Mewaspadai Tipu Daya Iklan (Capres)

0 No tags Permalink 0

Pada 1 Juni lalu, seluruh pasangan caplon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) memulai kampanye masing-masing secara langsung maupun melalui media massa cetak dan elektronik. Kampanye secara langsung itu dilakukan misalnya dengan kunjungan ke rumah sakit oleh Megawati-Hasyim Muzadi maupun blusukan di pasar seperti yang dilakukan Amien Rais-Siswono Yudhoyono. Selain kampanye konvensional tersebut, beriklan di media massa juga menjadi salah satu cara kampanye para capres dan cawapres. Namun, karena bersifat monologis, kampanye dengan beriklan sangat rentan memanipulasi fakta.

Kita bisa melihat misalnya pada waktu sebelum kampanye dimulai. Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Bimo Nugroho mengatakan iklan calon presiden dari Partai Golongan Karya Jenderal (Purn) Wiranto telah memanipulasi fakta (Kompas, 26/5). Iklan yang dipublikasikan melalui TV tersebut hanya ditampilkan dengan memotong beberapa fakta dalam kerusuhan Mei 1998. Akibatnya, menurut Bimo Nugroho, iklan tersebut menyesatkan mereka yang tidak paham mengenai kerusuhan menjelang mundurnya Soeharto tersebut. Sebab, iklan kampanye Wiranto dibuat –tentu saja- hanya demi kepentingan Wiranto.

Dari kacamata fakta, iklan tersebut memang menyesatkan. Namun dari kacamata iklan, manipulasi fakta adalah sesuatu yang lumrah. Maka kita harus mampu menyikapi iklan tersebut dengan lebih kritis.

Kalimat yang akrab di rutinitas komunikasi kita akhir-akhir ini, tidak ada kecap nomor dua, mungkin bisa sedikit memberi jawaban perihal norma periklanan. Tidak ada yang mengakui kelemahan produk -tidak hanya berupa benda konkret tapi bisa juga berupa benda abstrak semacam jasa atau jabatan presiden sekalipun- yang dimiliki. Semua mengaku paling unggul.

Dari sudut padang dunia periklanan ini pula, maka kita perlu mewaspadai iklan pasangan capres dan cawapres, tidak hanya Wiranto-Salahuddin tapi juga Megawati-Hasyim Muzadi, Amien Rais-Siswono Yudhoyono, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar. Analogi yang bisa kita gunakan dalam melihat iklan capres dan wapres tidak jauh-jauh amat dari logika jual beli produk. Hanya analogi ini bisa berlangsung linear atau sebaliknya, diametral. Tiap tim kampanye para capres dan cawapres itu menganggap masing-masing pasangan sebagai produk yang harus diiklankan. Pada posisi ini mereka adalah penjual. Namun sesungguhnya mereka mengincar jabatan presiden dan wakil presiden yang dalam hal ini mereka menjadi pembeli. Untuk membeli ini mereka perlu modal suara pemilih. Dalam kalimat ringkas, tiap pasangan adalah produk yang harus diiklankan agar bisa mendapatkan modal untuk membeli jabatan presiden dan wakil presiden.

Agar produknya laku, tiap tim kampanye harus mampu menarik simpati para pemilih. Caranya dengan membuat penampilan tiap pasangan semenarik mungkin. Untuk itu perlu adanya jejalan informasi secara terus menerus tentang keunggulan masing-masing pasangan. Strategi ini biasa bahkan wajib dilakukan tiap perusahaan. Misalnya perusahaan Mattel, produsen boneka Barbie yang secara terus menerus menciptakan dan menyebarluaskan makna-makna, narasi-narasi, dan berbagai identitas (Mary F. Rogers, 2003).

Membandingkan pasangan capres dan cawapres dengan boneka Barbie adalah hal yang masuk akal. Keduanya senantiasa mengklaim memiliki hal paling unggul dalam programnya yang dalam bahasa pasar disebut brand image. Kalau pada boneka Barbie adalah kecantikan yang sempurna –tubuh langsing, rambut pirang, mata coklat, dan seterusnya-, maka Wiranto dan Susilo Bambang Yudhoyono yang berlatar belakang militer menjanjikan keamanan sebagai nilai jual, Megawati menjual pembelaan terhadap wong cilik, Amien Rais menjanjikan pemberantasan korupsi, dan Hamzah Haz menjanjikan pemerataan ekonomi maupun religiusisasi negara. Ada brand image yang secara berkelanjutan disebarkan melalui media massa maupun bentuk propaganda lain.

Iklan sebagai bentuk lain propaganda itu pun dilakukan tiap parpol pada masa kampanye pemilihan legislatif lalu. Sebagaimana kita tahu, Pemilu 5 April lalu hanya memilih anggota legislatif alias wakil rakyat bukan memilih presiden. Toh, dalam kampanye tiap partai, selalu diperlihatkan bahwa memilih partai seolah-olah sama dengan memilih presiden sehingga SBY yang di luar struktur Partai Demokrat pun ikut kampanye untuk Partai Demokrat. Logika iklan partai pada masa kampanye lalu itu tidak pas. Namun menjadi benar karena iklan memang membenarkan manipulasi!

Hal ini membenarkan analisa Wahyu Wibowo (2003) yang bahkan menganggap iklan sebagai sihir yang terwujud dalam tiga bentuk: (a) mengintimidasi; (b) memanipulasi; dan (c) mendominasi. Ketiga bentuk yang dalam prosesnya berkait itu mungkin amat cocok jika dirujukkan ke dunia iklan. Tiap tim kampanye menggunakan keterampilan kreatif, seperti copywriting, layout, ilustrasi, tipografik, scriptwriting, dan pembuatan film. Melalui iklan mereka berharap bisa mengubah persepsi pemlih (atau pembeli) terhadap para capres dan cawapres.

Di dunia yang oleh Marshall McLuhan digambarkan sebagai perkampungan kecil ini, iklan itu nyatanya terbukti efektif. Jarak dan ruang kemudian seperti lenyap karena daya sihir iklan yang disebarluaskan melampaui masalah geografis. Orang Indonesia yang beras Mongoloid tergila-gila dengan ras Kaukasian yang direpresentasikan oleh boneka Barbie. Bertubi-tubi tiap hari kita diserbu iklan shampo penghitam dan pelurus rambut, sabun pemutih tubuh dan wajah, minuman pelangsing tubuh, dan seterusnya. Padahal, mengambil pemikiran Michel de Certeau, sebagai produk kebudayaan iklan tidak semata-mata dipakai menyatakan sesuatu tapi juga secara aktif dan simultan melakukan sesuatu. Ketika menonton iklan kita sebenarnya tidak sadar bahwa iklan juga tengah mempengaruhi kita.

Hal itu pun berlaku pada iklan para capres, yang dilakukan pada masa kampanye menjelang Pemilu 5 April lalu. Susilo Bambang Yudhoyono dan Wiranto dianggap bisa mewujudkan keamanan dan stabilitas yang (seolah-olah) dulu terjadi pada masa Soeharto. Nyatanya, ketika Wiranto menjadi Panglima ABRI justru terjadi kerusuhan Mei 1998 maupun pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur pasca jajak pendapat 1999. Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik dan Kemanan ketika terjadi ledakan bom Bali dua tahun lalu disusul bom Makassar, bom Marriot, maupun berbagai konflik horisontal di Indonesia.

Megawati yang diidentikkan sebagai pembela wong cilik justru mengurangi alokasi dana subsidi maupun pembangunan untuk kesejahteraan rakyat ketika menjadi presiden. Pemerintahan Megawati mengurangi subsidi BBM dan listrik. Rakyat kecil yang diklaim dibela pun menjerit akibat harga-harga kebutuhan pokok yang semakin tidak terjangkau. Demikian halnya dengan Amien Rais yang mengklaim bisa menghapus korupsi namun anggota DPRD dari partai yang dipimpinnya, Partai Amanat Nasional (PAN) justru terbukti melakukan korupsi, misalnya di DPRD Sumatra Barat. Hamzah Haz terbukti tidak bisa membuat perekonomian membaik selama menjadi wakil presiden selain juga persoalan jumlah istri yang tidak jelas. Kenyataan pada tiap capres berbeda dengan brand image maupun keunggulan yang disebarluaskan melalui iklan. Iklan bisa dimanipulasi demi kepentingan capres dan cawapres.

Sebagai pemilih, kita harus lebih kritis melihat latar belakang tiap pasangan. Misalnya bagaimana mungkin orang berlatar belakang militer menjanjikan demokratisasi, atau penjual aset negara berjanji membela wong cilik, atau mengurus anggota partai tidak bisa namun berjanji mengurus negara. Kita seharusnya mampu melihat masa lalu tiap pasangan sebagai referensi mereka saat ini karena kalau hanya percaya karena iklan, kita akan kecewa. Namun, kalau toh dari sekian calon itu tidak ada yang sesuai dengan kriteria, kenapa harus memaksakan diri untuk memilih?

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *