Perempuan-perempuan Itu Hanyalah Korban

22 , , , Permalink 0

Perlu waktu sekitar 2,5 jam untuk sampai desa itu. Dari jalan raya Karangasem-Singaraja, kami masih masuk sekitar 4 kilometer dari jalan raya itu. Dari aspal, ganti jalan berdebu. Naik turun jalan berbatu. Di sepanjang jalan, sisa-sisa letusan Gunung Agung yang membatu memenuhi bekas sungai yang kini kering. Desa di kaki gunung tertinggi di Bali itu memang kering. Udaranya panas.

Maka, bagi sebagian besar warga, pilihannya adalah keluar desa. Mereka mekuli, meburuh, dan meninggalkan desanya untuk ke kota. Ada yang jadi sopir, buruh bangunan, pembantu rumah tangga, dan pekerjaan lain yang secara sosial ekonomi masuk kelas rendah. Laki-laki yang paling banyak pergi. Meninggalkan anak dan istri di kampung.

Continue Reading…

Mendaftarlah, Mumpung Masih Ada Waktu..

7 , , , , Permalink 0

Tak terasa, pendaftaran lomba blog remaja akan segera ditutup. Jadi, silakan segera daftarkan diri sebelum 12 September ini kalau Anda belum mendaftar. Masih ada waktu sekitar satu minggu untuk membuat artikel yang ciamik dan nyambung dengan dunia remaja.

Temanya gampang dibahas, kok. Soal kesehatan reproduksi dan dan seksualitas remaja, Narkoba, HIV dan AIDS, lingkungan, maupun kemanusiaan. Buat tulisannya jangan serius-serius. Yang santai saja. Biar nanti enak bacanya. Kalau asik dan dapat juara pertama, lumayan bisa dapat duit Rp 1,5 juta. Atau Rp 500 ribu untuk juara ketiga.

Continue Reading…

Membantu Produsen, Mengingatkan Konsumen

Setelah produksi pertanian sudah terpenuhi, VECO Indonesia kini mendorong konsumen agar lebih peduli produk pertanian sehat. Tulisan ini adalah bagian ketiga dari tulisanku untuk LONTAR, media internal VECO Indonesia, LSM tempat aku kerja part time.

Setelah divonis oleh dokter bahwa dirinya terkena penyakit diabetes 16 tahun lalu Nuraini pun mulai mengonsumsi beras organik. “Saya ingin menjaga kesehatan saya tanpa mengonsumsi beras yang sudah tercemar pestisida,” kata ibu dua anak ini. Nuraini, pegawai di Fakultas Pertanian Universitas Tunas Pembangunan (UTP) Solo ini yakin bahwa beras organik lebih sehat dan bagus untuk mencegah dampak lebih buruk diabetes. “Sejauh ini saya bisa menjaga berat badan tetap sehat dan stabil,” katanya.

Continue Reading…

Bali farmer discovers benefits of going organic

– July 20, 2007

Anton Muhajir, Contributor, Tabanan

When I Gede Hanjaya’ wife Franziska Rapp was suddenly diagnosed with breast cancer, her doctor suggested she undergo surgery and avoid foods with chemical additives.

Hanjaya, a successful garment manufacturer, changed his life to do so. Leaving his business, he developed an organic farming site in his hometown of Tabanan regency, around 70 kilometers west of Denpasar.

“I wanted to produce healthy food for my family,” he said.

For the last 10 years, Hanjaya and his family have consumed fresh, chemical- and pesticide-free produce, with good results.

Continue Reading…

Resistant virus threatens people with HIV/AIDS

0 , , , , Permalink 0

The Jakarta Post , Jakarta | Thu, 02/08/2007 4:57 PM | Life

Anton Muhajir, Contributors, Denpasar

Thirty-four-year Agung has serious problems with his eyesight. His right eye is not functioning at all, while the vision in his left eye is filled with black dots. Agung works as a truck driver delivering gasoline from the Pesanggaran area of South Denpasar to places throughout the provincial capital of Bali.

For the last few months, Agung could no longer see things clearly. The father of one can see nothing but blurred images within a five-meter distance.

Continue Reading…

Balita Bali Diduga Terinfeksi

0 , Permalink 0

Seorang bayi di bawah lima tahun (balita) di Bali diduga terinfeksi penyakit avian influenza (AI) yang lebih dikenal dengan nama flu burung. Anak berumur 3,5 tahun bernama Kadek Heri Darmaputra tersebut merupakan putra kedua pasangan I Kadek Adnyana, 29 tahun, dan Ni wayan Sumiati, 28 tahun, warga Banjar Senganan Kangin, Desa Senganan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali.

Dugaan bahwa Kadek Heri terinfeksi flu burung diketahui Minggu (25/1) lalu. Pada hari Manis Kuningan (sehari setelah hari raya Kuningan di Bali) tersebut, Kadek Heri belum juga sembuh setelah sakit sejak dua minggu sebelumnya. Balita yang belum sekolah itu menderita panas sampai 39 derajat celcius, pilek, dan kejang atau step. Padahal Kadek Heri sudah dibawa ke bidan, mantri, maupun puskesmas setempat. Tiga kali berobat, Kadek sudah diberi sirup penurun panas. “Tapi kondisi anak tiang tidak berubah,” kata Sumiati.

Continue Reading…

Makan Ayam Tolak Flu Burung

0 , Permalink 0

Meski relatif sedikit, flu burung juga menyerang Bali. Dikhawatirkan berdampak ke pariwisata.

Hari-hari ini, ada pekerjaan tambahan yang mesti dipikirkan I Gusti Made Alit Ekaputra. Kepala Dinas Peternakan Provinsi Bali itu punya agenda tambahan yang sebenarnya bukan wilayah kerjanya. Untuk itu, Alit Ekaputra mesti berurusan dengan Dinas Kesehatan dan Dinas Pariwisata Bali. Rencananya, Rabu besok, dinas yang dipimpinnya akan mengundang puluhan wartawan dan turis di Bali untuk… makan ayam!

Acara makan-makan itu, tambah Alit, dilakukan sebagai bagian dari kampanye bahwa hingga saat ini masih aman mengkonsumsi ayam goreng, ayam panggang, maupun jenis masakan ayam lainnya di Bali. Targetnya, warga Bali dan terutama turis tidak akan terganggu isu internasional yang saat ini menghantui beberapa negara yaitu flu burung. “Dengan demikian, Bali masih layak dikunjungi turis,” katanya.

Continue Reading…

Kosongnya Kandang Ayam Kami

0 , , Permalink 0

“Kalau semua ayam sudah mati, lalu saya mau buruh ke siapa?” tanya I Kadek Yoga seperti bergumam. Buruh peternakan ayam itu melihat ke arah dua kandang di depannya.

Satu kandang hanya tersisa tak sampai sepuluh ekor. Satunya lagi malah kosong melompong. Tiga ekor ayam tergeletak di tanah bercampur kotoran ayam. Siang itu, Kadek Yoga hanya bersarung dan bertelanjang dada. Sejak pagi, dia mempersiapkan diri untuk balik ke kampungnya.

Continue Reading…

Infeksi Multiorgan pada si Kecil

0 , , Permalink 0

Seorang bayi di Denpasar karena infeksi multiorgan. Kini dia juga terkena penyakit yang lebih mematikan, infeksi kelenjar otak.

Anak kedua dari pasangan Made Sudarsana dan Ni Ketut Wati itu lahir pada pertengahan November tahun lalu. Dia lahir di rumah sakit Sanglah Denpasar melalui operasi cesar dengan berat 2,5 kg dan panjang 47 cm. Operasi dilakukan karena air ketuban ibu kurang. Selesai melahirkan, ibunya menjalani perawatan di RSUP Sanglah selama lima hari untuk kemudian pulang.

Tujuh hari setelah di rumah, bayi yang belum punya nama itu muntah-muntah. Oleh orangtuanya, bayi tersebut dibawa ke bidan yang kemudian memberikan obat sehingga sakitnya berkurang. Namun, ketika bayi berumur 25 hari, dia tiba-tiba muntah sehingga dibawa ke Puskesmas Abiankasa. Dokter di puskesmas tersebut merujuknya ke RS Wangaya, Denpasar.

Melalui pemeriksaan diketahi bahwa bayi itu mengalami dehidrasi dan sesak napas. Sebagai pengobatan diberikan cairan antibiotika sehingga sesak berkurang dan mulai bisa menyusu. Untuk mengetahui bagian dalam bayi, dia difoto thorax. Dari foto itulah diketahui bahwa bayi itu mengalami infeksi paru-paru dan darah. Menurut I Wayan Reta, dokter spesialis anak di RS Wangaya, bayi tersebut terkena infeksi multiorgan (sepsis neonatorom).

Infeksi neonatorom ini menurut Retayasa bisa terjadi karena beragam sebab antara lain bayi tidak mau menyusu serta bayi tersebut loyo, panas, dan dingin. Disebut infeksi multiorgan karena infeksi tersebut dapat menyerang organ-organ penting pada bayi tersebut seperti paru-paru, darah, otak, hati, ginjal, usus, dan paling parah menyerang otak.

Bisa menyerang ke seluruh organ maupun beberapa diantaranya. Penyebabnya adalah bakteri pseudomonas aeruginosm. Kalau menyerang paru-paru, penderita akan mengalami sesak napas dan wajahnya membiru. Sedangkan kalau darahnya terinfeksi, bayi itu akan mengalami kekurangan darah (anemia) dan gangguan pembekuan darah.

Ketika GATRA melihatnya akhir Desember lalu, bayi tersebut terlihat lemas, terus menangis, dan membiru di bagian kakinya. Pada tubuhnya masih terdapat beberapa selang cairan antibiotik. Menurut ibunya Ni Ketut Wati, sepulang dari perawatan di RS Sanglah Denpasar bayi tersebut memang selalu menangis, tidak mau menyusu, dan muntah-muntah.

Sebelum anaknya lahir, istri dari pegawai di Universitas Udayana Bali ini tidak pernah merasakan hal yang aneh. Dia juga tidak ngidam yang aneh-aneh. Dia hanya mengkonsumsi kalsium setiap hari ketika kandungan berumur 6-9 bulan. Namun dia mengaku bahwa kelahiran anaknya memang lebih lambat hampir sebulan dari yang seharusnya. Padahal, anak pertamanya yang kini berumur enam tahun lahir biasa saja.

Kelahiran yang terlambat ini, menurut Retayasa, bisa jadi salah satu penyebab kekurangan air ketuban ketika melahirkan sehingga ketuban itu pecah dini lalu airnya mengalir dari plasenta ibu ke darah anak. Akibatnya, darah anak pun tercemar kuman yang dibawa air ketuban tersebut. Mudahnya kuman masuk dan menyerang organ bayi ini karena sel-sel untuk membunuh bayi dan kekebalan badan belum terbentuk.

Selain melalui saluran darah ibu ketika melahirkan, tambah Retayasa, kuman juga bisa karena faktor lingkungan yang kurang bersih atau ibunya yang sakit. Lingkungan tempat lahir bayi itu di Jl Sakura Denpasar juga terlihat rapi. Tidak ada tempat kotor seperti selokan terbuka. Namun ketika pulang dari RS Sanglah setelah persalinan, Ketut Wati mengaku sakit pilek, meski hanya 2-3 hari.

Infeksi multiorgan sendiri termasuk penyakit yang rentan terjadi pada bayi. Menurut Retayasa, yang juga Kepala Bagian Perinatologi RS Wangaya, dari 2.500 kelahiran, sekitar 50 bayi bisa terinfeksi multiorgan. Padahal akibatnya bisa sangat berbahaya. Tingkat kematiannya 25 persen hingga 50 persen tergantung pada perawatan.

Kalau menyerang jantung, denyut jantung bayi tidak akan normal menjadi lebih cepat atau lambat. Pada jantung akan membuat hati bengkak dan sekujur tubuh menjadi kunig. Pada ginjal mengakibatkan bayi tidak bisa kencing. Pada usus akan mengakibatkan perut kembung, muntah, dan berak darah. Paling parah, kalau menyerang otak, bayi itu akan kaku tubuh atau kejang-kejang.

Dan, bayi itu kini mengalami infeksi yang paling berbahaya tersebut. Ketika dihubungi GATRA Minggu pekan ini, Retayasa mengatakan bahwa bayi itu juga positif terkena infeksi selaput otak (meningitis). Infeksi pada selaput otak ini baru diketahui dua hari lalu melalui kultur pembiakan cairan sumsum otak. Hasil pemeriksaan memang memerlukan waktu yang cukup lama sehingga baru diketahui bahwa pada cairan sumsum bayi itu terdapat bakteri krepsiela, penyebab meningitis. Resiko kematian akibat meningitis ini, kata Retayasa, lebih dari 50%.

Bakteri ini cukup resisten terhadap antibiotik sehingga antibiotik golongan ceptacidin dan cephalosphorin yang selama ini diberikan kepada bayi itu tidak dapat membunuh bakteri tersebut. Sebagai pengobatan, saat ini diberikan antibiotika golongan ampicilin dan amikasin sebagai pengganti. Untuk mengobati anemia, bayi itu juga diberikan darah jenis O dari bapaknya selama tiga hari masing-masing 28 cc. Saat ini, kalau dilihat sekilas, kondisinya makin membaik. Beratnya 3 kg. Sehari-hari dia sudah menyusu, suhu badannya normal, namun kadang-kadang kejang. Ubun-ubun yang dulu menonjol pun kini datar kembali.

Retayasa mengatakan terinfeksinya kelenjar otak itu dikarenakan pengobatan yang terlambat diberika kepada bayi. Bayi itu baru dibawa ke RS Wangaya pada 9 Desember padahal sudah sakit sejak 26 November. “Tiga belas hari lumayan cepat untuk perkembangbiakan bakteri di dalam otaknya,” kata dokter lulusan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Udayana Bali ini.

Orangtua si bayi sendiri hanya bisa pasrah. Wati tidak mau menyebutkan berapa biaya yang telah dihabiskan. “Saya berharap anak saya bisa sembuh secepatnya,” kata ibu dua anak ini. namun, Wati masih harus menunggu lebih lama lagi. Sebab, untuk mengetahui bagaimana hasil pengoatan terhadap anaknya itu, dokter memerlukan injeksi selama 21 hari.

Karena sudah berjalan 14 hari, Wati harus menunggu seminggu lagi. Itu pun belum tentu langsung sembuh. Selesai injeksi perlu dilihat apakah bayi panas atau tidak. Kalau suhu badan normal, masih perlu dilakukan CT scan untuk mengetahu apakah memang seluruh bakteri di otak si bayi sudah mati. [#]