Playboy Uncencored Version [Part 4]

0 No tags Permalink 0

Identitas dalam Semangkuk Bakso [Part 4]

Lalu, bom di Jl Legian Kuta 12 Oktober 2002 seperti jadi antiklimaks kejayaan pariwisata Bali. Bom yang menewaskan 202 orang, sebagian besar turis asing, itu jadi pengingat betapa rentannya Bali hanya bergantung pada pariwisata. Setelah itu beberapa peristiwa global juga mempengaruhi kondisi pariwisata Bali seperti severe acute respiratory syndrome (SARS) alias sindrom pernafasan akut, serangan Amerika Serikat ke Irak, flu burung, dan terakhir bom di Jimbaran dan Kuta 1 Oktober 2005 lalu. Pariwisata Bali babak belur dan seperti berada di titik nadir.

Selain berpengaruh pada ekonomi Bali secara umum, dua kali bom di Bali juga memunculkan kembali sentimen pada pendatang. Salah satu sebabnya karena pelaku teror bom 12 Oktober 2002 maupun 1 Oktober 2005 semuanya berasal dari luar Bali. Meski sentimen ini tak sampai dalam wujud fisik, beberapa pedagang Sari Laut toh sampai menghapus tulisan Lamongan di spanduknya setelah Amrozi, salah satu tersangka bom Bali 12 Oktober 2002 ditangkap. Amrozi memang berasal dari Lamongan.

Bom di Bali seperti mengingatkan kembali tentang ancaman dari luar. Mengutip tulisan Antropolog Degung Santikarma, ada semacam kesepakatan perspektif diantara orang Bali tentang ancaman dari luar tersebut. Pendatang dari luar Bali disangka sebagai sumber kekacauan. Sedangkan orang Bali diposisikan sebagai penjaga ketertiban dan pemelihara tradisi.

Maka muncullah konsep kultural bernama Ajeg Bali. Konsep ini mulai terdengar deras setelah bom Bali 12 Oktober 2002 melalui Bali Post, media terbesar di Bali.

Bali Post didirikan Ketut Nadha dengan nama awal Suara Indonesia pada 1948. Saat ini, Bali Post dipimpin ABG Satria Naradha, anak ketiga Ketut Nadha. Di bawah pimpinan lulusan Akademi Wartawan Surabaya (AWS) ini, Kelompok Media Bali Post (KMB) juga punya jenis media lain seperti Harian Denpos, Radio Global, Tabloid Tokoh, Harian Bisnis Bali, Tabloid Wiyata Mandala untuk remaja, hingga Tabloid Lintang untuk anak-anak. Bali Post juga punya Bali TV, salah satu stasiun TV lokal tersukses di Indonesia. Di bawah bendera Bali TV, KMB juga punya saham di Bandung TV, Jogja TV, dan Semarang TV.

Menggunakan media yang tersebar di berbagai lini dan kabupaten di Bali, ide Ajeg Bali pun cepat tersebar. Tak hanya lewat koran, radio, dan TV, Ajeg Bali juga disebarluaskan melalui seminar dan sangkepan (rapat banjar).

Dalam buku Ajeg Bali Sebuah Cita-cita dijelaskan tentang apa itu Ajeg Bali dan bagaimana pelaksanaannya. Buku terbitan Bali Post dalam rangka ulang tahunnya ke-56 itu memuat padangan berbagai cendekiawan Bali tentang kondisi Bali saat ini, kenapa perlu Ajeg Bali, dan bagaimana strategi pelaksanaan konsep itu. Dalam Editorial buku tersebut, ABG Satria Naradha, Penanggungjawab Bali Post menulis pandangannya tentang Ajeg Bali.

Ajeg Bali bukanlah konsep stagnan, melainkan upaya pembaharuan terus menerus oleh manusia Bali. Tujuannya untuk menjaga identitas, ruang, serta proses budaya Bali… Kesadaran itu penting karena Bali yang identik dengan keindahan, kenyamanan, dan keharmonisan sudah mulai terusik… Tanah Bali yang merupakan bagian dari tanah adat makin banyak berpindah tangan…

Berpindahnya kepemilikan tanah jadi salah satu sebab perlunya Ajeg Bali. Toh konsep Ajeg Bali tak hanya melulu berdimensi ekonomi tapi juga budaya, agama, tata ruang, kependudukan, pendidikan, kesehatan, hingga olahraga.

Di sektor ekonomi, konsep Ajeg Bali ini diwujudkan melalui berdirinya Koperasi Krama Bali. Koperasi ini didirikan pada 26 Mei 2005, bersamaan dengan peringatan ulang tahun ke-3 Bali TV. Tempat peluncurannya juga di gedung Bali TV di Denpasar. Satria Naradha jadi Ketua Koperasi Krama Bali tersebut.

Peluncuran Koperasi Krama Bali dihadiri berbagai pejabat di Bali. Mulai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali maupun Kabupaten dan Kota se-Bali, Muspida Provinsi Bali, Kapolda Bali, Bupati se-Bali, Pangdam IX/Udayana, hingga tokoh Hindu Ida Pedanda Made Gunung. Selesai peluncuran koperasi, Pangdam IX/Udayana Mayjen Herry Tjahyana saat itu juga menandatangani Prasasti Ajeg Bali.

Satria Naradha sendiri tak bersedia diwawancarai untuk keperluan tulisan ini. Meski sudah didesak, dia tetap tak bersedia. “Malu-maluin aja. Ini kan koperasi ecek-ecek. Masa mau ditulis di majalah elit,” katanya entah serius atau bercanda ketika dihubungi per telepon dan diberi tahu bahwa tulisan ini akan dimuat di Playboy edisi Indonesia. [lanjut ke posting selanjutnya]

***

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *