Stringer, Tuyul Modern Jurnalisme TV

6 , , Permalink 0

“Ada mayat di kolam lapangan Puputan Badung,” kata suara di telepon seluler Putu Sujana Kamis awal Maret lalu. Sujana sedang duduk-duduk di depan gedung rektorat Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar di jalan Nusa Indah, Denpasar Timur. Ada demo mahasiswa dan dosen di kampus itu menuntut pergantian rektor.

“Demonya tidak asik. Cuma begitu-begitu saja,” kata Sujana. Maka, Sujana segera pergi dari kampus ISI setelah ada telepon tersebut. Dia naik sepeda motor Shogunnya di antara lalu lintas Denpasar. Di antara gerimis, dia menyalip motor dan mobil sepanjang jalan.

Tak sampai lima menit, Sujana sudah ada berada di lapangan Puputan Badung. Jarak antara kampus ISI Denpasar dengan lapangan Puputan Badung itu sekitar 2 km. Pukul 11 siang di kota seperti Denpasar adalah salah satu jam tersibuk, apalagi di jalan raya. Lima menit untuk 2 km termasuk waktu yang cepat.

Lapangan Puputan Badung adalah alun-alun kota Denpasar. Disebut lapangan Puputan Badung karena di tempat inilah pada 20 September 2006 terjadi perang besar-besaran, dalam bahasa disebut puputan, antara Puri Badung dengan prajurit Belanda. Beberapa gedung penting mengelilingi lapangan seluas sekitar dua kali lapangan sepak bola ini. Antara lain rumah jabatan gubernur Bali, markas Kodam IX/Udayana, kantor walikota Denpasar, dan pura terbesar di Denpasar Pura Jagatnatha.

Bagi warga Denpasar, lapangan puputan Badung menjadi salah satu tempat untuk jalan-jalan. Tiap sore, ratusan warga duduk-duduk di lapangan rumput, main bola, atau sekadar jalan-jalan di lapangan ini. Pada akhir pekan, lapangan ini penuh dengan warga yang bersantai termasuk di sisi utara lapangan di mana terdapat patung untuk memperingati perang puputan –bapak, ibu, dan anak membawa keris- dengan kolam berbentuk bunga lotus yang mengelilingi patung.

Ketika Sujana tiba di lapangan puputan Badung Kamis siang awal Maret lalu, ratusan orang berdesakan di sisi barat kolam itu. Ada mayat laki-laki dengan posisi tertelungkup di tengah kolam. Wajah mayat tidak kelihatan. Hanya kaos putih kusam dengan celana hitam yang terlihat. Gerimis turun. Namun ratusan orang itu masih berkerumun. Air gerimis tidak mampu mengusir mereka.

Sujana mengeluarkan handycam Sony miliknya lalu menyeruak masuk di antara kerumunan orang. Ia merekam gambar mayat itu dan suasana di sekitarnya. Karena gerimis, Sujana pun memakai jas hujan. Tapi kameranya tetap kena air. Dia beringsut ke bawah payung salah satu orang yang ikut berdesakan. “Ikut satu ya, Bu. Biar kamera saya tidak kena hujan,” kata Sujana. Si ibu pemilik payung mengiyakan.

Lima menit kemudian petugas yang harus mengambil mayat pun datang. Setelah diangkat dan dibiarkan di lapangan rumput untuk dikenali banyak orang, mayat itu diangkut ke ambulans Palang Merah Indonesia (PMI) Denpasar. Sujana dan sekitar lima wartawan lainnya mengikuti mayat itu dibawa masuk ke ambulans.

Setelah ambulans pergi, Sujana kembali ke tempat mayat ditemukan. Bersama wartawan lain, mereka wawancara Ida Bagus Mantra, Kapolsek Denpasar Barat. Wawancara usai, Kapolsek pergi. Sujana pun begitu.

“Gambarnya jelek. Tadi ngambilnya agak goyang karena takut kamera kena hujan,” katanya. “Tapi sudah aman. Sudah dapat satu laporan. Tinggal nanti kasih ke Pak Agus,” tambahnya.

Sujana tidak perlu membuat laporan itu sendiri. Dia cukup memberikan gambar dan data dari lapangan yang diperolehnya pada Agus Astapa, koresponden ANTV di Bali. Sujana bekerja sebagai kameramen untuk Agus.

Ada beberapa istilah untuk menyebut pekerjaan Sujana. Antara lain stringer, kontributor, kameramen, sampai tuyul. Apapun namanya, pekerjaan mereka sama: membantu koresponden TV nasional. Di antara istilah-istilah itu, ada satu istilah yang sudah “resmi” muncul dalam wacana jurnalisme TV, tuyul.

Istilah ini secara resmi muncul dalam pernyataan sikap Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta ketika memperingati hari buruh 1 Mei 2008 lalu. Menurut AJI Jakarta, saat ini banyak jurnalis –terutama di daerah- yang memelihara “tuyul” alias korespondennya koresponden dengan alasan kesejahteraan. Secara sederhana, tuyul diartikan sebagai wartawan yang bekerja untuk wartawan lain.

November tahun lalu, AJI Indonesia pun menyinggung masalah tuyul ini dalam rekomendasinya sebagai bagian dari Kongres di Sanur, Bali. AJI meminta agar perusahaan media massa tidak meneruskan praktik jurnalisme tuyul ini. Poin ini masuk salah satu bagian selain perlunya semua pihak menjaga kebebasan pers, menolak kriminalisasi pers, dan pentingnya profesionalisme.

Secara sederhana istilah tuyul ini mengacu pada praktik mempekerjakan orang lain tanpa status yang jelas. Praktik ini biasa terjadi di kalangan wartawan TV, terutama di daerah. Koresponden atau kontributor tetap di salah satu stasiun TV mengajak orang lain untuk membantunya dalam liputan.

Stringer di Bali mulai ada sekitar sepuluh tahun lalu. Jenis pekerjaan baru ini pun melahirkan masalah baru. Antara lain pelanggaran kode etik jurnalistik dan ketidakjelasan hubungan kerja. “Tidak ada kata lain, (mempekerjakan) tuyul itu sama dengan perbudakan,” kata Rio Barlianto, kontributor Bali Music Channel (BMC) TV.

Sepanjang yang bisa ditelusuri, istilah tuyul muncul pertama kali di Malang, Jawa Timur. Gita Imanda, mantan stringer RCTI di Malang pada tahun 2002 yang kini bekerja sebagai Eksekutif Produser Bali Music Channel (BMC) TV, mengaku sebagai orang pertama yang menyebut istilah tuyul.

Waktu itu, katanya, dia bekerja untuk RCTI dan harus bersaing dengan beberapa TV lain, termasuk SCTV. Satu hari dia kecolongan satu berita tentang penggerebekan judi ayam di Malang selatan. Sebenarnya Gita sudah mendapat gambar itu namun tidak langsung mengirim karena merasa tidak ada wartawan TV lain yang dapat gambar. “Saya mau kirim biar bisa masuk di Sergap,” katanya mengacu pada nama program berita kriminal di RCTI. Sergap ditayangkan tiap pukul 11 WIB.

“Eh, ternyata berita penggerebekan itu sudah muncul pagi di SCTV. Padahal wartawan SCTV itu tidak ada di sana ketika saya ambil gambar. Makanya begitu ketemu dia, saya langsung tanya, ‘Siapa tuyulmu yang di sana? Kok kamu bisa dapat gambar?” kata Gita. Dia menyebut tuyul karena tidak jelas siapa orangnya tapi ada hasil kerjanya. Sejak itu istilah tuyul makin populer. Tak hanya di Malang tapi juga di kota lain di Jawa Timur.

Toh, praktik mempekerjakan wartawan lain itu sendiri sudah jauh lebih dulu dibanding istilah tuyul yang baru datang kemudian.

Gita menduga istilah stringer berasal dari kata stranger karena orang yang mengambil gambar itu memang orang yang tidak jelas, asing. Asal orang itu punya kamera dan bisa ambil gambar, maka gambar itu akan dibeli para koresponden. Salah satu penyebab munculnya kebutuhan terhadap gambar dari orang lain itu adalah ketika mulai muncul berita-berita kriminal semacam Patroli di Indonesia dan Sergap di RCTI. “Saat itu berita kriminal sangat laku,” kata Gita. Berita kriminal seperti penggerebekan, penyergapan, dan berita-berita sarat kekerasan lain memang sedang trend saat itu.

Larisnya berita-berita kriminal membuat para koresponden memutar akal. Mereka berusaha mendapatkan berita itu dari berbagai Polsek yang ada. Gita memberikan contoh. Di Malang saja ada puluhan Polsek. Tidak mungkin cukup waktu satu hari untuk main ke semua Polsek. “Nah ketika ada orang menawarkan gambar ya kita ambil. Kita juga ajari cara ambil gambar. Setelah itu jalan,” tambahnya.

Orang yang membantu itu, menurut Gita, biasanya mahasiswa yang baru lulus dan belum dapat kerjaan. Jadi sambil belajar, dia juga dapat duit. Kadang juga ada wartawan cetak ataupun wartawan TV lain yang mau mengambilkan gambar. Kalau yang mengambil gambar adalah wartawan TV lain, maka dia sengaja ambil gambar panjang untuk dipotong dan dijual. “Mereka untung kami juga untung,” katanya. Maksud Gita, si wartawan TV yang ambil gambar itu bisa menjual sebagian gambarnya, sementara wartawan yang membeli juga bisa dapat gambar tanpa harus meliput di lapangan.

“Dalam perkembangannya, istilah stranger jadi stringer,” ujar Gita.

Di Bali istilah istilah stringer lebih dikenal daripada tuyul. Sekali lagi, para tuyul atau stringer ini bekerja untuk koresponden, bukan untuk perusahaan media. “Tanggung jawab saya ya pada koresponden, bukan pada perusahaannya,” ujar Marsdiono, stringer untuk Metro TV di Bali. Onok, panggilan akrabnya, bekerja untuk Saifullah, kontributor Metro TV di Bali, sejak Oktober tahun lalu.

Di kalangan stringer di Bali, Onok masuk angkatan ketiga. Selain dia, stringer lain yang satu angkatan dengan mahasiswa Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Univeritas Udayana Bali ini adalah Putu Sujana dan Aris Wixantyo. Angkatan kedua adalah Nyoman Wiryadinata, Yudha Maruta, dan Lutfi Setiawan.

Rio Barlianto termasuk salah satu stringer yang paling lama bekerja di Bali. Dia mulai bekerja sebagai stringer pada 2004 sampai 2008 lalu. Karena itu, Onok dan beberapa stringer lain di Bali punya julukan Kakak Pertama pada Rio, mengacu pada angkatan masuknya Rio sebagai stringer.

Rio jadi stringer RCTI pertama kali pada Juni 2004. Dia bekerja untuk Syafruddin Siregar, koresponden RCTI di Bali. Rio bisa membantu Syafruddin sebagai stringer di Bali berkat rekomendasi dari Solihin Bahari, koresponden RCTI di Malang yang juga dosen di Jurusan Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Muhammadiyah Malang ketika itu. Rio alumni kampus di kawasan Jetis, Malang itu.

Di Bali, Syafruddin adalah wartawan TV pertama yang menggunakan stringer. Namun, saat itu istilah stringer belum ada. Sebutan resmi untuk stringer adalah kameramen Koresponden RCTI di Bali. Meski resminya sebagai kameramen, stringer tak hanya bekerja untuk merekam gambar. Dia juga membuat berita meski itu harus diedit oleh Syafruddin terlebih dahulu sebelum dikirim ke Jakarta.

“Dari situ aku belajar tentang bagaimana mengambil gambar dan membuat berita. Aku belajar dari kasus,” kata Rio.

Menurut Syafruddin, RCTI memang mengizinkan korespondennya untuk memakai kameramen. Karena itu kantornya juga mengakui keberadaan kameramen tersebut. Kameramen RCTI di daerah mendapat kartu identitas sebagai Kameramen Koresponden dengan tanda tangan dari human resources departement (HRD) RCTI. Saat itu, lanjutnya, koresponden memakai kameramen karena alasan yang sangat teknis, misalnya beratnya kamera yang harus dibawa koresponden.

Namun ada pula alasan lain. Syafruddin mengatakan, ide untuk membuat koresponden RCTI di daerah terinspirasi oleh hal yang sama di CNN. Kantor berita di Amerika Serikat ini, katanya, punya koresponden di tiap negara bagian. RCTI meniru hal tersebut. Koresponden RCTI pun diperbolehkan untuk mencari kameramen di daerah masing-masing. Begitu pula Syafruddin.

Dia beberapa kali mengajak orang lain sebagai kameramen, sebelum kemudian bekerja lama dengan Rio. Tidak ada kesepakatan hitam di atas putih di antara. Hanya sebatas komitmen. Misalnya bahwa kameramen terikat dengan Syafruddin, bukan dengan RCTI. Meski demikian, kameramen akan mendapat pengakuan dari perusahaan berupa kartu identitas sebagai kameramen. Selain pengakuan berupa ID itu, RCTI juga menyebut nama kameramen dalam berita. “Kameramen tidak hanya diakui tapi juga diapresiasi,” tambah Syafruddin.

“Tapi sistem itu sekarang dihancurkan oleh TV-TV lain,” tuding mantan Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Bali ini.

Sistem yang dimaksud Syafruddin tersebut adalah pola rekrutmen dan cara kerja stringer. Ketika merekrut stringer, Syafruddin mengaku melakukan semacam tes terlebih dahulu. Ada standar kualitas yang dinilai dari calon kameramen. Ikatan kerjanya juga jelas. Tiap tahun dia memperbarui kesepakatan di antara dia dan kameramen.

Namun, lanjut Syafruddin, cara tersebut sudah tidak dipergunakan sama sekali oleh para koresponden di Bali untuk merekrut stringer. Saat ini, beberapa koresponden TV nasional di Bali memang menggunakan stringer untuk membantu mereka. Di antaranya adalah TV One, Metro TV, dan Anteve. “Mereka (para koresponden yang mengajak kerja), tidak ngurus stringernya. Yang penting mereka dapat materi berita,” tambah Syafruddin.

Ada beberapa alasan para koresponden itu mempekerjakan stringer. Made Mahendra, Kontributor TV One di Bali mengaku mempekerjakan stringer karena volume kerjanya yang tidak pasti. Ketika pekerjaan sedang banyak, dia butuh orang lain untuk membagi beban tersebut. “Kalau tidak ada teman, konsekuensinya kami kehilangan berita,” kata Mahendra yang juga pernah jadi stringer untuk Indosiar dan Lativi sebelum jadi kontributor tetap TV One.

Persaingan berita ini memang berimbas pada pola kerja koresponden di Bali terutama untuk dua TV nasional yang memiliki program berita sebagai jualan utama, Metro TV dan TV One. Menurut Saifullah, kontributor Metro TV di Bali, awalnya Metro TV tidak memperbolehkan korespondennya mempekerjakan stringer. “Tapi sejak TV One jor-joran untuk berita, mau tidak mau Metro TV pun mengizinkan kontributor untuk pakai stringer agar tidak kecolongan,” kata Saiful.

Pola rekrutmen yang dilakukan juga lebih banyak dilakukan atas dasar pertemanan, tidak lewat seleksi yang ketat dengan banyak calon. Kontributor dengan stringer rata-rata sudah kenal di lapangan sebelum bekerja sama. Stringer maupun mantan stringer di Bali mengakui itu. Aris Wixantyo, stringer untuk TV One saat ini, misalnya bekerja sebagai stringer karena dia diajak oleh Made Mahendra, temannya ketika di kampus yang kini bekerja sebagai kontributor TV One.

Aris pernah pernah aktif di gerakan mahasiswa di Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Jakarta. Mantan Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Teknik ini juga aktif di Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta. Dia ikut dalam beberapa aksi menentang Sidang Istimewa tahun 1999. “Bagi saya pekerjaan yang sesuai dengan idealisme itu ya wartawan,” katanya.

Sebelum bekerja sebagai stringer di Bali, Aris pernah bekerja di Skala, majalah berita bulanan di Jakarta. Menurut Aris baru enam kali terbit, majalah itu tutup. Aris menganggur dua tahun dan sempat membuat usaha sendiri termasuk rental Playstation sebelum kemudian Mahendra mengajaknya bekerja sebagai stringer.

“Tanpa pikir panjang saya bilang iya, oke. Jalanlah saya meski sempat blank semua,” aku Aris. Dia tidak pernah bekerja di TV sebelumnya. Tapi dia punya hobi foto-foto juga. “Jadi saya pikir ini sama dengan ambil foto tapi bergerak. Enjoy saja,” tambahnya.

Para stringer itu justru lebih banyak belajar sendiri di lapangan. Otodidak. Meski demikian, koresponden yang mempekerjakan mereka juga kadang memberikan bimbingan seperti teori ambil gambar serta pakem-pakem yang harus ditaati dan dihindari. “Kalau di TV, gambar itu harus menceritakan sesuatu. Yang harus dihindari ya gambar yang tidak sequence. Itu tidak layak jadi berita,” ujar Aris.

Bimbingan dari koresponden itu hanya dilakukan sekali. Caranya dengan liputan bersama antara stringer dengan koresponden. Keduanya membawa masing-masing kamera dan meliput untuk satu isu bersama. Setelah sekali belajar bersama tersebut stringer langsung dilepas. Mereka liputan sendiri.

Inilah yang melahirkan tudingan bahwa proses menjadi stringer itu sangat gampang. “Stringer itu jurnalis instan. Mereka tidak pernah belajar jurnalistik tapi sudah melakukan kerja-kerja jurnalistik. Etika dan estetika cara meliput seperti apa itu, mereka tidak tahu. Aku sering menerima komplain dari wartawan cetak kalau ada seperti itu,” tuding Rio.

“Kalau aku tidak mau dibilang instan. Aku pernah berproses di kampus. Aku sudah punya bekal. Kalau beberapa orang mungkin ya,” jawab Onok.

Kemampuan mengambil gambar memang jadi modal utama stringer. Asal bisa gambar, selesai masalah. Mereka tidak harus bisa membuat naskah karena ini tanggung jawab koresponden. Begitulah pembagian tanggung jawab antara koresponden dengan stringer.

Pada dasarnya, stringer bertanggungjawab pada koresponden, sedangkan koresponden bertanggungjawab pada perusahaan media. Tugas sehari-hari stringer adalah mencari gambar mentah dan memberikan data pada si koresponden. Kalau itu sudah, berarti mereka sudah melakukan pekerjaannya. Selebihnya, urusan si koresponden dengan TV masing-masing.

Namun di lapangan, kesepakatan ini tidak berlaku mutlak. Kadang-kadang ada koresponden yang memberi kesempatan pada stringernya untuk menulis naskah juga. Aris Wixantyo hanya satu tahun bertugas untuk mengambil gambar dan data tersebut . Setelah itu dia diizinkan mengerjakan semua tugas koresponden, termasuk mengirimkan gambar ke Jakarta. Dia pakai email Mahendra untuk mengirim berita tersebut.

Sedangkan Onok yang baru enam bulan bekerja untuk Saiful belum boleh menulis naskah. “Tugas sehari-hari aku ambil gambar, ambil data. Sudah sebatas itu saja. Kadang saya nulis naskah,” katanya. Onok sama dengan Sujana.

Kalau stringer sudah dianggap mampu, maka koresponden bisa lebih bersantai. Mereka tidak harus selalu liputan karena sudah stringer yang mengerjakannya. Ini terutama ketika lagi sepi berita. “Kalau berita sedang ramai, kontributor ya back up. Kalau sepi, kontributor kerjanya cuma cek ATM,” ujar Yudha Maruta, mantan stringer TPI, lalu tertawa.

“Kalau ada liputan keluar kota dan sedikit bermasalah kami tinggal manfaatkan dia. Hahaha..” kata Saiful, Kontributor Metro TV, mengenai alasannya mengangkat stringer. “Kami juga perlu waktu untuk istirahat. Kalau ada yang bisa diajak giliran kan enak. Biar kita tidak tegang terus,” tambahnya.

Untuk tanggung jawab tersebut, stringer akan mendapat honor dari potongan honor kontributor. Besarnya relatif. Sebagian besar stringer dibayar Rp 100 ribu per liputan tayang dari koresponden masing-masing. Koresponden itu sendiri dibayar perusahaannya Rp 250 ribu sampai Rp 300 ribu per berita tayang.

Agar pembagian honor ini adil, para koresponden akan melakukan pengecekan rekap bersama dengan stringernya. Awal Maret lalu misalnya, Onok dan Saiful melakukan pengecekan rekap tersebut di tempat kos Onok di Denpasar Selatan. Sekitar pukul 8 malam itu Onok memeriksa daftar laporan yang pernah dia buat di komputernya. Dia membaca mana saja laporan yang dia kirim dan dimuat Metro TV, lengkap dengan nama program yang memuat berita tersebut. Rekap itu dia simpan di komputer pribadinya di mana dia juga mengerjakan berita baik gambar maupun teks di sana. Sambil membaca rekap itu, sesekali Onok meminta persetujuan dari Saiful yang duduk di dekat pintu malam itu.

Dengan rata-rata per bulan ada 15 berita yang tayang, maka koresponden mendapat honor Rp 1,5 juta per bulan. “Itu sudah cukup untuk bujangan,” kata Onok. Aris mengiyakan. Tidak jarang pendapatan mereka lebih dari itu apalagi kalau sedang banyak peristiwa di Bali.

Namun ada pula stringer yang dibayar layaknya gaji bulanan. Mereka dibayar Rp 750 ribu sampai Rp 1,5 juta per bulan. Ini yang pernah terjadi pada Sujana dan Rio. Sujana dibayar Rp 1,5 juta per bulan sedangkan Rio Rp 750 ribu. Sujana, yang masih bujangan dan kos di Denpasar, merasa pendapatan itu sudah lebih dari cukup. Rio pun demikian. Apalagi, kata Rio, peralatan kerja yang dia gunakan seperti kamera dan komputer adalah milik Syafruddin. Bahkan Rio pun diperbolehkan makan di rumah bosnya tersebut. Secara ekonomi, menurut Rio yang masih bujangan, upah Rp 750 ribu per bulan itu sudah cukup.

Di luar honor itu, stringer juga mendapat tunjangan lain dari koresponden. Misalnya biaya liputan dan ganti rugi kalau mengalami kecelakaan. Tapi ini hanya berdasarkan kebaikan hati koresponden. Aris yang pernah mengalami tabrakan dengan mobil mendapat ganti rugi dari Mahendra. Rio kadang mendapat tambahan honor dari Syafruddin.

Tapi mengacu pada survei AJI Denpasar, honor tersebut jauh lebih kecil. Upah layak minimum jurnalis di Bali, menurut AJI Denpasar, adalah Rp 3,6 juta per bulan.

Toh, nilai Rp 1,5 juta itu sudah cukup bagi para stringer. Merea pun tidak banyak menuntut. Mereka tidak peduli meski nama mereka tidak dimasukkan dalam berita yang ditayangkan TV nasional tempat mereka mengirimkan laporan. “Itu sudah risiko stringer. Aku tidak punya hubungan sama sekali dengan perusahaan, karena aku bekerja dengan kontributor. Ketika aku menuntut namaku dimasukkan dalam berita, ya aku menuntut pada kontributor. Terserah kontributor mau memasukkan atau tidak,” jawab Onok.

Hal ini pun disadari Aris. “Itu (nama tidak masuk dalam berita) sudah dikasih tahu sejak awal,” ujarnya.

Inilah persoalan etiknya. Para koresponden itu mengakui hasil kerja orang lain dengan nama mereka. Para koresponden tinggal menyuruh stringer untuk bekerja dan kemudian mengakui karya orang lain itu sebagai karya mereka. “Itu praktik tidak fair. Bagaimana pun kami kan butuh pengakuan,” kata Yudha Maruta.

“Kontributor yang mengklaim liputan pihak lain sebagai liputannya, berarti tidak jujur. Namun masalah etis ini tidak berlaku bagi kontributor yang secara jujur melaporkan penggunaan stringer karena sebuah alasan,” kata Muchlas Ainurrofiq, Kepala Koresponden ANTV.

Toh, lanjut Muchlas, ANTV tetap bertanggungjawab terhadap semua berita yang sudah mereka tayangkan. “Kalau sebuah berita kita tayangkan, berarti ANTV bertanggung-jawab atas berita tersebut. Dari mana pun sumbernya: kontributor, stringer, atau amatir. Bila terjadi gugatan atas berita yang sudah tayang, maka ANTV yang bertanggung jawab,” tambahnya.

Namun, lanjut Muchlis, terhadap perilaku tim liputan di lapangan, ANTV hanya bertanggung jawab pada tim liputan yang resmi dan dilengkapi dengan ID, atau stringer yang memang sudah diketahui dan memang dimintai bantuan oleh ANTV. Di luar tim itu, ANTV tidak bertanggung jawab.

Tidak disebutnya para stringer dalam berita tersebut terjadi karena mereka memang tidak punya ikatan apa pun dengan perusahaan media di Jakarta. Mereka bekerja untuk koresponden, bukan untuk perusahaan media. Itu pun tanpa ikatan yang jelas. Tidak ada hitam di atas putih atas kerjasama tersebut. Nasib stringer hanya bergantung pada kebaikan hati koresponden.

Sebagian TV tidak memperbolehkan sama sekali meski diam-diam wartawannya juga kadang pakai jasa stringer. ANTV misalnya memang tidak mengizinkan kontributornya untuk menggunakan stringer. Bahkan, menurut Muchlis, ANTV menghentikan beberapa kontributor karena masalah stringer ini. “Tapi melihat peta kebutuhan yang terus meningkat, penggunaan stringer kadang kita tolerir dengan syarat persetujuan dan sepengetahuan kantor. Prinsipnya kontri tidak boleh menjadi broker, dengan mensub-kan pekerjaan ke pihak lain,” katanya.

Tapi tak hanya stringer, nasib koresponden itu sendiri pun tidak terlalu jelas. Mereka bekerja tanpa kontrak dengan perusahaan media yang mempekerjakan mereka.

Menurut Sekretaris Redaksi Metro TV Edi Hidayat, Metro TV menggunakan istilah kontributor, bukan koresponden, untuk wartawan mereka di daerah. Ikatan antara Metro TV dengan kontributor, lanjut mantan wartawan Media Indonesia ini, hanya pada produk. Meski demikian Metro TV juga memberikan pembinaan dan pengembangan pada kontributor. Pembinaan tersebut misalnya terkait dengan kemampuan teknis jurnalisme TV.

Tidak ada kontrak kerja antara kontributor dengan Metro TV. “Garis kasarnya, kami bayar (produk) yang kami beli,” katanya.

Produser Eksekutif dan Liputan TV One Agung Rulianto mengatakan tidak tahu urusan ketenagakerjaan antara kontributor dengan TV One. Dia mengatakan bahwa urusan ketenagakerjaan adalah urusan bagian HRD, bukan redaksi. “Kami ini hanya user (jasa kontributor),” jawabnya ketika ditanya tentang kebijakan TV One tentang kontributor.

“Lebih jelasnya silakan tanya ke bagian HRD,” lanjutnya.

Namun pada dasarnya hubungan ketenagakerjaan antara kontributor dengan TV tempat mereka bekerja memang tidak ada kontrak kerjanya. Toh meski tanpa kontrak yang jelas, mereka bisa diperintah sesuai keinginan medianya.

Ini yang membuat pekerjaan sebagai stringer alias tuyul itu jadi berbeda dengan wartawan freelance pada umumnya. Wartawan freelance memang bekerja tanpa terikat dengan satu media pun. Namun mereka juga bebas menjual karya jurnalistiknya pada siapa pun. Wartawan freelance juga tidak bisa diperintah oleh media apa pun kecuali atas kesepakatan bersama.

Dalam kasus stringer alias tuyul, ini tidak berlaku. Mereka tidak pernah dikontrak secara hitam di atas putih, namun mereka terikat. Antara lain tidak bisa menjual berita ke media lain. Begitu pula nama mereka yang tidak pernah disebut dalam karya jurnalistik mereka. Hal ini karena keberadaan mereka secara hukum memang tidak diakui oleh perusahaan media.

“Saya tidak tahu persis kenapa mereka tidak mengakui keberadaan saya. Mungkin karena kebijakan mereka yang begitu,” tambah Aris.

Mempekerjakan stringer tanpa status itu bisa dikataka tidak fair. Koresponden dipekerjakan oleh media namun dia malah mempekerjakan orang. “Tapi kalau dilihat dari sisi lingkup kerjaan, itu fair,” kata Gita Imanda. “Dia (koresponden) kan menawarkan. Lu kerja, tapi bayarane sak mene (segini). Kalau stringer mau ya selesai kan masalah itu,” tambahnya.

Menurut Gita, perusahaan media sebenarnya tahu bahwa korespondennya menggunakan orang lain untuk bekerja. “Tapi Jakarta tidak peduli selama kita dapat berita. Mau berita nyuri, nyopet, itu tidak masalah. Mereka hampir sama sekali tidak mempersolkan dan menilisik dari mana saja wartawan mereka dapat berita. Meskipun mereka tahu si wartawan ini punya anak buah,” ujarnya.

Tidak jelasnya hubungan kerja dengan tuntutan kerja yang berat inilah yang disebut Rio sebagai sebuah perbudakan modern. “Stringer itu dieksploitasi tenaga kerjanya untuk memperkaya orang lain,” katanya.

Karena tidak diakui itu, maka stringer pada umumnya tidak mendapat identitas dari perusahaan media. “Saya terpaksa membuat identitas palsu untuk stringer saya,” kata Made Mahendra, kontributor TV One.

Dalam ID Card itu, Aris disebut sebagai Cameraman Kontributor TV One. Tidak ada tanda tangan siapa pun di identitas tersebut. Juga tidak ada masa berlakunya sampai kapan. “Saya juga merasa malu untuk menunjukkan identitas itu pada teman-teman lain,” aku Aris. Maka dia lebih sering menyimpan ID itu di dalam tas handycam dibanding menggantungkannya di leher.

Dua stringer lain, Onok dan Sujana, malah tanpa identitas sama sekali. “ID itu tidak penting. Yang penting bisa liputan,” kata Sujana.

“Toh tidak pernah ada masalah karena tidak punya ID. Ketika liputan bareng dan situ semuanya kenal, ya sudah. Tinggal ikut saja,” ujar Onok.

Nyaris semua stringer di Bali tidak punya identitas sebagai wartawan. Namun mereka tidak pernah dapat masalah karena tanpa identitas itu karena liputannya lebih banyak dilakukan bersama wartawan lain. “Kami ikut saja sama wartawan yang punya identitas jelas seperti wartawan cetak atau kontributor. Begitu ditanya narasumber baru menyebut diri sebagai wartawan media tempat kami bekerja itu. Kalau liputan grudugan (bersama-sama) ya lebih gampang,” kata Yudha Maruta, mantan stringer TPI.

Itulah jawabannya. Tanpa ID Card sebagai wartawan itu, stringer hanya lebih banyak melakukan liputan bersama dengan wartawan lain yang resmi diakui oleh perusahaan.

Stringer jarang liputan sendiri. Mereka lebih mengandalkan kalau ada berita peristiwa. “Itu berpengaruh. Silakan lihat sendiri. Para stringer itu bekerja tanpa arahan untuk meliput. Ketika keluar rumah mereka tidak punya agenda karena tidak tahu apa-apa dan tanpa perencanaan. Lahirlah gerombolan orang yang hanya mengandalkan kamera untuk mencari berita. Mereka hanya nebeng pada wartawan lain,” tuding Syafruddin.

“Ini penghancuran terhadap jurnalisme TV,” tambahnya.

Meski posisinya lemah, para stringer tersebut memang tidak pernah mempersoalkan masalah ini. Ada beberapa penyebab. Selain faktor ekonomi, karena mereka merasa sudah puas dengan honor sebagai stringer, sebagian juga karena alasan belajar.

Sujana, alumni SMK Broadcasting di Singaraja, merasa bekerja sebagai stringer untuk Agus Astapa adalah bagian dari proses belajarnya. Meski pernah magang di TVRI Bali dan bekerja di Dewata TV, Sujana mengatakan bahwa kerja sebagai stringer di ANTV tetap lebih menarik.

Hal yang sama dikatakan Onok. Menurutnya, menjadi stringer tidak harus selalu berpatokan pada materi tapi juga belajar. “Pembagian kerja di Indonesia kan belum ada jadi aku harus ikut proses belajar. Salah satunya mungkin jurnalis,” katanya.

“Tapi alasan itu kecil, dan klasik. Intinya itu cari duit,” pungkas Rio.

Hal lain yang mengikat para stringer tersebut adalah mimpi. Mereka bermimpi bahwa suatu saat ketika TV tempat mereka bekerja membutuhkan koresponden, maka otomatis para stringer tersebut akan diangkat. Aris misalnya yakin bahwa kalau TV One bikin biro, maka yang akan diambil tentu orang yang punya track record alias sudah biasa kerja dengan mereka. “Ya, hanya modal keyakinan bahwa akan direkrut,” akunya.

Tapi mimpi ini sebenarnya jarang menjadi kenyataan. Sebagian besar koresponden TV nasional di Bali saat ini bukanlah bekas stringer di TV bersangkutan. Misalnya koresponden Trans TV, Nyoman Wiryadinata. Meski pernah bekerja untuk TPI, Nyoman justru jadi koresponden Trans TV. Atau Made Mahendra yang sebelumnya jadi stringer untuk Indosiar sebelum jadi koresponden TV One.

Sampai saat ini hanya ada satu koresponden di Bali yang memulai karir dari stringer di TV tersebut, Lutfi Setiawan. Dari yang semula membantu koresponden Global TV di Bali, Lutfi kemudian diangkat jadi koresponden ketika koresponden lama dipindah ke Jakarta.

Menurut Rio mimpi itu memang sengaja dipelihara oleh koresponden agar para stringer tetap mau bekerja dengan mereka. Untuk mengangkat koresponden, itu juga hak prerogatif perusahaan, bukan koresponden lama. “Saya beranggapan bahwa Jakarta itu punya hak prerogatif. Tidak peduli kau sudah punya stringer lama atau tidak, kalau aku mau ganti orang baru, kau jangan teriak-teriak,” kata Rio.

Ada memang peningkatan status dari stringer jadi kontributor, tapi nasibnya juga tidak jauh berbeda. Hal ini dialami oleh para mantan stringer RCTI, TPI, dan Global. Sejak Agustus tahun lalu, para stringer ini naik status jadi kontributor. Ini terjadi menyusul diterapkannya sistem outsourcing oleh media-media milik Media Nusantara Citra (MNC) tersebut.

Sejak Agustus tahun lalu, baik koresponden maupun stringer itu dijadikan satu dalam perusahaan baru Bali Music Channel (BMC). TV baru ini merupakan jaringan lokal dari Sun TV, milik MNC. Sun TV dibentuk MNC untuk menjawab persoalan setelah disahkannya Undang-undang Penyiaran yang mengatur agar TV nasional bekerja sama dengan TV lokal. Sun TV memiliki jaringan di sebelas daerah termasuk Bali.

Setelah ada BMC TV, koresponden dan stringer kini bekerja tidak lagi pada media-media TV dalam grup MNC seperti RCTI, TPI, dan Global. Secara legal, mereka terikat ketenagakerjaannya dengan BMC. Dari BMC, berita itu dijual pada Sun TV yang kemudian menjualnya kembali pada TV jaringan MNC.

Bagi Gita Imanda, Eksekutif Produser BMC hal ini membuat ongkos bagi perusahaan-perusahaan media TV itu makin murah.

Bagi kontributor yang sebelumnya sebagai stringer, hal ini juga lebih fair. “Lebih enak jadi kontributor karena ada kejelasan. Hierarkinya lebih jelas. Bisa langsung berhubungan dengan Jakarta, tidak melalui dua meja seperti sebelumnya. Sekarang begitu ada berita bisa langsung minta agar dimuat,” kata Yudha, mantan stringer TPI yang sekarang jadi kontributor BMC.

“Kalau jadi stringer benar-benar buruh. Kalau kontributor kan lebih merasa aman dan tenang karena ada hubungan dengan satu perusahaan,” lanjutnya.

Tapi toh kontributor juga hanya mendapat pengakuan. Secara hak sebagai pekerja tidak terlalu banyak yang berubah. Misalnya soal fasilitas kantor. Sebagai kontributor, mereka harus bekerja menggunakan fasilitas sendiri. Kamera dan laptop, misalnya, adalah milik mereka. Begitu pula kalau kirim berita. Mereka tidak bisa menggunakan fasilitas kantor kecuali kalau ada berita yang sangat mendesak. Sehari-hari mereka lebih sering mengirim berita dari warnet.

Karena BMC punya dua reporter dan empat kontributor di Denpasar, maka wilayah kerja kontributor juga makin sempit. Mereka harus bertarung dengan sesama kontributor lain. Parahnya lagi, tidak ada pembagian wilayah liputan di antara sesama kontributor.

“Sebenarnya tidak akan terjadi kalau mereka mau diatur. Cuma orang kan tidak suka diatur. Ya terserah mereka mengatur diri sendiri,” jawab Gita.

Maka, para kontributor itu tak harus menghadapi sistem kerja yang tidak adil. Mereka juga harus bersaing dengan teman-teman sendiri.. [a!]

Catatan:
Liputan ini dibuat dalam program beasiswa liputan Independensi dan Profesionalisme Media yang diadakan oleh AJI Indonesia bekerja sama dengan Yayasan Tifa. Hasil liputan dalam bentuk yang sudah diedit dimuat di buku Wajah Retak Media, Kumpulan Laporan Penelusuran yang diterbitkan AJI Indonesia dan Yayasan Tifa, Mei 2009.

6 Comments
  • asn
    July 21, 2009

    lengkap banget ulasannya. kaya ulasan di tempo 😀

  • PanDe Baik
    July 21, 2009

    ck ck ck… ne mare ye adane Wartawan… mengungkap secara lengkap dan tajam… setajam silet katanya Cengblonk. 🙂

  • wira
    July 21, 2009

    bener2 mantep… walopun cuma baca setengah dari depan dan kalimat paling belakang, hehehe…

  • sugeng
    July 21, 2009

    Wah ulasan yang lengkap tapi ada yang salah.
    “Lapangan Puputan Badung adalah alun-alun kota Denpasar. Disebut lapangan Puputan Badung karena di tempat inilah pada 20 September 2006 terjadi perang besar-besaran, dalam bahasa disebut puputan, antara Puri Badung dengan prajurit Belanda”. Apa benar terjadi tahun 2006, padahal tahun itu aku sering nongkrong disana tapi koq gak pernah liat kompeni VOC memanggul senjata. 🙂
    Btw, koq segitunya juga ya kerja sebagai peliput berita ??? padahal sering di media ditanyangkan hal2 negatif di bidang /lokasi kerja lain. Eh…. gak tahunya “jeruk makan jeruk”.

  • Mo
    July 25, 2009

    top banget ulasannya.

  • pushandaka
    July 25, 2009

    Menarik juga pekerjaan jadi tuyul..

    Paling ndak, hobby video recording bisa menghasilkan sedikit uang. Gitu ya, Ton?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *