Napak Tilas Dian Sastro Ngesot

0 , , , Permalink 0

Jalur Probolinggo – Cemorolawang akhirnya jadi pilihanku untuk menuju Bromo. Jalur ini satu dari setidaknya empat jalur yang bisa ditempuh jika ingin ke Gunung Bromo. Tiga jalur lain ke Bromo Pasuruan – desa Wonokitri, desa Ngadas dari jalur Malang dan desa Burno dari Lumajang. Untuk sampai di Cemorolawang dari terminal Probolinggo perlu waktu 1,5 jam naik angkutan umum dengan jalan menanjak berkelok-kelok sekitar 30 menit terakhir. Tarif angkutan ini Rp 20 ribu – Rp 25 ribu.

Gunung ini secara administratif masuk Kabupaten Probolinggo. Cemorolawang adalah desa terakhir yang aku temui sebeum turun ke lautan pasir menuju Gunung Bromo. Di dusun yang masuk desa Ngadisari, Kecamatan Sukopuro ini ada fasilitas untuk turis seperti hotel, restoran, bahkan ATM BNI.

Hal terakhir itu penting bagiku. Sebab aku sempat khawatir ketika duit di dompet makin menipis sementara aku belum ambil di ATM. Tapi dengan duit di dompet hanya sekitar Rp 300 ribu, aku ternyata tidak perlu ambil uang tunai lagi ketika jalan-jalan di Bromo. Jalan-jalan di sini relatif murah meriah.

Katakanlah untuk menginap. Memang ada beberapa hotel bintang tiga dengan tarif ratusan ribu per malam. Tapi lebih banyak lagi penginapan milik warga dengan harga hanya Rp 60 ribu. Penginapan ini sederhana. Kamar seukuran sekitar 3×4 meter persegi dengan dua kasur alias twin share. Toiletnya di luar, dipakai bersama dengan penginap yang lain.

Makan di sini juga murah meriah. Jumlah pengunjung ribuan orang per hari, sebagian besar turis asing, tak membuat makan minum di sini jadi mahal. Menu berkuah seperti rawon, soto, gule, ataupun mie kuah ~dan ini sangat pas karena disantap di tengah suhu dingin~ berkisar antara Rp 7000 atau maksimal Rp 10.000. Harga murah tapi porsinya lebih dari cukup untuk satu orang.

Tempat menginap dan makan ini harus disebut di awal. Sebab keduanya penting untuk jalan-jalan di lokasi wisata yang membutuhkan energi besar untuk menikmatinya. Apalagi kalau pengunjung datang dari tempat jauh.

Aku sih tidak terlalu masalah karena sudah istirahat meski hanya sebentar, sekitar empat jam di salah satu penginapan murah di Probolinggo. Juga sudah sarapan di dekat terminal. Maka, begitu sampai di Ngadisari pukul 10.30an, aku langsung ke ke Bromo.

Dari terminal terakhir ketika turun dari angkutan umum, aku langsung memanggil pemandu kuda yang lewat. Dia menawarkan harga Rp 80 ribu sekali turun. Kalau bolak-balik 150 ribu. Untungnya dari sopir tadi aku udah dapat informasi. Maka aku tawar separuhnya. Dan.. yes! Dia mau kasih harga Rp 70 ribu bolak-balik..

Ngadisari itu semacam puncak yang lain. Dari titik ini ke Bromo perlu turun dulu melewati padang pasir untuk kemudian naik lagi ke Bromo. Naik kuda ini hanya satu pilihan. Banyak juga pengunjung yang jalan kaki. Salah duanya adalah sepasang turis dari Belanda yang ngobrol sama aku ketika di penginapan.

Aku memilih naik kuda selain karena menghemat energi, meski boros duit, juga karena biar bisa ngobrol dengan pemandunya. Dan, pemandu kuda bernama Suko itu benar-benar jadi pemandu perjalanan yang menyenangkan. Bagiku, perjalanan ke tempat lain juga upaya mengenal budaya setempat. Dan, sekali lagi, Suko melakukannya dengan baik.

Pemuda berumur 23 tahun ini menjelaskan, misalnya, tentang punden sebagai tempat untuk memuja sang Khalik bagi warga Hindu di sana. Juga tentang bagaimana warga setempat melakukan ritual-ritul untuk menghormati sang Pencipta itu.

Bukan hanya soal ritual, Suko juga bercerita tentang banyaknya orang-orang yang membuat film, foto, ataupun dokumentasi lain soal Bromo dan sekitarnya. Salah satunya tentang film Pasir Berbisik dengan Dian Sastro sebagai pemeran utamanya. “Lokasinya di sana itu. Sekitar 4 km dari sini,” katanya sambil menunjuk hamparan pasir.

Seingetku di film ini ada adegan Dian Sastro ngesot di pasir ketika ngobrol dengan ibunya yang diperankan Christine Hakim. Jadi ketika melihat ke arah pasir itu, aku bayangin Dian Sastro lagi ngesot di sana. Hehe..

Lalu di depan kami, lautan pasir pula yang terbentang. Mereka menunggu untuk dijelajahi dengan Gunung Batok dan Gunung Batur menjulang. Cerita lanjutan di posting berikutnya saja..

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *