Perempuan di Sarang Penasun [2]

0 No tags Permalink 0

***

Masuknya HIV ke tubuh Yeni berawal dari perilakunya saat pakaw, bahasa slang pakai heroin. Dia pakaw sejak 1994, ketika rumah tangganya dengan pensiunan insinyur warga Italia bermasalah. “Dia terlalu posesif,” katanya. Semua kebutuhan materi Yeni terpenuhi termasuk rumah dan mobil. “Tapi aku tidak bahagia. Seperti burung dalam sangkar emas,” tambahnya. Yeni tertawa pelan.

Ketika akhirnya cerai pada November 1995, rumah dan tanah 30 are di Petitenget, Kuta beserta semua isinya jadi milik Yeni. Sebagai ganti, anak tunggal mereka dibawa mantan suami ke negara asalnya. Psikologis Yeni bermasalah. Dia makin kencang pakai heroin. Dia ketergantungan.

Awalnya Yeni pakai heroin dengan cara ngedrag. Heroin ditaruh di alumunium foil bekas rokok atau permen karet. Bagian bawahnya dipanasi api. Asap pembakaran dihisap dengan kertas lintingan. Ke mana asap bergerak, ke sana dia mengejar. Seperti mengejar naga (chasing dragon) sehingga disebut ngedrag.

Masalah datang saat heroin putus pada 1996. Harga putaw, nama jalanan heroin, mahal dan susah dicari. Sementara itu rumah, mobil, motor, TV, dan semua barang milik Yeni sudah habis terjual untuk pakaw. Padahal dia makin tergantung pada serbuk putih coklat itu.

Tak ada modal untuk beli heroin, Yeni mulai ikut jual “barang”, bahasa lain heroin. Tak hanya heroin tapi juga narkotika jenis lain seperti hasish. Untuk beli dia sampai ke Thailand. Agar tidak ketahuan polisi, barang dimasukkan ke dalam perut. Sampai Bali, barang itu dikeluarkan di buth up. Dia jongkok untuk buang air besar. Bukan kotoran yang keluar, tapi air sama barang itu.

“Crut crut crut.. Keluar dah,” katanya.

“Bau, dong?” tanya saya.

“Ya bau, lah!”

***

Putaw mahal dan susah tak hanya masalah Yeni, tapi juga penasun lain. Karena itu ketika ada temannya datang dari Singapura dan punya simpanan barang, mereka pakaw bersama.

Mereka duduk berdelapan di Jl Poppies II Kuta. Barang ditaruh di atas gelas air mineral yang dibalik, diisi air, diaduk, ditarik dengan jarum, terus disuntikkan ke urat lengan. Satu jarum berpindah dari satu orang ke orang lain. “Itu pertama kali aku pakai jarum bergantian,” kenang Yeni.

Alasan itu pula yang membuat Cecep mulai cucaw, bahasa jalanan nyuntik heroin, dari yang biasanya ngedrag. “Barang cuma ada seperempat (gram) untuk berdelapan. Mana cukup kalau ngedrag? Akhirnya ya kita bagi pedang,” katanya. Bagi pedang maksudnya berbagi jarum.

Ketika jarum itu menembus urat lalu putaw masuk ke darah, tanpa mereka sadari, saat itu pula HIV berpindah dan bertambah. “Waktu itu belum ada informasi soal HIV/AIDS. Jadinya cuek aja,” kata Cecep, demikian pula Yeni.

Jarum suntik memang jadi salah satu sumber penularan HIV selain hubungan seks tanpa kondom, pertukaran darah, atau air susu ibu pada anaknya.

Yeni menduga virus itu sudah ada di tubuhnya sejak akhir 1997. Waktu itu Jack Loobie, suami barunya, baru balik dari negaranya, Australia. Loobie, yang juga penasun, tes HIV. Hasilnya dia positif. “Aku disuruh tes tapi aku tidak mau,” aku Yeni.

Tapi dia baru tahu justru saat sakit. Dia batuk-batuk, tuberculosis (TB)-nya kumat. Dokter menyarankan dia tes HIV. Hasilnya, positif. CD4, sel indikator ketahanan tubuhnya, cuma 7 dari yang normalnya 500-1100. “Aku merasa sudah tidak ada harapan. Makanya masa bodoh saja. Kalo punya uang, aku mau habisin saja buat senang-senang,” katanya. [lanjut ke posting berikutnya]

***

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *