Perempuan itu membuka pakaiannya satu per satu.
Jilbab, baju, celana, lalu terakhir dia hanya mengenakan kutang dan celana dalam. Perempuan itu sedang berada di kamar tertutup sebuah hotel di Jenewa, Swiss.
Maka, menulislah untuk berbagi. Agar ceritamu abadi.
Setelah proses selama sekitar enam bulan, buku ini pun terbit juga.
Buku God Do You Speak English? ini karya tiga orang yaitu Jeff Kristianto, Nina Silvia, dan Rini Hanifa. Mereka sukarelawan di VSO, lembaga berkantor pusat di Inggris yang memfasilitasi para sukarelawan untuk bekerja di daerah tertentu.
Jeff menjadi sukarelawan di Tajikistan. Nina di Bangladesh. Rini di Guyana, Amerika Latin. Masing-masing bekerja membantu komunitas lokal selama di sana. Misalnya Jeff dengan para perajin. Nina membantu komunitas Suku Asli. Rini membantu warga desa.
Referensi tentang jurnalisme warga di Indonesia masih langka.
Citizen Journalism: Pandangan, Pemahaman, dan Pengalaman adalah buku kedua tentang tema jurnalisme warga di Indonesia yang aku baca. Penulis buku ini Pepih Nugraha,
Kata pertama ketika mendapat buku ini adalah, “Gila!”
Ungkapan tersebut campuran antara rasa kagum dan jengah. Kagum karena ternyata ini ada anak baru gede alias abege yang masih SMA tapi sudah menulis buku tentang Bali. Ketika anak-anak seumurannya lebih banyak menggalau dan menggaul, Nilam Rahma Hanjayani, lahir pada 8 Maret 1996, sudah menulis buku ini.
Kerennya lagi, Nilam ini bukan orang Bali ataupun Hindu. Dia juga tidak tinggal di Bali. Tapi, ternyata dia bisa menuliskan tentang hal amat penting bagi orang-orang Hindu di Bali, jejak sejarah pura-pura di sepanjang Sungai Pakerisan, Bali.
Di tengah langkanya referensi tentang jurnalisme warga, buku ini serasa pelepas dahaga.
Buku yang diterbitkan Peter Lang, New York tahun 2009 ini memberikan gambaran bagaimana praktik jurnalisme warga tak hanya diterapkan tapi juga bisa mendorong perubahan di banyak negara. Melalui contoh-contoh di Irak, China, Amerika Serikat, India, Australia, dan negara-negara lain, para penulis menegaskan bahwa perubahan warga sekaligus sebagai pewarta bukanlah hal mustahil.
Media massa itu semata memberitakan apa yang ingin mereka sampaikan.
Berita, lewat media apa saja, merupakan hasil saringan wartawan dan media itu sendiri. Ada sudut pandang wartawan, pemilihan oleh tim redaksi, juga politik media yang memberitakan. Di balik berita, banyak fakta “pertarungan” antar-media atau sesama wartawan di satu media.
Media massa yang disebut sebagai media mainstream (media arus utama) kurang memberi tempat bagi kelompok-kelompok marjinal. Lihatlah TV, maka kita lebih sering melihat wajah-wajah penguasa modal politik, ekonomi, maupun sosial. Bacalah koran maka nama-nama sama juga yang kita temukan. Kelompok-kelompok yang tak punya cukup modal hanya diposisikan sebagai konsumen media, bukan produsen, atau setidaknya dilibatkan.
Namun kelompok tak cukup modal politik, ekonomi, dan sosial itu punya kekuatan lain yaitu komunalisme. Mereka dipersatukan oleh kesamaan latar belakang sosial maupun geografis. Bermodal komunalisme ini ternyata mereka bisa meninggikan posisi tawar dalam praktik penyebaran informasi. Mereka tak lagi hanya mengonsumsi informasi, tapi memproduksinya.