Natal dengan Aura Bali di Palasari

0 , , Permalink 0

Umat Katolik di Palasari setelah sembahyang Natal

Akhirnya saya bisa juga merasakan Natal di Palasari.

Dusun ini berada di Desa Ekasari, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali. Jaraknya sekitar 120 km dari Denpasar. Karena melewati jalur padat dan sibuk Jawa – Bali, waktu tempuh pun lebih lama, sekitar 4 jam.

Karena jauh dan lama itu rasanya berat tiap kali ke sana. Perlu waktu khusus pula jika ingin merasakan Natal. Maka, niat yang sudah berulang kali muncul pun tak kesampaian juga karena banyak alasan.

Tapi tidak untuk kali ini. Ada kegiatan asyik melali bersama yang diadakan Sloka Institute dan BaleBengong. Terima kasih buat teman-teman yang bikin kegiatan ini. Jadi tidak ada lagi alasan untuk tidak ke sana.

Palasari merupakan dusun dengan mayoritas penduduknya beragama Katolik. Menurut beberapa sumber, desa ini didirikan Pater Simon Buis SVD pada 1940-an. Saat itu, pater atau pastor Katolik dari Belanda tersebut mengajak puluhan warga dari Tuka dan Gumbrih, dua desa dengan umat Katolik cukup banyak di Bali.

Mereka mendirikan pemukiman di bekas hutan pala, yang kemudian menjadi asal mula nama desa ini.

Masa lalu Palasari bisa dilihat dari suasana di sekitarnya. Masih asri dengan belantara di sekitarnya. Penataan desa juga rapi jali. Jalan-jalan lebar. Rumah-rumah warga berjejer sepanjang jalan. Palasari terlihat sebagai desa yang sejak semula memang serius untuk ditata.

Ketika baru tiba di desa ini, kami terlebih dulu memutar ke sisi lain. Niatnya untuk mencari tempat penginapan di sekitar sana. Dek Didi, salah satu teman perjalanan kali ini, mengajak ke Taman Wana Villa. Lokasinya di desa yang sama meskipun agak di pinggir.

Tempat ini memang keren. Eksklusif. Vila-vila terpisah dengan arstitektur unik di tengah persawahan dan hutan. Begitu pula harganya, antara Rp 1,5 hingga Rp 3 juta per malam.

Karena sudah penuh, kami pun punya alasan untuk batal menginap di tempat eksklusif nan mahal. Gantinya, kami menginap di tempat lain saja, Pantai Candikusuma, persis di jalan raya menuju Gilimanuk. Harga murah meriah, Rp 200 ribu per malam dengan pemandangan Selat Bali. Banyuwangi terlihat dari penginapan kami.

Tak terlalu susah mencari penginapan di sekitar Palasari jika mau jalan-jalan ke sini terutama saat Natal. Banyak pilihan di sepanjang jalan Jawa – Bali ini.

Urusan menginap ini penting karena jika mau menikmati Natal di Palasari, lebih bagus jika ikut misa Natal malam hari sebelumnya, pada 24 Desember. Begitu pula yang kami lakukan kali ini.

Pada malam misa Natal, umat Katolik Palasari khusyuk bernyanyi dan berdoa di Gereja Hati Kudus Yesus. Gereja yang lebih dikenal dengan nama Gereja Palasari ini memadukan unsur Bali dan Eropa pada arsitekturnya. Secara fisik, Gereka Palasari melambangkan akulturasi Katolik dan Bali di desa ini.

Akulturasi juga terasa pada umat yang melaksanakan misa maupun Natal sehari setelahnya. Umat Katolik di sini masih menjaga akarnya sebagai orang Bali. Mereka menggunakan pakaian adat Bali. Lelaki berkamen, kemeja, dan udeng. Perempuan berkebaya lengkap dengan selendangnya.

Aura Bali masih terjaga saat Natal di Palasari.

Selain pakaian, aura itu juga terasa lewat gamelan dan tari-tarian saat Natal ataupun pesta di depan gereja. Tari-tarian Bali itu dipersembahkan ketika dua sosok Santa Klaus sibuk bersalaman dan membagikan hadiah di halaman gereja.

Keceriaan Natal terus berlanjut hingga tengah hari ketika kami meninggalkan Palasari. Sepanjang jalan, penjor-penjor berjejer anggun dan rapi. Campur aduk antara penjor Natal dan Galungan. Mereka menyampaikan pesan, tradisi dan agama bisa berjalan beriringan.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *