Tuna Kuning Made In Bali

0 No tags Permalink 0

Satu dari dua tempat pembudidayaan tuna sirip kuning di dunia dibuka di Bali. Tempat belum siap, calon induk belum didapat.

Selasa pekan lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri meresmikan fasilitas riset pembenihan dan pembudidayaan tuna di Bali. Fasilitas ini merupakan tempat pembenihan dan pembudidayaan kedua di dunia setelah di Panama. Tuna yang dikembangkan jenis tuna sirip kuning (Thunnus albacares). Di pasaran lebih dikenal dengan nama Yellow Fin Tuna.

Tuna sirip kuning sendiri merupakan salah satu jenis tuna yang banyak disukai masyarakat Jepang. Jenis ini memiliki ukuran 60 cm sampai 200 cm dengan berat ketika besar antara 80 kg hingga 180 kg. Secara fisik bentuk tubuhnya mirip gelondong dengan warna biru metalik pada bagian belakang, warna ekor putih keperakan, mata kecil dan bentuk tubuh yang ramping, dan dikenal dengan sirip dada yang panjang. Jenis lain tuna yang sering dikonsumsi adalah tuna sirip biru (Thunnus maccoyii) yang di pasar dikenal dengan nama Blue Fin Tuna dan tuna mata besar (Scombridae Thunnus obesus).

Pembibitan dan pembenihan ini berada di Balai Riset Kelautan dan Perikanan di Desa Gondol, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali bagian utara. Berada di bibir pantai utara Bali. Terpisah dengan pemukiman hanya oleh jalan raya Gilimanuk-Singaraja. Jaraknya sekitar 50 km dari Singaraja ke arah Gilimanuk atau 240 km dari Denpasar.

Pembangunan fasilitas ini adalah tindak lanjut kerjasama antara Departemen Kelautan dan Perikanan dengan Overseas Fishery Cooperation Foundation (OFCF) Jepang. Pemerintah Indonesia menyediakan lahan dan tenaga teknis sedangkan OFCF memberikan bantuan dana sebesar Rp 10 milliar selain juga tenaga ahli. Untuk tahap awal, tahun ini baru diberikan sekitar Rp 7 milliar.

Secara umum tempat pembibitan dan pembenihan ini terdiri dari empat bagian. Pertama medical bath tank untuk tempat mengobati ikan yang baru ditangkap dari laut. Induk ini didapat dari laut lepas dengan cara memancing. Menurut Ngurah Permana, salah satu staf ahli di pembibitan dan pembenihan tersebut, pancing yang digunakan buatan Jepang dan Taiwan. Untuk menyebmbuhkan luka pancing ini, medical bath tank dilengkapi semacam antiseptik erabazu (ini nama merk) dengan komposisi 10 part per million (ppm).

Ada dua medical bath tank yang masing-masing dengan tinggi 30 cm dan diameter 1,25 meter. Kapasitasnya bisa untuk 10 ekor calon induk di tiap kolam. Kedua, aclimation tank yaitu kolam untuk membiasakan calon induk tuna dengan lingkungannya. Ada dua kolam yang dalamnya 3,45 m dengan diameter 10 m. Juga dilengkapi observation view untuk tempat melihat bagaimana ikan itu beraktivitas sehari-harinya. Ketiga, broodstock tank atau tempat pembiakan tuna. Di kolam berukuran dalam 6,75 m dan diameter 18 m inilah induk-induk tuna itu akan bertelur. Kapasitas kolam ini mencapai 70 ekor. Keempat adalah tempat untuk menetasnya telur-telur tersebut.

Calon induk tuna ini didapatkan dari laut lepas. Setiap minggu, mereka “melaut” empat hari dari pukul 08.00 wita hingga 14.00 wita untuk mencari calon induk ini. Dalam satu boat terdapat satu tenaga ahli, satu kapten, satu teknisi, dan dua nelayan. Calon induk ini didapat dari perairan Bali antara Singaraja dan Negara. Menurut Ja’far, salah satu nelayan yang ikut melaut, calon induk ini memang hanya terdapat di daerah perairan tersebut. Calon induk yang dicari ini maksimal memiliki berat 5 kg. Hal ini, menurut Ngurah untuk memudahakan pemeliharaan.

Sayangnya, hingga saat ini belum satu pun calon induk yang dipelihara di kolam tersebut. Menurut Ja’far, dia sudah mencari calon induk ini sejak dua bulan yang lalu. Warga asli Gondol ini mengaku tiga kali dapat calon induk, namun baru beberapa hari sudah mati. “Hingga hari ini kami belum dapat lagi,” katanya. Maka hingga Sabtu pekan lalu, belum satu pun induk tuna yang dipelihara.

Calon induk tuna yang didapat akan ditempatkan di medical bath tank untuk menyembuhkan luka bekas pancingan. Setelah itu di aclimation tank untuk beradaptasi dengan lingkungan. Makanya di bak kedua ini, warna dasarnya biru. “Waktunya tergantung seberapa cepat ikan itu bisa terbiasa dengan habitat barunya,” ujar Ngurah. Setelah familiar, barulah calon induk itu dipindah ke kolam yang jauh lebih besar tadi, brodstock tank. Di kolam ini ikan itu akan menjalani hidup sebagaimana di laut. Makanan yang diberikan berupa alga (Nannochrolopsis oculata) yang dikembangbiakkan di tempat tersebut. Jumlah makanan ini antara 3%-5% dari berat ikan. Setelah ikan mencapai berat 10 kg, mereka baru akan bertelur.

Telur yang didapat itu akan dipisahkan dengan induk di tempat tersendiri. Itupun dibedakan lagi antara yang masih berbentuk telur dan larva. Bahan makanan larva ini adalah plankton sama seperti indukk ikan. Sedangkan untuk telur menggunakan rotiver (Brachionnus plicatilis).

Nah, setelah tuna kecil ini layak untuk hidup di laut, ikan-ikan ini akan dilepas ke laut lepas. Menurut Ngurah Permana, target pembibitan dan pembenihan ikan tuna sirip kuning ini memang untuk restocking ikan tuna sirip kuning di laut. Sebab selama ini Jepang dikenal sebagai negara yang paling banyak mengkonsumsi tuna.

Comments are closed.