Soal Keberanian, Uang, dan Pilihan

0 No tags Permalink 0

Seorang teman, juga senior, hari ini ngobrol dengan agak sinis. Bahkan, ketika ngobrol bibirnya terlihat bergetar. Entah karena marah atau karena memendam sesuatu yang dia sendiri tidak bisa menyampaikan persis lewat kata-kata yang disampaikan padaku. Kami bertemu di cafe, tempat yang biasanya identik dengan hal-hal santai. Jadi, agak ironi juga.

Soal keberanian. Tiba-tiba dia menyalahkanku karena aku dianggap tidak berani bekerja di media lokal. Tak hanya itu dia juga menyalahkan pers mahasiswa di mana aku pernah belajar. Juga, organisasi jurnalis yang saat ini aku ikut di dalamnya. -Eh, dia juga ikut di situ, ding. Bahkan dia yang mendirikan-

Bermula dari obrolan soal media yang dia didirikan sekitar sebulan ini. Tabloid mingguan dengan topik umum. Laporan utamanya sih selalu politik.Tapi isinya ada juga seni, berita nasional, juga tokoh. Aku pernah diajak masuk. But ku tolak. Ketika ngobrol itu aku baru tahu bahwa tiga wartawan tabloid itu sudah keluar. “Ah, mereka memang tidak sanggup dengan ritme kerjanya,” kata teman itu. Lalu dia menyalahkan kenapa tidak ada alumni pers mahasiswa tempatku yang tidak mau masuk di medianya. Juga mengatakan bahwa alumni pers mahasiswa itu tidak berani kritis.

Aku sebutkan dua nama alumni yang di Komisi Pemilihan Umum Provinsi Bali dan di Bali Corruption Watch.

“Itu kan dulu. Yang sekarang mana?”

Lalu dia nyerocos soal pilihan yang kuambil. “Kamu masuk media mingguan nasional hanya karena mau enaknya. Karena kamu tidak mau susah bekerja di harian lokal.”

“Ya, itu soal pilihan. Kalau ada pilihan enak, kenapa harus cari yang susah.”

“Karena kamu hanya mikir soal duit.”

“Itu hanya salah satu faktor. Sebab lainnya karena soal waktu. Kerja di harian lokal sangat memeras waktu sementara duit kecil.”

“Kalau begitu tidak usah ngomong soal anti amplop dan serikat pekerja. Kalau kamu tidak bekerja di media lokal, berarti kamu tidak berani untuk melakukan itu semua. Bla bla bla..”

Banyak banget omongannya. Semua menyudutkanku. Menyalahkanku.

Melihat wajahnya yang memerah dan omongan yang semakin meninggi. Aku diam saja. Lalu pembicaraan usai.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *