Pilih Kedaulatan Pangan atau Rantai Pertanian Berkelanjutan?

0 , , , , Permalink 0

Ini diskusi paling hangat di pertemuan tahunan mitra VECO Indonesia hari ini. Lembaga di mana aku kerja part time ini sedang menggelar pertemuan tahunan. Sekitar 90 orang dari mitra-mitra di Flores, Sulawesi, Jawa, Nusa Tenggara Barat, dan Bali ini berkumpul di Hotel Sunari Lovina Buleleng.

Pertemuan tahunan ini dimulai tadi pagi. Namun peserta sudah sampai di hotel sejak kemarin sore. Semalam kami sudah berkenalan satu sama lain. Latar belakang sebagian besar peserta adalah aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) pendamping petani. Hanya sedikit organisasi petani atau malah petani itu sendiri. VECO Indonesia, tempat di mana aku kerja part time memang lebih banyak berhubungan dengan LSM pendamping petani dibanding dengan petani langsung.

Ada beberapa alasan. Pertama karena sedikitnya organisasi petani di Indonesia. Salah satunya, mau tidak mau memang karena Orde Baru. Sebatas yang aku tahu, sebelum Orba berkuasa, ada banyak organisasi petani di Indonesia. Salah satu yang paling radikal tentu Barisan Tani Indonesia (BTI), underbow PKI dengan program land reformnya.

Hampir tiap partai politik sebelum Orba punya organisasi petani. Tapi ketika zaman Orba, semua harus menginduk ke Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), yang parahnya dikuasai orang yang pura-pura jadi petani. Saat ini, misalnya, Ketua HKTI adalah Prabowo Subianto, yang melalui iklannya di TV menjadikan HKTI hanya sebagai kendaraan politik untuk jadi presiden.

Kedua, kalau toh ada, organisasi petani tersebut tidak punya cukup kapasitas. Indonesia merupakan satu dari cabang lembaga yang berpusat di Belgia. Ada pula di Vietnam, Benin, dan lain-lain. Lembaga besar seperti ini memang seringkali ribet dengan urusan administrasi. Begitu pula lembaga ini. Mitra yang didukung VECO Indonesia, biasanya lembaga formal dengan struktur jelas dan kapasitas memenuhi standar tertentu.

Nah, organisasi petani di wilayah kerja VECO Indonesia biasanya tidak cukup memenuhi standar tersebut. Jadilah lembaga ini lebih banyak bekerja dengan middle class.

Tapi alasan paling jelas mungkin karena VECO Indonesia memang bukan pelaksana di lapangan. Kami lebih banyak sebagai fasilitator bagi LSM dibanding pada organisasi petani itu sendiri. But, setahuku, mulai 2008 ini, kami akan lebih memilih bekerjasama dengan organisasi petani dibanding dengan LSM.

Fokus program lembaga ini lebih banyak untuk petani kecil. Makanya sebagian besar programnya ada di daerah-daerah miskin seperti Flores. Pengalamanku sendiri ketika melihat program di lapangan, lembaga ini sebenarnya cukup mengakar. Kuat di grass root. Sayangnya sangat miskin publikasi. Makanya tidak terkenal sama sekali.

Membantu petani kecil itu masih jadi fokus utama program lembaga ini. Namun kali ini dengan embel-embel Sustainable Agriculture Chain Development (SACD) alias rantai pengembangan pertanian berkelanjutan. Kalau sebelumnya lebih banyak berorientasi ke produksi, lima tahun ke depan kami akan fokus di rantai pertanian. Mulai produksi, pasca-panen, pemasaran, kebijakan, dan seterusnya.

Otomatis, aktornya juga berubah. Selain aktor utamanya adalah petani kecil, aktor lain seperti perusahaan swasta, pemerintah, dan konsumen juga kini banyak dilibatkan. Ini berakibat pada perubahan pola advokasi pula. Kalau sebelumnya lebih frontal, seperti berhadap-hadapan langsung, maka kini cenderung bersahabat. Sebab, kalau produksi sudah bagus, petani harus menjual produk pertanian. Dan, mau tidak mau, perusahaan swasta adalah pihak yang harus diajak bekerja sama.

Agar jualan laris itu pula, maka pendekatan pendampingan juga berubah. Lembaga ini akan fokus pada komoditas, terutama untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri. Misalnya coklat, kopi, dan sebagian beras.

Namun, di sisi lain, saat ini juga dunia sedang menghadapi krisis pangan, termasuk negeri ini. Produksi tanaman pangan di Indonesia mengalami penurunan. Kebutuhan nasional tidak cukup sehingga harus impor beras dari negara lain. Berita orang mengalami gizi buruk atau bahkan mati karena kurang pangan bukan lagi barang langka.

Maka, tema pertemuan tahunan mitra VECO Indonesia kali ini adalah tentang upaya mensinergikan kedaulatan pangan dengan rantai pertanian berkelanjutan. Dan, well, ini sepertinya jadi tema yang sangat ambisius.

Maka diskusi hangat berlangsung selama satu hari tadi. Selain dari LSM pertanian berkelanjutan, ada pula beberapa organisasi lain seperti Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Aliansi Petani Indonesia (API), dan Jaringan Pertanian Organik (Jaker PO). Francis Wahono, PhD di bidang ekonomi pertanian juga hadir memberikan analisis kritis soal ambisi ini.

Salah satu diskusi itu, misalnya, tidakkah ambisi SACD itu justru akan meninggalkan kedaulatan pangan? Sebab ketika kedaulatan pangan saja belum beres, tiba-tiba ini ada ide baru soal mengembangkan rantai pertanian berkelanjutan. Di sisi lain, kalau nanti petani terlalu berorientasi pada komoditas yang dijual, tidakkah ini akan mengembalikan petani pada posisi zaman kolonial. Saat itu petani lebih banyak dipaksa untuk bercocok tanam dengan orientasi ekspor. Akibatnya, petani justru kekurangan pangan.

Ah, tapi bisa jadi ini juga ketakutan berlebihan. Ada pula pendapat lebih optimis soal dilema ini. “Kedaulatan pangan dan SACD itu ada dalam satu tarikan nafas. SACD diharapkan membawakan roh kedaulatan pangan,” kata Tati Kristanti, fasilitator pertemuan. Tinggal bagaimana menerapkannya..

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *