Wadepak! Ternyata sudah lima hari tidak ngeblog. Padahal kemarin ada beberapa ide yang masuk. Cuma karena lima hari ini ngurus adik yang lagi liburan di Bali, liputan kuliner di akhir deadline, dan ngurus rumah di akhir pekan, jadinya lupa nulis.
Yowis. Nulis saja yang ada di kepala. Maunya tadi nulis soal Pantai Bias Putih di Desa Bugbug Karangasem, eh, aku lupa bawa fotonya. Padahal seperti kata beberapa teman, nulis jalan-jalan tanpa skrinsut itu sama dengan bull shit. π Jadinya nulis soal pantai keren ini ditunda saja dulu.
Aku tulis saja salah satu obrolan pas liputan di Karangasem Kamis lalu. Liputan ini untuk bantu kontributor Financial Times. Temanya soal rencana pembangunan lapangan golf di Karangasem.
Salah satu narasumber pas liputan kemarin adalah I Wayan Mas Suyasa, Bendesa Adat Desa Bugbug. Pak Mas, begitu warga setempat memanggilnya, adalah tokoh desa setempat. βMeskipun warna taplak meja ini putih, kalau Pak Mas bilang hitam, semua orang desa akan bilang hitam,β kata salah satu warga soal betapa kuat pengaruh Pak Mas ini.
Pak Suyasa, aku memanggilnya begitu, -sebab aneh saja sih, bagiku yang lidah Jawa ini, untuk manggil βPakβ bersama βMasβ-, mengeluhkan maraknya pembangunan fasilitas-fasilitas wisata di Bali. Pada zaman bahuela, para Resi dari Jawa yang datang ke Bali, membangun pura-pura di Bali di tempat-tempat yang dianggap punya kekuatan spiritual kuat (tenget). Kurang lebih begitu.
Maka, ini juga jadi kekagumanku tentang Hindu di Bali. Pura-pura besar di Bali banyak terletak di lokasi yang sebenarnya terisolir dan susah dicapai seperti puncak bukit, gunung, tebing, dan seterusnya. Pura Besakih, Pura Uluwatu, dan pura-pura lebih kecil lagi sebagian besar terletak di tempat-tempat yang tidak biasa.
Aku bayangkan, gila juga. Bagaimana orang pada zaman itu bisa membangun pura-pura bagus di lokasi-lokasi tersebut?
Tapi, menurut Pak Suyasa, pariwisata telah mengubahnya. Kini lokasi-lokasi terisolir dan punya vibrasi itu diisi dengan vila, hotel, dan semacamnya. Tidak heran misalnya, ketika aku lihat majalah real estate tentang Bali dua minggu lalu, lokasi yang paling banyak dicari adalah lokasi-lokasi yang terisolir itu tadi.
“Karena tempat tinggalnya sudah diganti villa, maka para makhluk halus yang menempati tempat tenget itu tidak punya rumah lagi. Mereka lalu masuk ke kota. Makanya banyak orang berambut merah, suka minum arak, kerjanya ribut,” kata Pak Suyasa.
Lalu, aku lihat sendiri di Uluwatu, Ungasan, Wongaya Betan, di Bedugul, di Canggu, di tepi Sungai Campuhan (kayak lagunya Slank saja. hehe), di dekat Padangbai, dan seterusnya kini dibangun vila-vila tiada hentinya.
Begitu pula di desa Pak Suyasa. Kini warga setempat sedang menunggu dewa bernama pariwisata itu. Yang akan mengubah lahan kering tak berproduksi menjadi hamparan lapangan golf dengan hotel berbintang lima. Aaah, pariwisata. Kini semua orang seperti menghamba padanya..
Leave a Reply