Teknologi yang Menurunkan Kualitas Jurnalisme

0 , Permalink 0

Teknologi memang serupa belati.

Ide menulis tentang tema ini muncul begitu saja ketika ngobrol dengan Mas Rofiqi Hasan beberapa waktu lalu. Dia cerita soal makin banyaknya wartawan di Denpasar yang suka kloning berita. Kami ngobrol santai pas selesai diskusi tentang jurnalisme warga di Denpasar.

Salah satu obrolan kami adalah bahwa makin banyaknya praktik kloning oleh wartawan itu terjadi, antara lain karena makin mudahnya menyalin tempel berita. Tak hanya teks, malah kadang juga video.

Aku jadi ingat idiom lama bahwa teknologi memang serupa belati itu tadi. Berguna tidaknya belati tergantung siapa yang memegangnya. Di tangan tukang jagal hewan, belati amat membantu pekerjaannya. Tapi, di tangan anak kecil, belati bisa sangat berbahaya. Apalagi jika di tangan orang gila!

Begitu pula teknologi. Dia bisa berguna atau berbahaya apa tergantung siapa yang memegang dan memanfaatkannya. Hal ini termasuk dalam dunia jurnalisme. Berguna tidaknya teknologi bergantung pada jurnalis seperti apa yang menggunakannya.

Ada yang menggunakan teknologi informasi ini untuk mempermudah pekerjaan jurnalistik. Misalnya, riset tema liputan, mengetahui latar belakang narasumber, mencari referensi, dan seterusnya. Dengan pengetahuan, narasumber, dan referensi bagus, seharusnya sih, kualitas liputan dan hasilnya juga bagus.

Namun, teknologi (informasi) juga bisa menurunkan kualitas jurnalisme itu sendiri.

Dari sisi cara bekerja, misalnya. Dulu wartawan harus ke lapangan untuk mencari informasi sendiri. Karena ke lapangan, maka wartawan bisa menyampaikan informasi dengan lebih lengkap, detail, dan, dalam bahasa gaul ala media, “basah”.

Bagaimana pun juga, liputan ke lapangan itu proses yang tak tergantikan.

Lalu, datanglah teknologi semacam surat elektronik (email). Wartawan tak perlu repot-report karena staf humas, terutama dari instansi pemerintah, dengan mudah mengirimkan siaran pers dalam bentuk word. Kemudian, dengan mudahnya, wartawan pemalas tinggal menyalin tempel siaran pers tersebut. Tanpa edit. Tanpa mengubah titik koma.

Masih banyak wartawan yang tidak mau melakukan hal semacam ini. Namun, makin banyak pula wartawan yang kini tak mau liputan ke lapangan selain karena malas juga karena banyaknya beban pekerjaan. Mereka lebih suka menerima siaran pers.

Perilaku salin tempel (copy paste) ini biasa terjadi pula sesama wartawan. Istilahnya, kloning. Satu wartawan yang punya berita tertentu, bertukar tulisan jadi dengan wartawan yang punya berita lain.

Masih mending kalau berita tersebut hanya menjadi latar belakang. Sebagian malah kloning plek tanpa mengubah sedikit pun berita tersebut. Kloning berita tak mungkin terjadi tanpa kemudahan teknologi informasi.

Maka, tak usah heran jika isi media pun satu sama lain tak jauh berbeda. Tak cuma tema tapi juga narasumber, sudut pandang, bahkan gaya tulisan. Lha wong sebagian hasil contekan.

Keterangan: ilustrasi disalin tempel dari windows8transfer.com.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *