Hari kedua di Jogja, giliran waktunya belajar soal bertani dan sekolah alam. Sebelumnya kami belajar soal penerbitan di Insist Press dan soal pemasaran produk organik di Sahani. Sekarang kami berkunjung ke lahan pasir di Kulon Progo dan sekolah alam di Bantul.
Kami berangkat pagi, pukul 7.30 dari hotel. Sebab kami harus jemput Dja’far Shiddieq, dosen Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada (UGM). Pak Daja’far adalah nara sumber kami ketika diskusi soal tanah di Bali. Bersama beberapa dosen dan mahasiswanya, Pak Dja’far juga sedang meneliti lahan pasir di Kulon Progo.
Dari Pak Da’far pula kami tahu tentang petani lahan pasir di Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kulon Progo. Inilah tujuan kami sekarang.
Sekitar 1 jam perjalanan kami dari kampus UGM ke desa ini. Seperti umumnya desa di Jawa, daerah ini juga panas. Apalagi desanya berbatasan dengan pantai selatan Jawa yang terkenal agak horor itu.
Bugel masuk kawasan lahan berpasir di pantai selatan Jawa. Karena berpasir, tanaman susah tumbuh. Apalagi tanahnya sangat panas. Tapi, Sukarman, salah satu petani di sana ternyata bisa mengubah kondisi.
Cerita lebih panjang sudah ada di postingan dua hari lalu. Jadi tidak usah ditulis lagi. Apalagi sekarang lagi sakit kepala. ? Atau kalau belum puas juga bisa baca tulisan dari Kompas ini.
—
Berguru Hidup pada Gumuk Pasir
Kompas | Jumat, 11 April 2008 |
Ladang itu awalnya padang pasir kering kerontang. Warnanya hitam mengilat, melepuhkan kaki di siang hari yang terik. Jaraknya sekitar 50 meter dari laut, di selatan Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kulon Progo, Yogyakarta. Suasananya sunyi yang mati. Kehidupan seperti raib.
Di gundukan pasir—istilah setempat gumuk pasir—itulah Sukarman muda yang resah membuang gundah. Sudah tiga tahun sejak menyelesaikan studinya pada Program D-3 Akademi Perindustrian Yogyakarta, dia belum juga mendapat pekerjaan. Sudah dicobanya merantau ke Jakarta, Bandung, hingga Palembang, tetapi hasilnya nol besar.
Suatu pagi pada pertengahan 1985, gerimis menemaninya duduk di atas gumuk pasir. Dalam suasana hati yang lelah dan hampir patah, pandangannya seperti disedot tiga batang tanaman cabai merah yang tumbuh di atas seonggok kotoran sapi kering di pasir. Tak luar biasa, sebenarnya. Tetapi, entah mengapa, pemandangan itu mulai mengusik benaknya.
”Mungkin ada orang yang tidak sengaja membuang cabai di situ,” pikir Sukarman.
Ketika pandangannya mengitari hamparan luas di depannya, Sukarman mulai mengamati beberapa jenis tanaman yang hidup di antara tumbuhan perdu. Ada semangka, ubi, dan lain-lain.
Ia terkesima. Sunyi tak lagi mati, tetapi menjanjikan kehidupan baru. Pagi itu ia menangkap pesan: alam bekerja dengan cara ajaib, dalam situasi yang paling mustahil untuk menyodori kehidupan.
”Kenapa saya tidak mencobanya?” kehendak itu memenuhi batinnya, ”Jika dirawat pasti cabai itu akan tumbuh subur. Kenapa tidak mencoba menanam cabai di lahan pasir? Andai bisa, kehidupan pasti berubah.”
Sukarman mulai menanam cabai di atas lahan pasir seluas 200 meter persegi. Tetangganya, para petani sepuh, mencibir. Bahkan, ayahnya meragukan apa yang dilakukan anak sulungnya yang masih lontang-lantung pada usia 27 tahun itu. Sukarman dianggap ngaya wara atau mengada-ada.
Namun, Sukarman bersikeras. Usaha menanam cabai di atas pasir hitam itu lantas menjadi seperti pertaruhan keyakinannya akan perubahan. Upaya itu tak mudah. Tingginya penguapan di lahan pasir yang panas membuat ia harus terus-terusan menyiram tanaman cabainya. Padahal, sumber air tawar berada jauh di desa.
Sekali lagi, alam menjawabnya. Namun, hanya mereka yang tahu bagaimana alam bekerja mampu menangkap jawaban itu. Sukarman mulai menggali. Ia yakin lahan pasir itu pasti mendapat pasokan air dari resapan Kali Progo dan Kali Bogowonto yang mengapit kawasan itu. Pada kedalaman kurang dari 3 meter, air tawar yang bersih, keluar, melimpah ruah.
Ia lalu mengalirkan air itu dalam bak-bak yang dibangun sejajar sepanjang tanaman cabainya dengan pipa bambu. Sistem ini merupakan cikal bakal bagi apa yang kemudian disebut ”sumur renteng”. Masalah kebutuhan air pun selesai.
Selang tiga bulan, kerja kerasnya menampakkan hasil. Panen pertama menghasilkan 17 kilogram cabai.
Mengubah hidup
Panen itu tak hanya mengubah hidup Sukarman, tetapi juga hidup belasan ribu petani di sepanjang pantai Kulon Progo. Petani-petani lain di desanya, yang kebanyakan hanya penggarap, mulai yakin bahwa pasir itu menyimpan berkah kehidupan.Mereka mulai berbondong ke gumuk pasir, lahan telantar dengan status kepemilikan yang terbagi tiga, yakni tanah milik bersertifikat, tanah desa, dan tanah milik dinasti Pakualam (Pakualam Ground).
”Patok ini dulunya di sana,” ia menunjuk patok batas wilayah Pakualam Ground, yang katanya bergeser memasuki wilayah garapan warga.
Kini, di atas hamparan pasir yang luas itu—mulai dari Bugel hingga Glagah—aneka jenis tanaman tumbuh subur. Cabai, semangka, jeruk, sawi, terung, kentang, bahkan padi. Sistem sumur renteng berkembang dipadukan dengan genset dan selang plastik.
Warga menemukan kehidupannya di sini. Tak ada pengangguran. Nenek tua pun masih bisa mendapatkan penghidupan dari lahan itu.
”Tanaman kentang seperti ini,” Sukarman menunjuk sepetak lahan yang digarap Mbah Wiji, perempuan sepuh yang sudah bongkok, ”Tumbuh tanpa perawatan yang berarti, tapi panennya tiap tiga bulan. Cukup untuk hidup Mbah Wiji.”
Desa yang semula termiskin di Kulon Progo bermetamorfosa menjadi desa penuh harapan. Para pemuda yang merantau menjadi buruh migran berbondong pulang kampung, menjadi petani. Mereka menepuk dada dan berkata bangga, ”Saya petani!”
Sekarang tak ada lagi rumah gubuk di sini. Setiap rumah tangga memiliki kendaraan bermotor yang mempermudah aktivitas pertanian mereka.
Laboratorium hidup
Kegigihan petani Kulon Progo yang mampu menyulap gumuk pasir menjadi ladang pertanian yang subur itu mendapat apresiasi kalangan akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Pertanian gumuk pasir itu menjadi seperti laboratorium hidup dari berbagai penelitian mereka.Wilayah itu merupakan daerah pertanian terpadu. Peternakan menghasilkan terutama pupuk kandang, yang digunakan pada lebih 90 persen pemupukan.
”Para petani menemukan teknik yang luar biasa. Kami sering mengirim mahasiswa ke sana untuk belajar dari mereka,” ujar Dr Ir Dja’far Shiddieq MSc, dosen pada Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UGM.
Dja’far juga mengundang Sukarman ke kampus untuk mengajari ilmu bertani yang riil pada mahasiswa. Sukarman pun sesekali ke kampus, mengajar mahasiswa.
Usia Sukarman kini 50 tahun. Ia menggarap lahan seluas 8.000 meter persegi, 3.000 meter persegi di antaranya untuk pembibitan. ”Waktu tahun 1998, saya panen dari penjualan bibit, sampai bisa beli mobil,” ia menunjuk mobil Suzuki Carry yang bertengger di samping rumah.
Meski dikenal sebagai petani yang lumayan berhasil—ia juga punya tujuh sapi dan dua sepeda motor—hidup Sukarman tetap bersahaja. Setiap hari ia ke ladang, mencangkul, menyiangi, menyirami tanamannya. Namun, yang membuatnya bangga adalah anak sulungnya yang kini kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta.
Sayangnya, ketenangan hidup Sukarman beserta belasan ribu warga kini terusik. Pemerintah Kabupaten Kulon Progo dan Pemerintah Provinsi DIY kabarnya akan menggusur mereka. Ibu Bumi yang menghidupi itu akan dihancurkan oleh pertambangan pasir besi atas nama ”devisa” dan ”pendapatan asli daerah”.
Setiap hari pembicaraan warga hanya berkisar pada, ”Apa benar izinnya sudah keluar,” seperti yang juga ditanyakan Sukarman.
Entah, apakah nantinya wilayah ini akan segera menyusul banyak wilayah lain di Indonesia yang harus mendulang akibat dari industri ekstraksi: kegiatan ”pembangunan” yang memangsa rakyat sendiri. Sungguh ironis!
(Ahmad Arif/ Maria Hartiningsih/ Sri Hartati Samhadi)
—
Pulang dari Kulon Progo, kami ke Bantul. Persisnya ke Sanggar Anak Alam (Salam) Desa Nitiprayan, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul. Agak telat sampai di sanggar ini, sekitar pukul 4.00 sore WIB. Padahal rencana semula kami sampai sini sekitar pukul 3.
Karena telat itu, maka Bu Sri Wahyaningsih, pengelola Salam menyangka kami tidak jadi ke sini. “Anak-anak sudah pulang dari tadi,” katanya pas kami baru sampai.
Salam, namanya sama dengan nama majalah tempatku kerja paruh waktu, adalah sanggar anak yang dibangun Bu Wahya, mantan ketua RW di sini.
Kelahirannya, lagi-lagi, untuk memberi tempat pada ide-ide alternatif yang selama ini tidak mendapat di pendidikan umum. Karena relatif baru, sekolah di sini hanya ada TK. Tahun ini baru mulai ada SD.
Sanggar ini terletak di tengah persawahan. Benar-benar sawah. Ada ruang untuk TK. Ada pula untuk SD yang tahun ini baru akan dipakai. Arena permainan untuk anak, seperti prosotan, ada di tepi sawah.
Selain belajar seperti murid-murid di sekolah lain, murid-murid di sini juga melakukan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan. Mereka ikut petani bercocok tanam. Menanam padi, upacara tradisional untuk sawah, dan seterusnya.
Tidak hanya untuk anak-anak TK. Ada pula beberapa remaja yang ikut bertani di sini. Tiga remaja, satunya bertindik dan rambut merah dengan tampang yang bagi orang umum agak berangasan, ikut bertani sayur hijau, cabe, tomat, dan seterusnya. Asik saja sih melihat remaja gaul yang bercocok tanam di sawah.
Wahya, yang pernah bekerja bersama Romo Mangunwijaya, menyatakan bahwa sekolah alam itu memang lebih banyak menggunakan lingkungan sekitarnya untuk media belajar. Maka, anak-anak di sana banyak belajar masalah di dekat mereka daripada yang jauh-jauh. Murid-murid itu belajar mengenal padi di sawah, panen kacang, main teater, baca puisi, dan seterusnya.
Melihat anak-anak di desa dengan pola pikir berbeda itu, aku jadi ingat Bani. Kali aja kapan-kapan dia suruh belajar di sana saja.
Sebab memang ada pula anak-anak dari daerah lain yang belajar di Salam. Bahkan ada pula yang dari Australia.
Berdiskusi dengan Bu Wahya dan melihat sanggar alamnya, juga ngobrol dengan Pak Karman lalu melihat lahan pasirnya yang subur makmur, aku merasa bertemu dengan orang-orang yang benar-benar layak jadi guru, digugu lan ditiru..
Bu Wahya, memilih kembali ke desa untuk mengbadi. Dia mendirikan sekolah alam itu untuk memberi tempat alternatif di antara model pendidikan yang tidak memanusiakan itu. Pak Karman, belajar dari kearifan lahan pasir yang bagi banyak orang adalah kutukan. Dia mengubah lahan pasir itu menjadi sesuatu yang produktif. Kini dua orang ini bisa mempengaruhi lingkungannya.
Bu Wahya dan Pak Karman, tanpa harus jadi orang besar di pusat kekuasaan, cukup di wilayah masing-masing, bisa berbuat nyata untuk perubahan di lingkungan mereka. Mereka orang-orang biasa yang berbuat luar biasa..
July 6, 2008
oaaheem, ngantuk.
July 7, 2008
@ wira: yaudah. cari istrimu sana! 😀
July 7, 2008
bugel punya pantai yang terhitung bersih..
*jadi pengen ke bugel lagi
June 30, 2009
tapi tempate nyeremi. dekat sekali deburan ombaknya
June 30, 2009
sa benere kulonprogo itu masih bisa dikembangkaan secara maksimal lagi, terutama untuk objek pariwisatanya. masalahnya mau atau gak perantau-perantau asli kulonprogo yang merantau kesepenjuru nuswantara peduli kepada kampungnya sendiri. suwun