan panas matahari menjadi energi listrik sesuai kebutuhan.
Jika penggunaan listrik kami sehari-hari sudah begitu hemat, maka tak perlu lagi kami memasang panel surya besar-besar. Cukuplah tiga panel surya dengan peralatannya. Rincian biaya, tiga panel surya Rp 1.500.000, baterai 12 volt 100 ampere VRA Gel Rp 2.500.000, dan controller 20 ampere Rp 350.000.
Total biayanya Rp 4.350.000. Murah meriah!
Kami pun kemudian memasang panel surya. Memanfaatkan atap kecil di atas bale yang juga ikon media kami, BaleBengong. Panel surya itu kemudian menghasilkan listrik yang lebih dari cukup untuk kebutuhan kerja kami sehari-hari.
Selebihnya, semakin percaya diri bahwa menggunakan energi bersih terbarukan amatlah gampang. Kita hanya perlu melakukan beberapa hal.
Pertama, merancang bangunan hemat energi. Jika kita memang sedang merencanakan membangun rumah, kantor, kafe, atau bangunan apapun itu, kita perlu menyiapkan agar kebutuhan energi bisa terpenuhi dari lingkungannya.
Contohnya listrik untuk lampu penerangan. Jika kita bisa membuat dinding dan atap lebih terbuka sehingga cahaya matahari bisa masuk dengan melimpah, kenapa harus ditutup dengan tembok atau genteng? Jika, toh terpaksa pakai dinding, kita bisa saja memakai kaca agar cahaya matahari tetap bisa menerangi ruangan.
Contoh lainnya, aturlah agar sirkulasi udara di dalam bangunan bisa berjalan dengan baik. Keluar masuk dengan bebas sehingga mengurangi gerah atau panasnya ruangan. Buat jendela atau ventilasi besar, misalnya, sehingga tidak perlu tambahan pendingin ruangan. Sebab, pendingin ruangan ini salah satu pemakan energi listrik terbesar saat ini.
Kedua, mengaudit kebutuhan energi. Belajar dari pengalaman sendiri, ternyata sangat penting untuk memikirkan berapa besar energi yang kita butuhkan, bukan berapa banyak yang kita inginkan. Ingatlah, pada dasarnya manusia itu serakah. Kemaruk. Memiliki satu, akan ingin dua. Sudah memiliki sepuluh juta, akan ingin dua kali lipatnya.
Begitu pula dengan keinginan kita menggunakan energi, dengan embel-embel bersih dan terbarukan sekalipun. Meskipun sudah menggunakan energi bersih terbarukan, tetapi jika penggunaannya berlebihan dan boros, ya, akan jadi masalah juga. Maka, gunakanlah energi seperlunya.
Menentukan jumlah kebutuhan daya adalah langkah pentingnya.
Ketiga, pasanglah sesuai kebutuhan dan kemampuan. Jika sudah ketemu kebutuhannya, maka manfaatkanlah energi bersih terbarukan sesuai kebutuhan dan kemampuan. Kalau hanya perlu untuk mengisi daya perangkat kerja semacam komputer jinjing (laptop) yang rata-rata konsumsi listriknya hanya 70 watt, ya, tidak perlu juga memasang panel surya yang sampai 3.000 watt, misalnya.
Dengan lebih sedikit biaya pemasangan, maka beban akan terasa lebih ringan.
Juga, sesuaikan dengan kemampuan pendanaan. Jika mampunya hanya satu panel, tak apa. Pasang saja dulu. Kami juga awalnya begitu. Satu panel akan lebih baik daripada tidak sama sekali. Setidaknya dia akan jadi pengingat bahwa kita sudah berniat.
Tak usah memaksakan diri memasang panel surya banyak hanya demi gengsi. Energi bersih terbarukan itu konsep mengendalikan diri, bukan untuk gagah-gagahan atas nama penyelamatan lingkungan.

Memperluas Perubahan
Meskipun demikian, perubahan individu di skala mikro juga tetap ditopang dengan pondasi kebijakan pada tingkat lebih luas. Negara yang berperan di sini agar perubahan perilaku itu bisa terjadi lebih masif.
Pertama-tama, melakukan desentralisasi pembangkit listrik tenaga surya. Selama ini, logika pemerintah adalah dia sebagai pemegang kendali pasokan. Maka, yang terjadi kemudian adalah mereka membuat proyek-proyek skala besar dengan harapan bisa memasok listrik ke rumah-rumah warga menggunakan energi bersih terbarukan.
Namun, Bali sudah pernah menjadi lokasi kegagalan proyek mercusuar pembangunan pembangkit listrik tenaga surya ataupun angin ini. Sebagai jurnalis, saya melihat sendiri proyek-proyek mangkrak itu di Nusa Penida, Klungkung dan Kubu, Karangasem.
Di Nusa Penida, baling-baling yang diharapkan memanen angin, kini teronggok berkarat. Di Kubu, meski sudah terlihat ada pembersihan dua bulan lalu, tetap saja sempat lebih dari lima tahun tak terurus.
Sudah waktunya pemerintah berbesar hati dengan melakukan desentralisasi pembangkit listrik tenaga surya ini. Tak lagi terpusat, tetapi tersebar pada tiap warga atau komunitas. Dengan begitu, tak perlu banyak ruang dan uang diperlukan.
Untuk itu, hal kedua yang diperlukan adalah memperbanyak contoh dan aksi. Tak usah besar. Tak usah ambisius dan prestisius. Cukup di skala rumah tangga atau komunitas. Satu atap rumah sudah lebih dari cukup untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga.
Cerita-cerita keberhasilan di tingkat individu dan komunitas perlu disebarluaskan agar makin banyak orang tahu dan kemudian melihat sendiri. Apalagi, meskipun sudah jadi wacana sekitar sepuluh tahun terakhir, belum banyak warga memahami tentang isu ini, apalagi pelik melik pembiayaan dan pemasangannya.
Survei Institute for Essential Services Reform (IESR) pada warga Denpasar, Badung, dan Gianyar (2021) menguatkan fakta itu. Masih banyak warga belum tahu tentang PLTS Atap sebagai pilihan mudah dan murah memanen sinar matahari menjadi sumber listrik.
Di tingkat warga, masih ada 38,4 persen warga belum pernah mendengar konsep PLTS Atap. Persentase semakin responden yang tidak tahu semakin besar di kalangan bisnis (46,8%) serta usaha menengah, kecil, dan mikro (65,8%). Padahal, sebenarnya, mereka punya motivasi untuk beralih ke sumber energi matahari jika memang bisa mengurangi pengeluaran biaya listrik.
Lebih ideal lagi jika kemudian negara juga memberikan subsidi terhadap warga, usaha, dan sektor lainnya yang ingin mewujudkan mimpinya menggunakan sumber energi listrik dari matahari.
Jika tiga hal itu, desentralisasi, aksi, dan subsidi bisa diterapkan dalam pembangunan listrik tenaga surya, maka bukan mustahil bahwa kemandirian energi bersih terbarukan di Indonesia bisa terwujudkan. Jadi, 10-20 tahun lagi mungkin kita tak perlu bergantung pada negara. Warga pun bisa hemat dan berdaulat atas pengelolaan energi listriknya sendiri.
Apakah itu cuma mimpi? Tidak. Silakan mampir kantor kami untuk merasakannya sendiri.
Leave a Reply