Disemprit di Jejak Kesederhanaan Paman Ho

0 , Permalink 0

Kesialan dan keberuntungan bisa datang berhimpitan.

Kali ini aku mengalaminya ketika mengunjungi tempat penyimpanan jenazah (musoleum) Bapak Bangsa Vietnam Ho Chi Minh di Hanoi. Aku ketiban sial karena datang ketika musoleum ini sedang dibersihkan. Jadi, tak bisa masuk ke ruangan dan melihat jenazan Paman Ho, panggilan lain untuk Ho Chi Minh.

Tapi, begitulah risiko jalan-jalan tanpa rencana dan informasi sebelumnya, sesuatu yang aku sering dan suka lakukan. Ketika berniat ke Musoleum Ho Chi Minh, aku sama sekali tak mencari informasi awal terlebih dulu. Pokoknya ke sana begitu saja saat akhir pekan.

Tempat bersejarah, sejauh ini, memang lebih menarik bagiku daripada ke wisata alam. Maka, akhir pekan, 6 – 7 November lalu, aku memilih jalan-jalan ke tempat bersejarah di Hanoi daripada ke Ha Long Bay, wisata alam paling populer di negeri ini.
Museum Ho Chi Minh jadi pilihan pertama. Hal pertama yang aku lihat ketika tiba di museum ini adalah… sepasang kekasih sedang mojok sambil cipokan siang-siang. Sambutan yang menyenangkan. Ternyata aku masuk lewat pintu belakang, tempat di mana banyak anak muda pacaran. Pintu masuk museum cuma satu, di depan.

Tiap pengunjung museum ini membayar 15.000 dong, sekitar Rp 7.500, per orang. Ada tambahan biaya untuk yang bawa kamera. Tapi, aku sih cuek saja masuk bawa kamera tanpa bayar lagi. Tidak ada yang memeriksa kamera itu.

Seperti namanya, Museum Ho Chi Minh ini memamerkan perjalanan hidup tokoh perjuangan dan pemersatu Vietnam Selatan dan Vietnam Utara tersebut. Paman Ho, panggilan akrab untuk Ho Chi Minh juga pernah menjadi Perdana Menteri dan Presiden Vietnam. Seluruh perjalanannya digambarkan dalam berbagai benda dan foto.

Sederhana
Hal yang tertangkap olehku sih, Paman Ho ini sederhana. Meskipun seangkatan dengan Soekarno, penampilan Ho tidaklah seresmi atau seglamour presiden pertama Indonesia tersebut. Dari foto-fotonya, dia terlihat lebih sering berpakaian khas Vietnam, bukan jas seperti Soekarno. Ada juga foto dia sedang mengetik, bekerja di kebun, dan seterusnya.

Foto-foto di museum ini membangun citra bahwa Paman Ho orang sederhana, merakyat, dan pekerja keras. Sangat wajar kalau hingga saat ini, wajah Paman Ho ini tersebar di mana-mana.

Selain foto, museum ini juga memamerkan aneka benda yang pernah digunakan Paman Ho semasa masih hidup. Ada topi, tongkat, baju, sandal kulit, buku-buku, bahkan barbel.

Melihat benda-benda ini saja lumayan memberikan informasi tentang bagaimana perjalanan Paman Ho dalam kesederhanaan. Karena itu, pemujaan berlebihan kepada Paman Ho saat ini justru terasa kontras dengan kesederhanaanya selama hidup.

Pemujaan berlebihan itu juga terasa ketika aku berkunjung ke musoleum di mana jenazah Paman Ho disemayamkan. Musoleum ini berada satu kawasan dengan museum, hanya berjarak sekitar 200 meter. Sore itu, pengunjung cukup jalan kaki di trotoar dan jalanan lebar tanpa gangguan sedikit pun kendaraan bermotor.

Mundur
Dan, di musoleum inilah kesialan dan keberuntungan itu terjadi. Ketika baru saja mendekati musoleum ini, aku sudah diteriaki petugas penjaga. Ternyata ada garis pembatas mengelilingi musoleum ini. Semua penjunjung tak boleh melewati garis itu. Aku, yang belum tahu soal garis tersebut, cuek saja mendekat musoleum. Eh, salah satu penjaga lalu meniup peluit dan teriak-teriak menyuruhku mundur.

Lebih sial lagi, aku tak bisa masuk musoleum ini. Padahal, sejak berangkat, aku sudah membayangkan akan ikut antre di antara ribuan orang untuk hanya sekitar 5 menit melihat jenazah Paman Ho.

Nyatanya, ini bulan Oktober waktu di mana musoleum dan jenazah Paman Ho akan diperbaiki. Jadilah memble saja.

Tapi, aku ternyata beruntung juga. Tanpa aku tahu sebelumnya, ternyata pada jam tersebut, sekitar pukul 5 sore, sedang ada pergantian penjaga musoleum. Prosesi ini lumayan jadi hiburan. Dua petugas yang akan menggantikan penjaga lama datang dengan langkah panjang dan tegap. Keduanya membawa bayonet.

Maka, puluhan turis di tempat tersebut, termasuk aku, kemudian mengabadikan prosesi sekitar 10 menit tersebut. Lumayan buat hiburan dan foto-foto. Daripada cuma ngedumel gara-gara mendekati musoleum saja sudah disemprit.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *