The Power of Small Farmers

simpatik02

Dari ketinggian Tanah Pasundan, petani-petani kecil ini membantah mitos tentang kedaulatan pangan.

Selama ini sudah kadung melekat di kepala banyak, urusan pangan hanya bisa dipenuhi industri pertanian berskala besar. Mitos tersebut terus disebar oleh perusahaan-perusahaan pertanian didukung pemerintah dan para peneliti.

Revolusi Hijau hanya salah satu contoh bagaimana mitos tersebut dibangun terus menerus dan dianggap sebagai kebenaran. Kedaulatan pangan hanya bisa dihasilkan dengan input kimia sebanyak-banyaknya.

Tapi, petani-petani kecil yang kami kunjungi selama Pertemuan Tahunan Mitra atau Annual Partner Meeting (APM) 2014 VECO Indonesia kali ini telah membantahnya. Dari lahan-lahan sempit dan terbatas, petani di dua lokasi yang kami kunjungi tak hanya mencukupi kebutuhan mereka sendiri tapi juga ekspor ke negara lain.

Ada dua lokasi yang kami kunjungi yaitu di Tasikmalaya dan Lembang.

Pertama, Kelompok Tani Simpatik di Desa Mekarwangi, Kecamatan Cisayong, Tasikmalaya. Perjalanan ke sini sekitar 2-3 jam dari Bandung dengan bus. Jalan naik turun dan berkelok lumayan melelahkan.

Begitu tiba di Cisayong, belasan petani laki-laki berpakaian adat Sunda menyambut sekitar 90 peserta APM 2014. Selama empat jam, kami belajar dari mereka. Lokasinya di gudang beras organik maupun tempat penggilingan dan pengemasan serta di sawah.

Sekitar 1.500 anggota kelompok ini merupakan petani kecil. Luas lahan mereka rata-rata kurang dari 1 hektar. Namun, mereka bisa mendapatkan rata-rata 7-8 hektar padi organik tiap musim panen.

Tak hanya untuk kebutuhan sendiri, para petani juga mengekspor beras organik tersebut ke berbagai negara seperti Amerika Serikat, Jerman, Singapura, dan lain-lain. Tiap kali ekspor, mereka bisa mengirim 20-25 ton beras organik ke negara tujuan.

Salah satu profil yang menarik di sini adalah Pak Kribo. Nama aslinya Hendra Affandi. Aku pernah bertemu dia sekitar empat tahun lalu di Bondowoso, Jawa Timur di pertemuan petani juga. Kisah hidupnya unik. Ngomongnya lucu. Dari dunia gelap, begitu dia menyebut masa lalunya, kini dia kembali ke desa dan bertani organik.

Pengen juga kapan-kapan bisa seperti dia. ?

lembang04

Kedua, Kelompok Tani Mekar Jaya di Lembang, Bandung Utara. Di daerah pegunungan berhawa sejuk ini, petani menghasilkan produk hortikultura dengan standar mutu internasional. Tak sedikit dari kebun tersebut “hanyalah” halaman depan, belakang, ataupun samping rumah mereka.

Namun dari lahan-lahan sempit tersebut, mereka bisa mengirim sayur ke berbagai kota dan negara, seperti Bandung, Jakarta, Bali, bahkan Papua. Tiap minggu mereka menjual 150 ton sayur dengan keuntungan Rp 3.000 per kg.

Ketika di sana, kami bisa melihat ibu-ibu rumah tangga atau anak-anak lagi menyiram kebun di depan rumah. Ada yang sedang panen, menyiapkan lahan baru, atau mengemas sayur agar siap kirim. Pertanian skala rumah tangga ini menghidupkan desa berjarak sekitar 1,5 jam perjalanan dari Bandung itu.

Profil yang menarik di sini adalah Pak Doyo Iskandar. Alumni STM ini beralih jadi petani dan menggerakkan para warga untuk bertani secara profesional. Orangnya lucu juga. Kritiknya pada pemerintah dan pihak swasta juga pedas.

Diskusi dengan petani Mekar Tani Jaya di Lembang melengkapi kunjungan sebelumnya di Gapoktan Simpatik Tasikmalaya.

Menariknya, kedua kelompok tersebut bisa memproduksi komoditas secara mandiri. Mereka tidak tergantung sepenuhnya pada korporasi. Petani padi di Tasikmalaya membuat sendiri benih, pupuk, dan pestisida organik. Petani di Lembang pun demikian meskipun bibit masih membeli dari perusahaan.

Keduanya membuktikan mereka bisa mencukupi kebutuhan sendiri, memberi makan dunia, dan tetap menjaga keberlangsungan bumi.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *