Kenapa sih harus perempuan yang selalu dijadikan kambing hitam?
Pertanyaan itu langsung muncul di pikiranku setelah ngobrol dengan pembina, sekaligus penari, sendratari di Pesta Kesenian Bali (PKB) pagi tadi. Sendratari selama sekitar satu jam itu menceritakan dua bersaudara laki-laki, yang pada awalnya akur tapi kemudian berantem gara-gara merebutkan perempuan cantik.
Tarinya sendiri asik banget. Ada monyet, barong, rangda, bidadari, dan seterusnya. Mereka menari gemulai dan rancak sesuai cerita. Moral ceritanya juga oke. Tidak usah bermusuhan gara-gara perempuan.
Cuma ya itu tadi tadi, kenapa mesti perempuan yang dijadikan kambing hitam.
Aku lalu ingat lagi banyak cerita lain, entah mitos, legenda, ataupun cerita-cerita agama tentang “dosa” laki-laki akibat perbuatan perempuan. Adam dan Hawa jadi cerita yang selalu mudah dikenang.
Menurut Islam maupun Nasrani, Adam manusia laki-laki pertama yang diciptakan Tuhan. Tempatnya di surga. Lalu, Tuhan juga menciptakan Hawa sebagai pasangannya. Selama di surga, keduanya diberi larangan memakan buah khuldi. Eh, ternyata Hawa memakan buah inilah. Jadilah keduanya diusir dari surga dan diturunkan ke dunia.
Gara-garanya? Ya itu. Hawa, si perempuan pasangan Adam, yang melanggar pantangan.
Di sejarah Majapahit cerita serupa juga terjadi. Konon, Perang Bubat, perang terbesar antara Majapahit dan Pajajaran, juga terjadi karena Dyah Pitaloka Citraresmi yang di satu sisi mau dijadikan istri, tapi di sisi lain dianggap sebagai tanda takluknya Pajajaran. Pokoke, kurang lebih ya urusan perempuan juga yang dianggap sebagai penyebab terjadinya perang.
Lalu, mitos perempuan jahat seperti Nyi Roro Kidul, Mak Lampir, Calon Arang, Nini Pelet, dan seterusnya. Mitos-mitos ini hampir semuanya menggambarkan sosok perempuan sebagai orang jahat.
Pertanyaannya itu tadi. Kenapa mesti perempuan? Kenapa bukan kakek-ka kek jahat yang jadi penyihir?
Kebiasaan menjadikan perempuan sebagai korban, sangat mungkin, lahir dari dunia yang terlalu didominasi laki-laki dan karakternya: maskulin, suka berantem, gagah. Ibarat batu yang keras dan kaku, karakter semacam ini justru kalah oleh air, karakter lembut feminim.
Karena orang dulu belum tahu bahwa karakter maskulin juga bisa pada perempuan, dan sebaliknya feminim juga ada pada laki-laki, makanya perempuan yang dianggap berbahaya bagi laki-laki. Kenapa tidak sekali-kali ceritanya berubah: perang karena rebutan laki-laki?
Leave a Reply