Rwa Bhineda di Pulau Dewata

17 No tags Permalink 0

Tadi siang ada diskusi kecil dengan Win, semeton blogger Bali yang lagi studi di Pittsburgh, Amrik sono. Obrolan via Yahoo Messenger ini bermula dari tulisan dia di blognya soal kekerasan di Bali. Win mempertanyakan apakah orang Bali sudah berubah sehingga sudah demikian akrab dengan kekerasan?

Pemicu pertanyaan itu adalah tawuran di Kuta pas tahun baru lalu. Pas pergantian tahun itu, dua orang tewas akibat tawuran di salah satu kafe. Sebatas yang aku baca di media lokal, hanya disebut tawuran. Tapi Jun, teman wartawan The Jakarta Post, menyebut itu sebagai tawuran antar-preman.

Pernyataan di balik pertanyaan itu menggelitikku. Akhir-akhir ini orang Bali sudah berubah dan akrab dengan kekerasan? Pernyataan ini seolah-olah orang Bali itu dulu tidak kenal kekerasan lalu tiba-tiba jadi beringas akhir-akhir ini. Hmm, inilah dampak dari pencitraan eksotisme Bali.

Seperti halnya daerah lain, Bali pun sebenarnya akrab dengan kekerasan. Ini sudah dari zaman bahuela sampai saat ini. Jadi kalau sekarang ada tawuran itu ya sesuatu yang dari dulu sebenarnya sudah ada.

Geoffrey Robinson mengupas panjang lebar soal kekerasan di Bali ini di buku Sisi Gelap Pulau Dewata. Dari zaman kerajaan, kolonial, revolusi, Orde Lama, hingga Orde Baru. Sekadar contoh, pada zaman kerajaan dulu, antar kerajaan kecil di Bali pun jarang bisa akur. Badung nyerbu Mengwi, Klungkung nyerbu Gianyar, dan seterusnya. Itu sudah biasa. Namanya perang ya tentu saja berdarah-darah. Pada masa penjajahan Belanda juga demikian.

Namun sejarah kekerasan paling besar dan gelap di Bali adalah huru-hara politik pada 1965. Ratusan ribu orang dibantai hanya karena beda partai. Dalam banyak diskusi dengan beberapa orang saat ini, pasti mereka masih punya hubungan dengan peristiwa ini. Entah korban, pelaku, atau sekadar tahu. Mungkin karena Bali memang pulau kecil dengan jumlah penduduk yang hanya sekitar 3 juta. Jadi ratusan ribu orang jelas prosentase yang besar.

Balik soal kekerasan di Bali. Intinya, kekerasan di Bali itu sebenarnya sudah biasa terjadi. Tentu saja ini tidak hanya di Bali. Di mana pun itu juga begitu. Jangan heran kalau juga terjadi kasus tawuran di Bali dari yang berat hingga yang sepele. Misalnya rebutan tapal batas, saling pandang pas minum, merasa dihina, dan lain-lain.

Tapi Bali memang sudah kadung dicitrakan sebagai sesuatu yang eksotis. Dan inilah yang jadi perhatianku. Ya, Bali memang eksotis. Damai. Paling tidak ada beberapa tempat yang aku bisa bandingkan dan pernah ku kunjungi: Makassar, Ambon, Lombok, dan Jawa tentu saja. Bali tetep paling eksotis dari tempat-tempat itu. Lebih dari itu, ada sesuatu di Bali yang tidak bisa aku temukan di tempat lain. Kali ini yang disebut taksu.

Tapi bukan berarti tidak ada konflik, entah terbuka entah tertutup, di Bali. Nah, konflik ini memang jarang diungkap karena ada kepentingan pariwisata.

Citra Bali sebagai daerah eksotis dan damai itu sengaja harus terus disampaikan agar mudah menarik turis. Dari zaman Belanda itu sudah dikenal namanya Baliseering, yang salah satunya memang untuk menjaga citra itu. Kalau sekarang ada namanya Ajeg Bali. Macam-macam alasan di balik itu. Tapi, menurutku, tetap ada motif ekonomi di balik itu. Cuma ini kadang tidak disampaikan.

Media massa kemudian jadi alat untuk menjaga citra itu. Tulisan Ngurah Suryawan soal ini mungkin bisa jadi referensi. Parahnya, citra ini ditelan mentah-mentah oleh banyak orang. Seolah-olah kekerasan itu tidak mungkin ada di Bali.

Lalu bagaimana seharusnya? Menurutku sih tidak harus ada yang ditutup-tutupi. Juga tidak harus dibilang yang jelek-jelek saja. Tulis saja apa adanya. Rwa Bhineda itu pasti ada di mana pun. Itu sudah hukum alam.

17 Comments
  • sherly
    January 4, 2008

    Bagiku bali tetep jadi tempat teraman di indonesia. Di Jawa, aku ga brani deh kemana-mana sendirian. Di Bali masih OK lah. Orang-orangnya masih banyak yang sopan dan membantu.

  • antonemus
    January 4, 2008

    @ sherly: yup. bener banget. aku inget pas awal2 di bali pada 1997. parkir motor di pinggir jalan semaleman. dan aman. di jawa, jangankan di pinggir jalan, di beranda aja bisa ilang.

  • winyo
    January 4, 2008

    wah terima kasih atas pencerahannya bli. tapi itu tahun 1997 bli, kalo sekarang gimana hehehehehe … digasak juga kayaknya bli 🙂

  • Made
    January 5, 2008

    tak ada gading yang tak retak. Bali dengan segala jargon pariwisatanya juga mengandung segala bentuk sisi kelabu e.g kekerasan, dunia hitam, preman, mafia, drugs etc. tp mungkin itu sebagian kecil dari watak asli (alami) orang2 di Bali. bli anton, welcome to the real world 🙂

  • pushandaka
    January 6, 2008

    Makanya saya betah banget yang namanya tinggal di Jogja. Di sini semua orang bersahabat. Sepreman-premannya orang, kalo disapa di pinggir jalan, tetep aja menjawab, “Monggo..” walaupun dengan gayanya yang urakan.
    Di Bali?? Jangan harap temukan keramahan seperti di Jogja, kalau anda bukan wisatawan asing..

  • pushandaka
    January 6, 2008

    Saya adalah orang Bali yang malah menikmati keramahan kota Jogja. Di Jogja semua orang bersahabat.
    Sepreman-premannya orang, kalo disapa di pinggir jalan, tetep aja menjawab, “Monggo..” walaupun dengan gayanya yang urakan. Pernah saya terapkan di Bali, bukannya balas menyapa, malah melotot! Hehe!
    Kalo tabrakan kecil di jalanan Jogja, kita masih bisa beradu argumen tanpa harus berkelahi. Coba kalo di Bali, senggolan dikit, turun dari motor masing2, trus saling nantang berkelahi.
    Orang Bali cuma ramah sama orang asing (luar negeri maksudnya)..

  • wira
    January 7, 2008

    #pushandaka
    orang Bali hanya ramah pada orang asing?
    Ah, nggak juga kok…

  • pushandaka
    January 7, 2008

    #wira
    Nggak juga ya, Bli?

    Bli Anton, sori comment saya di atas jadi 2x. Ada kesalahan teknis waktu mau posting komentar.

  • Artana
    January 7, 2008

    Pengaruh pencitraan eksotisme Bali yang berlebihan mungkin memang berpengaruh pada perubahan watak kita, ….jadi narsis ya bli..!
    tapi dimanapun Rwa Bhineda pasti berdampingan !

  • balibuddy
    January 7, 2008

    turut prihatin, sabung-an di jalanan.

  • antonemus
    January 7, 2008

    @ winyo: bener juga sih. tp tetep aja bali mmg lbh aman.

    @ made: saja to, bli. tourism dg segala keuntungan yg dibawanya mmg jg membawa dampak negatif. jd ya tergantung sudut pandang. itu tadi: rwa bhineda. 🙂

    @ pushandaka: mungkin tdk sepenuhnya begitu, bli. sebagian besar mungkin begitu apalagi di daerah pusat pariwisata. kalau kita senyum sama satpam saja malah dipelototi. hehe. tp ya itu stereotype. tidak semuanya begitu. tidak bisa dipukul rata. soal keramahan jogja, bagiku jg mmg lebih apa adanya. kali krn turis asing tdk sebanyak di bali. hwehehe..

    @ wira: tp ada juga yg begitu, pak dosen. tp ya itu tadi, tidak bisa digeneralisir. msh banyak jg yg ramah tanpa tendensi ekonomi. hehe..

    @ artana: sepakaaat, pak mandor artana. hehe..

    @ balibuddy: turut prihatin juga, bli. smoga tidak ngaruh ke pengguna jasa bli agung. 🙂

  • imsuryawan
    January 7, 2008

    Hahaha… Ini menarik! Sayang saya ketinggalan ikut ngobrol! Btw, bli anton harusnya dibuat tulisan juga tentang harga diri orang Bali (dan ini juga cukup luas pengertiannya).

    Saya yakin ini salah satu faktor yang cukup signifikan kalo bicara mengenai kekerasan orang Bali. Nak majaguran ulian peleng2an mata, kayaknya saya cuman liat ada di Bali! wkwkwkw.. Please CMIIW!

  • antonemus
    January 8, 2008

    @ imsuryawan: kompor diterima. tulisan soal harga diri dan gengsi memang lg ganggu pikiran neh hari2 ini. gara2 baca postingan beberapa semeton belogger soal orang bali. jd tunggu tanggal mainnya. hahaha..

  • Artana
    January 8, 2008

    Bikin yang baik2 aja bli, biar gengsi tambah gede..he..he!

  • antonemus
    January 9, 2008

    @ artana: hmm, itu dia yg susah. karena aku bukan orang baik2, jadi ga bisa nulis yg baik2. 😀

  • raras
    January 10, 2008

    kebalikan dari pushandaka, saya orang yogya yang lebih betah tinggal di bali. dulu di yogya kalo saya (perempuan) pulang malam naik motor, kadang ada orang (laki) yang naik motor ngikutin dg maksud nda jelas. bete kan??? akhirnya saya ajak kebut2an.. alias saya yang ngebut duluan 😀
    trus tiap malam minggu di yogya (dulu) ada razia senjata tajam, soalnya ada yang hobi kelahi pake parang segala… hmmm di bali? kalo ada razia begitu kayaknya bakalan dimarahin deh ama orang sebanjar x sepulau bali… gimana mo bikin lawar kalo pisau disita??? 😀
    anyway, kayaknya anton betul soal rwa bhineda itu… no community is perfect..

  • wandira
    January 15, 2008

    Speechless juga kalo bicara kekerasan di Bali.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *